"I don't mind spending every day,
Out on your corner in the pouring rain.
Look for the girl with the broken smile.
Ask her if she wants to stay awhile."
***
Pada hari Minggu Tifa tak memiliki jadwal les sama sekali. Hal itu membuatnya selalu bersantai di pagi hari. Bangun siang, bermain gawai, menonton film atau series, mencuci pakaian, dan rebahan.... Demikianlah segenap kesibukan pada Minggu pagi.
Namun, nampaknya tidak untuk kali ini.
Pukul enam ponselnya berdering. Mama menelepon. Awalnya Tifa enggan mengangkat, tetapi kemudian dia berusaha mengalah dengan egonya. Mamanya tidak akan memanggil jika itu bukan hal yang mendesak dan dugaan Tifa rupanya tepat.
"Tifa, kamu bisa pulang hari ini? Papa kambuh," kata Mama selepas mengucap salam, "Kakakmu juga udah Mama kasih tahu dan katanya mau ke rumah besok."
Jawaban singkat Tifa berikan. "Iya, Ma. Aku nanti pulang."
Panggilan itu tidak berlanjut sebab Mama langsung memutusnya. Tidak berbeda dengan Tifa yang memang tak berminat melanjutkan pembicaraan. Lagi pula, dia juga harus segera bersiap-bersiap untuk pergi, memenuhi permintaan sang Mama barusan. Tifa lalu mengemasi beberapa keperluannya karena perempuan itu tahu jika dirinya tidak mungkin hanya tinggal satu atau dua hari di rumah.
Papa sakit semenjak dua tahun yang lalu. Lemah jantung. Belakangan Tifa cukup tenang sebab sudah terhitung lima bulan ini penyakit beliau tidak kambuh. Selama itu pula, dia belum pulang lagi ke rumah. Di samping karena Papa yang kondisinya baik-baik saja, menghindari Mama menjadi alasan utama. Tifa hanya berusaha tidak memperkeruh keadaan dan menjauh dari konflik.
Perjalanan dari kota kecil tempatnya merantau hingga rumah memakan waktu dua jam setengah. Tidak lama memang, akan tetapi Tifa tidak suka naik transportasi umum. Sesak. Belum lagi untuk oper, dia harus naik angkot dua kali, kemudian bus, setelah itu masih mengojek untuk bisa sampai di rumah. Males banget, capek di perjalanan.
Setibanya di rumah, Tifa dikejutkan oleh penampakan pria baya yang beberapa jam lalu dikabarkan tengah sakit. Papa justru sedang asyik bersiul dan menjentikkan jari, bercengkerama dengan burung-burung dalam sangkar di teras rumah.
"Loh, Tif, kenapa kamu pulang nggak ngasih kabar? Biar surprise nih ceritanya!" sambut papa Tifa, Jito, dengan penuh semangat. Tidak ada tanda-tanda kalau pria tersebut tengah dalam keadaan tidak baik. Wajahnya semringah, tak pucat sama sekali.
"Papa kok malah di luar? Bukannya kata Mama sakit Papa kambuh?"
"Ah, tadi pagi dada Papa memang sempat kerasa nyeri, tapi sekarang udah bisa buat jalan-jalan!" seru Jito sembari memutar badan, menunjukkan keadaannya yang baik-baik saja. "Kamu lagi libur?"
Tifa yang tidak tahu harus memberikan tanggapan hanya bisa mengangguk. Dia meraih tangan kanan pria bersarung itu lalu menciumnya. "Aku masuk dulu, Pa."
Dengan langkah berat, Tifa berjalan menuju kamar. Ketika melewati ruang tengah, Weni yang tengah bersantai di sofa menegurnya, "Udah sampai, Nak?"
Meski merasa lelah dan kesal akibat merasa dibohongi oleh sang mama, Tifa tidak bisa mengacuhkan wanita itu begitu saja. Bagaimanapun, beliau orang tuanya. Tifa lantas menghampiri Weni, melakukan hal yang sama seperti pada Papa sebelumnya, lalu berpamitan ke kamar.
"Kamu nggak akan pulang 'kan kalau bukan karena Papa?" ucap Weni tiba-tiba.
Tifa hanya berhenti sebentar lalu melanjutkan langkahnya. Belum ada sepuluh menit dia di rumah dan perempuan itu tidak ingin menciptakan keributan dengan meladeni Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
RomanceTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...