Sudah jam 11 malam, para tamu besar Abah masih belum beranjak. Terdengar gelak tawa ringan dan obrolan seputar pesantren dari mereka. Paduan asap rokok dan bau minyak wangi menguar sampai ke ruang prasmanan. Para kang ndalemterlihat bolak-balik membawa beberapa gelas kopi panas dengan berjalan takzim menggunakan lutut menuju ruang tamu.
"Kapan Ishma kamu nikahkan, Syam? Dia itu sudah matang, sudah lulus S1, hafal Alquran. Emang yang dicari itu yang kayak gimana?"
Langkahku berhenti menangkap obrolan mereka.Mendengar itu, Abah berdeham. "Ya, nanti kalau sudah ketemu yang tepat, insyaAllah disegerakan," jawab Abah.
"Bocah kayak Ishma, pantasnya, ya, bersanding dengan yang tampan dan pintar. Aku ada kenalan, Syam. Kiai Cirebon punya anak laki-laki, bagus banget bocahe. Namanya Gus ...."Buru-buru kututup telinga, lalu menuju kamar. Aku tak peduli dan tak mau dengar siapa yang dimaksud Paman Njamil. Saat ini aku masih belum mau membahas tentang pernikahan. Lulus kuliah saja baru 1 bulan lalu, perjodohan sudah dibahas terus menerus.
Sekarang ini perasaanku gusar. Harga diriku dipertaruhkan hanya gara-gara sekelumit kalimat-kalimat cinta dari kang ndalem kemarin sore itu. Bagaimana nanti jika kang ndalemitu berterus terang kepada keamanan jika lusa diinterogasi? Jika kuutarakan alasan bahwa aku hanya meminta tolong untuk diantar karena situasi sangat mendesak, semua orang di Ar-Roudloh akan tahu kalau KangAmar menaruh hati padaku.
Meskipun tak mungkin aku menerima takziran seperti santri lain ketika tak sengaja ketahuan berduaan dengan selain mahrom, tapi jargon 'biso ngajar ora iso ngelakoni' itu bukan sifatku. Setidaknya aku akan menjalani hukuman secara intern oleh Umi atau Abah. Kalau bukan karena terpaksa, tak mungkin aku meminta Kang Amar mengantarku. Kupukul wajahku dengan bantal mengingat kecerobohan yang telah terjadi.Ketakutan membayangkan reaksi Abah dan harapan Umi aku bisa bersanding dengan putra kiai juga akan pupus.Kubuka mushaf, tetapi pikiranku melayang tak bisa fokus membacanya.
Suasana pesantren begitu hening saat duha karena sebagian besar santri sudah berada di ruang kelas. Hanya ada seorang lelaki muda di halaman belakang sedang mencuci mobil. Dari ciri-cirinya, aku langsung tahu dia adalah kang ndalem yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir para santriwati. Bahkan,Umi pun mengakui jika pemuda itu karismatik. Dia, KangAmar.
Di depan Gedung Wanita, sahabatku Nafis langsung menyergapku dengan berbagai pertanyaan mengenai pemuda jangkung yang bersamaku.
"Itu siapa,Ning?"
"Kang ndalem."
"Ooh ... tak kira calon suamimu,"ucap Nafis cengengesan.
"Itu beneran kang ndalem? Tumben ada yang sebening itu. Kalau aku jadi kamu, tak peduli dia bukan anak kiai aku embat, Ning." Mendengar itu aku tergelak.
"Ganteng tapi cuma kang ndalem, Umi nggak bakal merestui, Naf." Kugamit dagu Nafis.
"Tapi jika Allah sudah berkehendak, nggak ada yang bisa menghalangi, termasuk umimu," cetus Nafis sok tahu. Tak sengaja kepalaku menoleh ke belakang saat Nafis, pengandtin baru itu, masih sibuk membicarakan penampilan Kang Amar.
Kang Amar melambaikan tangan, refleks kubalas senyumnya. Tiba-tiba dari arah depan pintu masuk, seseorang berjalan ke arah Kang Amar sambil melempar senyum dan menyapa. Seperti sepasang teman lama bertemu kembali. Barulah kutahu senyum dan lambaian tangan Kang Amar tadi bukan untukku.
Segera kupalingkan wajah dan memutar badan sembilan puluh derajat. Kutarik lengan Nafis menuju aula gedung dan menutup mulutnya yang habis-habisan meledekku. Kejadian itu terus berputar dalam pikiranku, menghantui setiap hari.
-------------
Kurasakan mushaf masih dalam genggaman. Hawa dingin semakin menjalar, pertanda sebentar lagi azan subuh berkumandang. Aku harus bangun untuk bersiap menyimak setoran hafalan Alquran santri tahfiz.
Seperti biasa, selepas menyimak para santri, aku kembali ke kamar masih dengan mengenakan atasan mukena untuk mendaras hafalanku sendiri.
Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar."Umi." Kucium punggung tangannya dengan takzim. Ada gurat tegang pada wajahnya yang masih segar walau sudah terhias keriput disana.
"Ish ...."
"Iya, Umi."
"Apa benar wanita bernama Latifa yang dimaksud Amar kui awakmu?" spontan aku terperangah mendengarnya. Kang Amar, kang ndalem itu pasti sudah terpojok saat diinterogasi, lalu membeberkan semuanya."Saiki ketua keamanan putra, Kang Heri, Abah, dan Amar sedang di ruang tamu.Abah duko, Ish."
Tanpa pikir panjang, kupeluk tubuh gemuk Umi dengan air mata yang mengalir deras. Tak mampu menghadapi Abah saat inidanbeliau pasti merasa sangat kecewa mengetahui putri semata wayangnya harus berakhir memalukan, menjadi bahan gosip para santri dan pengurus.BERSAMBUNG.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat)
RomanceKisah cinta seorang abdi ndalem bernama Amar dengan Ning Ishma, putri seorang Kyai. Tidak hanya berparas cantik namun memiliki segudang kelebihan yang membuat para lelaki ingin memilikinya. Namun hatinya sudah terlanjut tertambat pada seorang pemuda...