Kang Ison, Kang Amar

631 43 2
                                    


Berarti benar, Simbah Gus Rosyid dan Kang Amar saling mengenal. Aku mulai menerka-nerka dan berbagai analisa kini menari-nari dalam tempurung kepalaku. Kalau begitu, kemungkinan Ison adalah nama kecil Kang Amar.

Apakah Kang Amar juga cucu dari Simbahnya Gus Rosyid? Atau masih kerabat dekat Kiai Mustofa? Aku membuka mata lebar dan menutup mulut membayang-kan jika semua itu benar. Terbayang lagi insiden gelas pecah di ruang tengah.

Mungkinkah waktu itu Kang Amar sangat terpukul mengetahui wanita yang dicintai hendak dilamar saudaranya di depan mata kepalanya sendiri. Merasakan dadanya sesak menahan sakit hingga gelas-gelas itu jatuh berhamburan. 

Tak berhenti di situ, kini bibirku tak bisa menahan senyum saat insiden gelas bergeser oleh ingatan manis tadi sore. Kang Amar meletakkan sepasang sandal jepit dan mengulurkan payung berwarna ungu, itu membuatku semakin tahu isi hatinya.

Lalu pertanyaan yang lain muncul, apa tujuan Kang Amar menyembunyikan identitasnya? Jika benar Kang Amar masih kerabat dekat Kiai Mustofa, seharusnya ia tak usah repot-repot menjalani ujian dari Umi karena nyatanya ia juga berdarah biru seperti yang Umi mau. Aku bergumam sendiri, membayangkan hal-hal manis yang kemungkinan terjadi.

🍒🍒🍒

Azan magrib berkumandang. Di luar terdengar celoteh dan derap langkah kaki para santri hendak ke masjid menunaikan salat berjamaah. Sejenak aku tak ingin larut dalam berbagai analisa mengenai Kang Amar. 

Berbaur dengan para santri dan menyimak hafalan sehabis magrib akan cukup menenangkan.

Berpuluh-puluh santri sudah duduk di aula sambil memegang mushafnya masing-masing. Mereka mendaras serempak penuh semangat. Satu bulan lagi ujian tahfiz tiba dan mereka yang gagal tidak diikut sertakan mengikuti haflah khotmil quran. Jadi mereka berlomba-lomba melancarkan hafalan Al-Qur'an agar lekas diwisuda. Jika tidak, mereka harus menunggu satu tahun lagi. 

🍒🍒🍒

Dari balkon aku berdiri menatap senja yang telah berganti gelap malam. Semburat kemerahan berangsur padam. Cahaya matahari berganti cahaya bulan. Jajaran bintang bersinar ikut bertasbih memuji keagungan Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur'an aku lantunkan dalam kesunyian, menahan rindu yang begitu menyesakkan. Kusibak tirai jendela, terlihat embun-embun menetes berkejaran disertai rintik air hujan sisa tadi sore yang masih berjatuhan. 

Dari sini kutatap Kang Amar yang duduk di bawah dedaunan pohon sawo yang rindang. Mulutnya tampak komat kamit mendaras Al-Qur'an. Sesekali bola matanya bergerak naik dan turun melihat mushaf yang ia pegang. Ia mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung kotak warna biru terang. Membuat kulitnya makin bersih, sehingga dari kejauhan pun auranya tetap bersinar. Dia memang tak sepantasnya menjadi kang ndalem seperti perkataan Nafis. 

Merasa diperhatikan, Kang Amar menoleh ke arah jendela kamar di mana aku berdiri. Merasa tertangkap basah, secepatnya tirai itu kuturunkan kembali sambil menggigit bibir. 

Kutelepon Nafis barangkali ia punya informasi detail mengenai Kang Amar. Sayang sekali nomornya sedang tidak aktif. Kusingkap lagi kain gorden yang menutupi jendela, tapi Kang Amar sudah tak ada di sana. 

Menunggu jawaban itu memang membosankan. Aku menyerah menanti balasan dari Nafis. Kedua bola mata mulai berair dan aku menahan kuap dengan punggung tangan berkali-kali. Mungkin sekarang saatnya menjemput mimpi. 

🍒🍒🍒

Setoran hafalan Al-Qur'an selesai, aku menuju ke kamar kembali. Meraih ponsel dan mengecek apakah ada pesan dari Nafis. Ternyata masih nihil. Aku terkesiap karena dari arah musala, suara Kang Amar terdengar. Sound di musala baru saja diganti dengan yang baru, jadi suara merdunya bertambah nyaring dan bening melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. 

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang