Sabar

626 44 8
                                    

Kepergianmu tanpa kata itu menyisakan luka yang teramat nyata. Membuatku terus mencari jejakmu yang menguar bersama udara.

☘️☘️☘️

Kesabaran itu ada dua macam. Sabar atas sesuatu yang tidak kau ingin dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau inginkan. Ketahuilah, bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. (Ali bin Abi Thalib)

Halaman lima belas dari buku berjudul lidah emas para sahabat nabi yang disusun oleh Ustad Abduh itu tiba-tiba muncul di kepala dan menari-nari disana. Seolah ingin menamparku saat bangun dari sujud terakhir seraya menengadahkan kedua telapak tangan memanjatkan doa dalam cahaya duha. Doa untuk kesembuhan Umi tak henti-henti terucap. Tiap ada waktu, aku menenggelamkan diri mendaras Al-Qur'an, bersiap untuk khataman lagi. Upaya pengobatan sudah, ikhtiar lewat doa juga harus maksimal. Para santri dipesan Abah menggelar khataman massal untuk kesembuhan Umi. Seperti perintah dari seorang raja, mereka pun langsung patuh. 

Siang malam bergantian mempersembahkan rang-kaian mujahadah dan khataman. Juz dua surah Al-Baqarah ayat 216 adalah kedua kalinya kuanggap sebagai sebuah tamparan, ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.’

Berbagai analisa terbayang di benakku. Apakah benar Gus Rosyid adalah jodoh dari Allah untukku. Lalu Kang Amar yang kukira baik untukku sebenarnya tidak. Nyatanya sampai sekarang tak juga muncul batang hidungnya. Betapa tega ia di saat Umi seperti ini lebih memilih berkhidmah pada kiainya Lasem sampai berhari-hari.

Mustahil tak ada yang memberi kabar tentang kecelakaan ini padanya. Ah, tak ada salahnya juga aku menelpon kang ndalem itu. Kondisi Umi mungkin bisa kujadikan alasan. Siapa tahu memang ia belum tahu kejadian ini. Setelah menemukan nomornya, kutempel-kan ponsel itu di telinga, menunggu respon dari orang di seberang sana. 

Namun yang terdengar hanya suara dari operator, dia pasti sengaja menghindar. Kukirim pesan di nomor WA-nya. 

Centang satu. Tetap begitu sampai beberapa menit. Membuatku menyerah dan meletakkan ponsel itu kembali ke dalam tas hitam bergambar bunga mawar. Kepalaku kembali berdenyut mengingat janji yang terucap begitu saja saat melihat Umi tak sadarkan diri.

Malam itu, tekad begitu kuat, memberantas semua ego yang kupunya. Hanya satu yang kuinginkan saat itu, Umi terselamatkan. Kini akal dan batin terus berperang, mengharap keajaiban terjadi. Umi sehat kembali dan mengurungkan niat menjodohkanku dengan Gus Rosyid dan tidak melulu memikirkan tentang arti sebuah nasab. Karena tidak semua yang berakhlak mulia lahir dari seorang yang punya kedudukan mulia pula di dunia. 

☘️☘️☘️

Atas kehendak Allah, operasi cedera kepala Umi akibat kecelakaan itu berjalan lancar. Umi dipindahkan ke ruang VIP Bougenvil nomor 12 untuk menerima perawatan intensif. Senyum kami terukir saat tahu beliau sudah sadar dan bisa tersenyum seperti sedia kala. 

"Maafkan Umi, Ish." Kata itu yang pertama terucap di bibir Umi setelah siuman. Aku menggenggam erat tangannya. 

"Umi jangan mikir yang berat-berat. Biar Abah saja. InsyAllah semua bisa teratasi tanpa merepotkan banyak pihak," sahut abah, membuatku bertanya-tanya. Me-repotkan banyak pihak? Apa maksudnya? 

"Amar," ucap Umi tiba-tiba. Jantungku langsung berdebam. 

"Ada apa, Um?"

"Sampaikan maafku pada Amar." 

Hatiku bersorak. Mungkinkah .... 

"Abah yang salah, Um," timpal Abah. Aku menatap Abah dan Umi bergantian. 

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang