Between Two Hearts

596 43 7
                                    

Yang udah baca jangan lupa tinggalin komen biar author semangat 😭😭😭

----

Masih terdengar gelak tawa dari ruang tamu. Putri bungsu Kiai Mustofa itu semakin mendominasi tema obrolan di sana. Sepertinya semua sudah tersihir oleh pem-bawaannya yang ceria dan banyak bicara. Kang Amar pasti juga sangat menikmati perjumpaannya dengan Ning Fara. 

Biarlah aku pergi, menangisi hal yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Mungkin aku sudah terlihat tak sopan menghilang begitu saja. Jika saja putri bungsu Kiai Mustofa itu tidak begitu histeris melihat Kang Amar, aku akan tetap bertahan di sana. Kurasa reaksinya terhadap Kang Amar memang sudah berlebihan.

Mungkinkah dulu Fara juga pernah singgah di hati Kang Amar? Ah, sudahlah, kalau benar mereka dulu pernah saling mencintai, tak apa bagiku. Toh, aku sendiri belum begitu memperlihatkan bagaimana perasaanku yang sebenarnya. 

Astagfirullah. Aku kesal lalu melemparkan bantal begitu saja, membuat tong sampah disamping meja rias oleng beserta isi-isinya. 

"Hai, Mbak Ishma, kok malah tidur?" 

Fara! Gadis manja itu, bagaimana bisa dia masuk tanpa mengetuk pintu. 

"Aku disuruh Umi menemui Mbak Ishma. Kuharap pertemuan kedua ini, segera ada penentuan tanggal pernikahan Mbak Ishma dan Mas Rosyid." 

Satu lagi, gadis ini benar-benar tidak peka dan tidak pintar menilai perasaan orang lain lewat ekspresi wajah. 

Kuharap aku bisa menekan amarahku yang hampir mau meledak. Kalau saja tidak tiba-tiba ada rasa nyeri pada perutku sudah kudebat habis gadis di sampingku ini. 

Tanpa basa-basi pula ia langsung duduk di tepi ranjang menghampiri aku yang sedang meringis kesakitan. Peluh mendadak bercucuran di sekujur tubuh. Biasanya sakit seperti ini akan sedikit reda dengan minum jamu atau air kelapa. Duh, Gusti. 

"Mbak sakit?" Fara bertanya. Dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi selain mengangguk. 

"Perutnya sakit?" 

Aku semakin mengaduh. Berbagai posisi sudah kucoba, dari miring kanan, kiri, meringkuk, tapi perut masih seperti ditusuk-tusuk. Nyeri hingga menjalar ke sendi-sendi. 

"Haduh, Mbak kenapa? Mau diambilkan obat apa?"

"Lagi mens," ucapku lirih tanpa daya. 

"Owalah, lagi mens, to? Syukurlah kalau cuma mens. Aku juga kalau lagi mens hari pertama sakit banget tapi nggak sampai seperti Mbak begini." 

"Aduh ...." Aku menggigit bibir, meringis menahan sakit yang 

"Pantas saja tadi Mbak kelihatan jutek banget. Pasti tadi terakhir PMS, ya?"

Fara tak berhenti bicara, membuatku ingin teriak lalu menendangnya keluar. Namun, saat ini membawa diriku saja aku tak bisa. Dengan tangan gemetar kuraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi Mbak Qom. Biasanya kalau aku seperti ini, dia yang sangat perhatian, bergegas membelikan obat dan memijatku. Eh tapi, bukankah mbak-mbak ndalem sedang pulang kampung semua? 

"Ning ... eh ... Far ...." Aku bingung harus memanggilnya apa. 

"Panggil saja dek, Mbak. Kan aku calon adikmu." 

"Dih ... ge-er," ucapku lirih. Siapa pula yang mau punya adik sepertinya.

"Bisa minta tolong belikan jamu kunyit atau air kelapa?" 

"Ok, sebentar ya, Mbak. Aku ke dapur mencari bantuan." 

Aku memberinya beberapa lembar uang tapi ia menolak, lalu menggeloyor keluar kamar begitu saja.

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang