4. Warung Sate

40 16 3
                                        

"Call me when it's over.

Tell me when you're done.

I can be the shoulder.

The shoulder to cry on, a heart to rely on."

°°°

Tifa mengangkat kedua tangan guna meregangkan otot-ototnya. Tak jarang dia memijit pelipis untuk meredakan sedikit rasa nyeri di kepala. Akhir-akhir ini jadwal mengajarnya cukup padat sebab menjelang penilaian akhir semester beberapa murid lesnya meminta tambahan hari. Saking sibuknya, bahkan dia sering melewatkan jam makan siang karena takut jadwalnya berantakan. Dalam sehari, perempuan itu bisa mengajar lima hingga enam sesi. Jadi, jika ada yang telat sepuluh menit saja, maka jadwal yang lainnya bisa bergeser.

Kini Tifa baru merasakan efeknya dari ketidakteraturan itu. Ketika harus menjalani pekerjaannya yang lain, dia tidak bisa menaruh konsentrasi secara penuh.

"... ya, Tif?"

"Hah? Gimana-gimana, Mas? Maaf, aku kurang fokus." Tifa merasa bersalah karena tak menyimak apa yang dibicarakan Danis.

"Kamu kayaknya lagi banyak pikiran. Mending istirahat dulu, aku ambilin minum."

"Eh, nggak perlu. Biar aku ambil sendiri aja," ujar Tifa menolak halus tawaran Danis.

Perempuan itu mengambil teh botol dari lemari pendingin dengan gerakan lambat. Nyeri di kepalanya semakin menjadi-jadi. Bukan hanya itu, Tifa juga merasakan sakit di bagian perut bawahnya akibat kedatangan tamu bulanan. Seluruh tulang di tubuh rasanya seperti mau rontok.

"Apa kamu mau pulang aja?" ucap Danis dengan nada hawatir. "Kalau iya, nanti aku suruh Bima yang nganterin. Aku udah ada janji soalnya."

"Nggak kok, Mas. Paling sebentar lagi mendingan. Baru mau jam sepuluh juga."

"Oke kalau gitu, aku ke belakang dulu."

Tifa hanya mengangguk menanggapi Danis. Dia tidak ingin sedikit-sedikit merepotkan orang lain. Tidak boleh manja. Masa baru seperti ini saja sudah lengah. Perempuan itu baru sampai kafe dan belum menyentuh mikrofon sama sekali. Tifa paham arti tanggung jawab dan dia harus segera melakukan pekerjaannya.

Seolah keinginan Tifa tidak ada yang mengamini sebab ketika akan berdiri, dia mencengkeram erat ujung meja untuk melampiaskan kesakitannya. Bulir keringat mulai mengalir hingga ke dagu. Berbanding terbalik dengan apa yang dia yakini beberapa saat lalu, sekarang dia merasa tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Perempuan itu mencoba berdiri kembali, tetapi gagal. Kakinya terlalu lemah untuk menopang badan. Hingga kemudian Danis tiba dengan Bima di belakangnya.

"Tif, ini Bima udah-ya ampun, kamu pucat banget!"

"Apa nggak pergi ke klinik aja?" usul Bima yang turut prihatin dengan kondisi Tifa.

Tanpa menunggu lama, Danis berusaha memapah perempuan itu dan kepanikannya semakin bertambah tatkala Tifa terkulai tak sadarkan diri di lengannya.

"Bim, tolong kunci mobil di saku!" Danis memberi perintah. Lelaki itu kemudian membopong Tifa dan membaringkannya di jok belakang setelah Bima membukakan pintu. "Titip kafe, ya. Kalau ada yang nyari aku, bilang aja lagi ada urusan mendadak."

Dengan tergesa Danis melajukan mobilnya menuju klinik terdekat. Beruntung tempat itu belum tutup meski sudah lewat pukul sepuluh. Dia mau membawa Tifa ke rumah sakit, tetapi takut jika prosedur penanganannya terlalu lama. Lagi pula perjalanannya memakan waktu lebih lama juga.

Danis membawa Tifa masuk dan pihak yang bertugas langsung memeriksa perempuan itu. Tak lama setelahnya, Tifa sadar. Dia mencoba bangun dan perawat yang berada tak jauh darinya membantu.

EMPHATY [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang