"Ning, tatapannya kok gitu, ya. Tapi soal tampang, boleh juga," bisik Nafis di telinga kananku.
Aku hanya bergeming dan tak tertarik untuk menanggapi. Saat ini aku hanya berharap bukan Kang Amar yang keluar membawakan minuman.
Bagaimana perasaan Kang Amar saat ini? Han-curkah? Khawatirkah ia jikalau Abah menerima putra Kiai ini? Punyakah ia perasaan khawatir jika aku jatuh cinta pada Gus Rosyid? Tahukah ia kalau sebenarnya aku juga menderita? Hatiku kian terpasung luka. Meng-harap balas cinta yang tak kunjung tiba pada seorang pemuda pemilik suara menggetarkan jiwa. Fix aku gila.
Aku benar-benar limbung saat ini.
"Subhanallah … jadi Kiai Mustofa ini adalah cucu dari almarhum Kiai Hasan?" Kilat mata Abah berbinar saat mendengar cerita Pakde Njamil tentang silsilah keluarga Bu Nyai Marfu'ah, istri Kiai Mustofa.
"Masyaallah...barakallah ," sambung Umi bahagia.
Aku terduduk lesu sambil pura-pura hanyut dalam obrolan ini. Mengurai senyum dan sesekali menawarkan jajanan toples yang tersaji di meja.
"Ya Allah ... akhirnya tali silaturahmi Mbah Mannan, Mbah Kholil, dan Mbah Zainal bisa ter-sambung kembali," tukas Abah.
"Alhamdulillah ....” Senyum Bu Nyai Marfu’ah mengembang. Senyuman khas para wanita kelas atas dunia pesantren.
Mereka berbincang panjang kali lebar tentang ulama-ulama yang terlibat perjuangan di zaman Belanda. Kemudian beralih bahasan tentang pesantren Maslakhul Huda Kempek Cirebon yang sekarang kepemimpinan-nya di bawah Kiai Mustofa.
"Jadi begini, Kiai. Saya sudah tua, begitu pula istri saya. Anak pertama kami, Rosyid ini belum juga memiliki pendamping. Selama ini dia selalu menolak untuk menikah. Tapi setelah melihat foto Nak Ishma melalui Gus Njamil, Alhamdulillah dia mau membuka hati." Kiai Mustofa berbicara tentang maksud kedatangannya.
"Tidak mengurangi rasa takzim untuk menyam-bung tali silaturahmi, kami berniat melamar Nak Ishma. Apakah Nak Ishma berkenan untuk menerima hadiah kecil dari kami?" ucap Kiai Mustofa sambil menyodor-kan bingkisan berwarna merah.
Hatiku hancur berkeping-keping, bingung harus menjawab apa. Saat ini ingin rasanya aku lari menyeret lengan Nafis, lalu pergi sejauh mungkin saat melihat pendar bahagia di mata Umi.
“Dengan senang hati, Pak Yai. Suatu kehormatan bisa mempererat tali silaturahmi para sesepuh melalui ikatan pernikahan.”
Aku terperangah mendengar jawaban Umi. Memutuskan sepihak tanpa menunggu persetujuanku, seakan perasaan dan keberadaanku di sini tidak penting. Wajah Nafis tampak cemas, melalui remasan tangan ia memberiku kekuatan.
Tak sadar aku bersuara, “Maaf, Pak Yai, Bu Nyai, bolehkah saya meminta waktu untuk ....”
Kalimatku langsung terjeda. Suara keras terdengar dari ruang tengah. Seperti suara gelas-gelas pecah berhamburan. Kami semua menoleh ke asal suara.
"Piye, to, Kang, sampean!" tertangkap suara Kang Zuher setengah berteriak.
Perasaanku semakin tak karuan, ingin memastikan kalau itu bukan Kang Amar. Seolah mengerti maksudku, Nafis tersenyum dan menganggukkan kepala memberi isyarat kepada semua yang ada di ruang tamu untuk membereskan insiden itu. Selanjutnya ia bergegas menuju ruang tengah.
Aku masih mencoba setenang mungkin di hadapan mereka, walaupun rasa hati seakan terkoyak. Ingin sekali ikut membantu Kang Amar yang mungkin sedang kapayahan di ruang tengah. Akan tetapi, aku harus menjaga marwahku dan menghormati para tamu di sini.
Setelah mengobrol cukup lama, keluarga Kiai Mustofa pamit. Aku mengembuskan napas lega, seperti lolos dari jeruji besi. Keluarga kami mengantar kepergian mereka sampai teras.
Deru mobil terdengar dari halaman luas pesantren. Para santri bergerombol keluar dari musala setelah salat Asar. Mereka sesekali menoleh pada kendaraan Kiai Mustofa, lalu berbisik-bisik. Tampak dari halaman, Abah melambaikan tangan hingga mobil itu lenyap di balik gerbang.
***
Angin semilir menggoyangkan dedaunan. Tampak dari jendela kaca kamar, pohon sawo kecik menjulang tinggi dan kekar. Entah sudah berapa tahun usia pohon sawo itu. Pohon sawo di sini salah satu saksi bisu perjuangan para ulama di zaman Belanda.
Sawo adalah akronim dari perkataan 'Sami'na wa atho'naa dan showwu sufufakum' ketika pemimpin berseru "Showwu Sufufakum.” Para prajurit menjawab, "Sami'naa wa athoo'naa."
"Ning!" Nafis histeris memasuki kamar sambil mengatur napas. Entah sampai kapan dia akan heboh seperti itu. Ia Menarik lenganku untuk duduk di tepi ranjang.
"Ning, siapa nama lengkap Kang Amar?"
"Yang kutahu Amar Hasbullah." Nafis tampak berpikir.
"Kau tadi memperhatikan wanita tua bersama rombongan Kiai Mustofa?" Aku mengangguk.
"Itu simbanya Gus Rosyid."
"Ning, tadi aku lihat beliau sempat memeluk Kang Amar di dapur. Simbah itu menepuk-nepuk bahu Kang Amar sambil bilang, 'Ya Allah, Ison ... Ison ... apakah kau tak merindukanku?' Seperti itu, Ning."
-----
Separuh bab ini dihapus untuk menghindari plagiarisme.
Yang belum sempat baca bisa cus ke KBM app. Disana udah tamat
----
Dapatkan info tulisan terbaru dengan follow IG Elin_Khanin yeaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat)
Storie d'amoreKisah cinta seorang abdi ndalem bernama Amar dengan Ning Ishma, putri seorang Kyai. Tidak hanya berparas cantik namun memiliki segudang kelebihan yang membuat para lelaki ingin memilikinya. Namun hatinya sudah terlanjut tertambat pada seorang pemuda...