Pagi-pagi sekali Daffa sudah mengirim pesan agar dirinya pergi ke rumah sakit hari ini, bersama Gulya. Aiyla tidak menolak, karena itu memang agendanya akhir-akhir ini. Namun, lagi dan lagi Daffa bersikap aneh.
Semalam Gulya memang tidak pulang, alhasil beberapa saat lalu Aiyla pergi sendiri ke rumah sakit.
Lorong rumah sakit seolah sudah sangat familier dengan kedua penglihatannya. Tak takut tersesat atau salah jalan seperti pertama kali datang. Aiyla menyugar rambut yang diuraikannya ke belakang. Berjalan, kemudian naik ke lantai atas menggunakan lift yang tersedia.
Hingga akhirnya tiba di ruang rawat Elvan, Aiyla segera mendorong pintu dan masuk. Dan saat itu, pemandangan Daffa yang sedang menyerahkan sepiring makanan kepada Gulyalah yang menyapanya. Kedua sudut bibirnya tertarik, manis.
“Pagi.”
Saat itu juga, Daffa dan Gulya sama-sama menoleh ke ambang pintu. Membalas senyum, membalas sapa. Kemudian, “Sudah sarapan? Daffa membawakan makanan.”
Aiyla menaruh tas putihnya di atas sofa, kemudian mengecup pipi Gulya sebelum menjawab, “Belum, Anne.”
Daffa menggelengkan kepalanya. Tanpa mengomel, diangsurkannya makanan ke arah Aiyla. “Makanlah dulu.”
Seusai mengucapkan kata terima kasih, Aiyla menyempatkan diri untuk menyapa Elvan walau tak mendapat respons sebelum akhirnya duduk di atas sofa. Memulai aktivitas sarapannya.
Namun, di sela aktivitas tersebut sesekali Aiyla mendongak untuk melihat Daffa yang ternyata sedang sibuk dengan ponselnya. Raut wajahnya serius, seolah sesuatu yang dibahasnya merupakan hal penting.
Tepat ketika tanpa sengaja Daffa mengangkat kepala, pandangan mereka pun bertemu. Aiyla menepuk sofa kosong di sebelahnya, meminta Daffa untuk duduk di sana.
Tak lama, dengan memberi jarak Daffa pun sudah duduk sesuai keinginan Aiyla.
“Ada apa? Mengapa menyuruhku untuk datang kemari di saat kau tahu aku pasti datang?”
Daffa menoleh, menggelengkan kepala tetapi kembali menunduk menatap layar ponselnya. “Aku tahu, aku hanya ingin memastikan bahwa kau datang hari ini.”
Aiyla tahu betul, sejak kemarin Daffa hanya berdalih setiap kali dirinya bertanya. Entah apa yang sedang dipikirkan atau bahkan sedang disembunyikan oleh Daffa. Yang jelas, “Jika ada sesuatu, tolong bicarakan saja. Aku ... tidak mau kau menyembunyikan apa-apa dariku.”
Hening tercipta untuk beberapa saat. Daffa mematikan layar ponsel sebelum mengubah posisi duduknya, setengah menghadap ke arah Aiyla dengan melipat sebelah kakinya. “Tapi, berjanjilah untuk tidak marah padaku terlalu lama setelah ini.”
Lagi, Aiyla mengerutkan dahinya bingung. Daffa yang dirinya kenal tidak pernah seperti ini. Tidak jelas. “Aku berjanji,” finalnya, setengah hati.
“Seseorang ingin bertemu kau dan ibumu, pamanmu juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
UNWORTHY 2: Hiraeth [TAMAT]
RomanceTolong follow sebelum membaca! Sequel Unworthy | Nuraga Series #Book 3 _____ ❝We met, we loved, then we broke❞ Dalam setiap embusan napasnya, dua hal yang selalu Aiyla rasakan; kerinduan dan kehilangan. Di tengah keinginan besarnya untuk meninggalka...