Aku hampir tak percaya dengan apa yang dikatakan Abah pada Kang Amar. Apakah itu artinya Kang Amar punya kesempatan juga? Tidak seperti Gus Rosyid yang diwakilkan uminya saat taaruf, Kang Amar berani bicara sendiri.
Abah memang orang paling bijaksana dan lemah lembut, pantas saja Umi jatuh hati. Aura yang sama terpancar juga di wajah Kang Amar. Aku yakin kelak dia menjadi suami, pastilah sabar dan penyayang seperti Abah. Itulah alasan kenapa hatiku memilihnya dan berdebar bila melihatnya.
Di balik gorden, kening dan hidungku menyatu di atas lantai yang dingin. Aku tersungkur mengucap syukur tiada henti. Teringat kembali percakapan hangat dengan Abah selepas kunjungan keluarga Kiai Mustofa yang membuatku kalut setengah mati.
Setelah proses taaruf itu, perasaan cemas dan sedih tak bisa kutepis. Hanya Allah tempat kumengadu di setiap waktu dan di setiap embusan napas. Kuusap air mata dengan kain mukena yang kukenakan saat Abah membuka pintu, Beliau masuk dan duduk disampingku. Kehadirannya seolah ingin memberikan kekuatan. Malam ini sehabis salat Isya, aku hanya ingin berdiam diri di kamar. Tak ada gairah untuk sekedar ngawasi santri yang sedang belajar bersama seperti biasanya.
"Awakmu kalau tidak bisa menerima Gus Rosyid, tak usah dipaksakan, Enduk." Abah membelai kepalaku.
Apa yang dikatakan Abah itu membuat hati ini sejuk sekaligus haru.
"Hem?" kembali tasbih itu terputar oleh jempol dan telunjuknya.
Kusandarkan kepala di bahunya yang bidang, harum minyak kasturi di baju kokonya begitu menenangkan.
"Apakah Ishma masih punya kesempatan mencintai laki-laki lain, Bah? Bolehkah laki-laki itu meminang Ishma?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir. Abah orang yang sangat kupercaya. Pria berkharisma disampingku ini telah menebar kenyamanan. Benar kata orang Jawa kuno, bahwa anak perempuan itu lebih dekat dengan ayahnya.
"Laki-laki itu … apakah Amar?"
Aku tergagap, melepaskan tangan yang sedari tadi melingkar di lengan Abah. Aku menatap wajah teduh itu lekat.
"Abah ...."
"Aku sudah berbicara pada Kiai Mustofa agar memberimu kesempatan untuk berpikir dan istikharah memantapkan pilihan mau lanjut ke jenjang khitbah atau tidak."
Aku terisak dalam haru. Begitu lega telah menumpahkan isi hati. Kini aku tahu kenapa kebanyakan anak tertekan dan tak bisa terbuka dengan orang tuanya sendiri. Itu karena orang tua mereka tak memberi kenyamanan dan tak ada pendekatan seperti Abah.
"Lalu Umi bagaimana, Bah?"
"Kita wajib ikhtiar sekuat tenaga. Perihal jodoh, ajal, dan rezeki itu masih rahasia Allah. Allah yang menentukan, bukan umimu."
"Apakah Umi tahu, jika Abah menolak lamaran Kiai Mustofa?"
"Tidak perlu. Abah hanya meminta kepada Kiai Mustofa perihal taaruf kemarin belum bisa masuk ke jenjang khitbah dahulu. Kau masih bisa memilih.
Alhamdulillah, Kiai Mustofa pun mau memahami."
"Alhamdulillah .... syukron, Bah." Kedua lengan ini semakin melingkar erat di pinggangnya yang besar. Mempunyai Abah yang pengertian seperti ini membuatku merasa menjadi anak paling beruntung di dunia.
"Emmm ... iya,Bah, setahuku memang taaruf dan khitbah itu berbeda. Taaruf itu proses mengenal, sedangkan khitbah, keduanya sudah sepakat untuk segera menikah,"
jawabku berbunga-bunga.
"Tapi Kiai Mustofa masih sangat mengharapkan suatu saat kamu mau membuka hati untuk Gus Rosyid. Jika tidak, setidaknya silaturahmi selalu terjaga. Jadi istikharahlah yang kencang." Aku mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat)
RomanceKisah cinta seorang abdi ndalem bernama Amar dengan Ning Ishma, putri seorang Kyai. Tidak hanya berparas cantik namun memiliki segudang kelebihan yang membuat para lelaki ingin memilikinya. Namun hatinya sudah terlanjut tertambat pada seorang pemuda...