1. Tentor Les

65 20 5
                                    

"Your hand fits in mine like it's made just for me.

But bear this in mind, it was meant to be.

And I'm joining up the dots with the freckles on your cheeks.

And it all makes sense to me."

°°°

Instrumen akustik mengiringi alunan tiap bait lirik yang keluar dari mulut Tifa. Little Things, satu dari sekian lagu yang wajib dia bawakan untuk menghibur pengunjung kafe menjelang tengah malam. Nyanyian syahdu itu mengantarkan siapapun yang mendengar pada kedamaian. Cocok sekali sebagai sarana pelepas penat akan kesibukan di akhir pekan.

"Suaraku nggak bagus-bagus amat sih, tapi masih layaklah kalau didengerin sama orang yang telinganya normal," canda Tifa tiap kali ada orang yang meragukan kemampuan menyanyinya. Dan itu benar. Suaranya memang tak sekeren Isyana atau Maudy Ayunda, akan tetapi setidaknya tak rawan menimbulkan fitnah.

Dengan penuh percaya diri perempuan itu duduk di sebuah kursi, di atas panggung kecil bagian depan kafe. Tifa selalu berusaha menampilkan yang terbaik. Selain menjadi pekerjaan, menyanyi baginya juga merupakan sebuah hobi. Beruntungnya perempuan itu bisa melakukan kesenangan yang menghasilkan uang.

"Masih nunggu ojol, Tif?"

Yang diajak bicara tersentak, lantas memutar kepala. "Eh, iya ini, Mas."

Tifa sudah menunggu sepuluh menit yang lalu karena jam kerjanya telah usai. Namun, ojek online yang dipesannya belum juga sampai.

"Mas Danis udah mau balik?"

Lelaki yang berdiri sejajar dengan Tifa itu menggeleng. "Belumlah. Kamu ini gimana, masa iya bos pulang duluan?"

"Ya masa enggak, barang kali mau ada urusan gitu," sahutnya sambil menyengir, sama sekali tak merasa canggung dengan sang atasan.

"Penawaranku masih berlaku kok kalau kamu mau nunggu lamaan sedikit."

"Penawaran ...." Dahi Tifa mengerut saat dia mencoba mengingat-ingat apa yang tengah dibicarakan oleh Danis. "Ah, yang itu! Nggak perlu repot-repot, Mas. Aku masih sanggup bayar buat ojol kok. Tenang aja."

Danis mengangguk seolah paham. Dia tersenyum kecut. Masih sama persis dengan sebelum-sebelumnya, penolakan secara terang-terangan yang dia dapat.

"Aku nggak bermaksud nyinggung Pak Bos, loh! Cuma, ya ... selagi aku masih bisa, kenapa nggak? Lagian kalau mau nebeng, arah kita 'kan beda." Lagi-lagi Tifa menutupnya dengan cengengesan.

"Iya-iya, aku juga nggak maksa," balas Danis hingga sepersekian detik kemudian, sosok yang Tifa tunggu tiba. "Nah, itu bapaknya udah datang. Take care, ya!"

"Siap, Mas!" Tifa menunjukkan sikap hormat dengan mengangkat tangan kanannya. Dia sempat mengucap salam pada Danis sebelum si bapak ojol membawanya pergi.

Danis menunggu, memastikan pengendara sepeda motor berjaket hijau itu membawa karyawannya dengan hati-hati.

Lelaki itu mendesah pasrah lantas kembali masuk ke kafe.

***


Minggu pagi menjadi salah satu waktu yang berharga bagi Tifa. Sebab pada saat itulah dia memiliki kesempatan untuk bermalas-malasan. Hari kebebasannya. Tidak akan ada yang memburu agar dia segera beranjak dari petiduran. Kecuali satu hal, raungan yang berasal dari dalam perutnya. Atau mungkin raungan dari makhluk di sebelah kamar.

EMPHATY [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang