Kaukah Cinta Sejatiku?

615 36 2
                                    


"Pokoknya Ishma tidak suka sama Gus Rosyid, Um," rengekku pada wanita yang paling kucintai itu. 

"Apa, sih, Ish, yang kurang dari Gus Rosyid? Dia itu tampan, pintar, dan calon ulama besar. Kamu satu-satunya harapan umi untuk menyambung tali silaturah-mi Mbah Kholil." Umi berapi-api sementara Abah hanya diam sambil mencecap kopi panas buatanku. Barangkali Beliau akan bersuara di sela yang tepat.

"Ishma mencintai orang lain." Akhirnya aku berani mengeluarkan isi hati dengan sisa nyali yang kupunya. Aku sendiri bingung kenapa kalimat ini meluncur dari mulut. Apa aku sudah terjerat Kang ndalem itu?

“Apa?”

“Nggak ... nggak, Um.” Tak berani kuulangi kalimat tadi. 

Abah menatapku lekat dengan kaca mata yang sedikit melorot di tengah-tengah hidungnya yang bangir, lalu membuka lagi lembar demi lembar kitab kuning di atas meja kecil. 

"Sopo kui?” Kuremas jari-jariku, berharap rasa tegang ini segera hilang, tetapi nyatanya tidak. Pernyataan yang sempat terlontar begitu saja rupanya cukup jelas terdengar.

"Siapa dia, Enduk? Kalau dia tidak lebih baik dari Gus Rosyid, Umi tidak rida." 

"InsyaAllah dari segi akhlak, dia lebih baik, Um. Ishma tidak suka dengan cara Gus Rosyid menatap Ishma. Penuh nafsu." 

"Hus ... jangan suuzan kamu." Umi memberi peringatan.

"Tolong, Um. Beri Ishma waktu." 

"Apakah dia juga menunjukkan keseriusan seperti Gus Rosyid?" 

Aku terperangah menatap Abah yang tiba-tiba membuka suara. 

"InsyaAllah, Bah. Cuma butuh waktu. InsyaAllah dia juga pemuda yang tulus, bertanggung jawab, lembut, dan ringan tangan." Aku masih malu menyebut namanya. 

"Ya kalau dia berani menunjukkan keseriusan, InsyaAllah akan Abah pertimbangkan," tandas lelaki bersarung hijau itu. 

Kalimat Abah bagaikan embun berjatuhan di hatiku. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur, merasakan titik terang itu perlahan datang. Entahlah apa yang membuat Abah tiba-tiba melunak, aku tak tahu. Beliau memang sosok yang bijaksana. 

"Abah ini bagaimana. Kan, kita sudah sepakat menerima Gus Rosyid kemarin."

Umi tak sependapat. "Awakmu wes istikharah, Ish?" 

"Sudah, Um."

"Lha terus, gimana hasile?" 

"Belum, Um." Aku menunduk dengan tatapan kosong.

 Ada sesal di dalam hati karena memang aku belum mendapat jawaban atas salat istikharah yang kulakukan dua hari yang lalu.

"Umi tetep manteb milih Rosyid. Sudah jelas yang datang kesini. Sudah jelas nasabnya, jelas kualitas orangnya. Dari segi apapun, dia lebih layak diper-hitungkan. Ish ... kalaupun Umi tak memperjelas menerima pinangan itu, keakraban Abah dan Umi kepada keluarga Kiai Mustofa kemarin itu sudah kode bahwa kita menerimanya. Jadi kalau nanti kita menolaknya, Umi akan sangat malu, Ish." Aku terdiam, begitu juga Abah, kami sama-sama tak mampu mengucap sanggah.

🌲🌲🌲

Nomor tak dikenal kembali mengirimkan pesan bualan seperti beberapa hari lalu. 

Kini aku tahu siapa pemilik nomor ini. 

Ah, sudahlah, aku malas meladeni orang keras kepala sepertinya. Kugulir layar berharap ada pesan dari dia yang kurindukan ... tetapi tak kutemukan. Ah, Kang Amar. Kenapa menyebut namamu saja membuat hatiku menggeletar. 

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang