Turi Putih

585 42 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Aku bernapas lega setelah keluar dari aula, mengumpulkan semua santriwati di sana.


Memberikan wejangan kepada mereka agar saling membantu dan memperhatikan para santri baru. Kepada santri baru kubacakan tata tertib dan jadwal pesantren. Salah satunya tentang membiasakan diri untuk bersabar karena di pesantren semuanya harus antri. Kumpul dengan banyak orang dengan berbagai macam karakter harus mempunyai sifat lapang dada. 


Setelah itu aku kembali ke kamar mempersiapakan bahan ajar untuk diniah sore. Ponselku kembali ber-denting. 


"Assalamualaikum, Ning. Kunci motorku malah kebawa pak suami. Gimana dong? Padahal dah siap-siap mau kesitu, nih." Nafis berkata dengan nada kecewa.


 "Wa'alaikumsalam. Ya, udah, aku jemput, ya." 


"Udah nggak usah, Ning. Nanti malam aku bisa nyuruh ponakan tidur sini buat nemenin aku." 


"Yakin?" 


Nafis terdengar meringis. "Sebenarnya aku lagi ngidam pingin naik dokar lho, Ning. Yang ada di Pasar Bulumanis." 


Pasar Bulumanis adalah pasar dekat pesantren. Alat transportasi tradisional di desa Kajen ini masih banyak ditemukan. Biasanya santri dari pesantren mana pun di desa Kajen ini harus naik dokar atau becak terlebih dahulu jika ingin ke jalan raya. 


"Ada-ada aja ya bumil. Ya udah aku jemput sekarang."


"Makasih, ya, Ning cantik." 


Kututup sambungan telepon, lalu bergegas menuju garasi meminta tolong kepada Kang Mukhlis, supir pribadi Abah yang berusia 50 tahun. Lagi-lagi tak kutemui pria sepuh itu di sekitar pesantren. 


Sesampainya di garasi juga tak kutemukan mobil disana. Aku baru ingat Abah dan Umi pergi menghadiri pengajian di tempat yang berbeda, jadi dua mobil terpakai semua. Dengan terpaksa, aku naik motor matic. Selain motor vespa tua dan sepeda unta, hanya kendaraan itu yang tersisa.


Untung saja sudah bersih seperti habis dicuci. 

Kulipat jas hujan yang ada di gantungan garasi, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. Barulah aku ingat tasku tertinggal di ruang makan. Di perjalanan menuju halaman belakang, aku berpapasan dengan Kang Amar. Dia menenteng satu ember besar berisi cucian baju-baju Abah. Sempat netra kami beradu sepersekian detik saat aku berjalan cepat melewatinya.  

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang