"This city's gonna break my heart.
This city's gonna love me then leave me alone.
This city's gonna break my heart.
She's always gonna break your heart."
°°°
Bukan salah Tifa kalau dia menganggap lelaki itu sebagai ayah dari murid lesnya. Dan bukan salah Dhiyo pula jika dia tidak memberitahu lebih dahulu siapa dirinya sehingga perempuan itu berasumsi sedemikian. Tak ada yang salah. Namun, Tifa tetap merasa idiot karena terlalu cepat mengambil kesimpulan.Lagi pula, menurutnya jarak usia Dhiyo dan Icha terlampau jauh. Siapa yang akan menyangka kalau mereka ternyata kakak-beradik?
"Kak, anterin Miss Tifa bentar, ya. 'Kan tadi Kakak yang nyuruh ganti jam lesnya jadi malam."
Celetukan Icha menjelaskan semuanya. Sosok lelaki yang mulanya Tifa kira seorang bapak-bapak itu, kini tengah memperlihatkan senyumnya yang penuh paksaan.
"Nggak perlu, kos saya dekat kok. Jalan kaki sebentar sampai." Tifa mencoba menolak dengan sopan, walau sebenarnya dia tidak keberatan. Setidaknya basa-basi dulu, ya, kan?
"Biar saya yang antar," ucap Dhiyo lalu bergegas keluar seusai membenahi resleting jaketnya.
"Nggak apa-apa, lagian udah malam juga." Mama berusaha membuat Tifa agar tidak sungkan. "Hati-hati, ya. Kalau dia ngebut, pukul aja helmnya."
Akhirnya Tifa berpamitan dan menyusul Dhiyo yang ternyata sudah siap dengan motor matiknya di depan. Perasaannya campur aduk. Senang iya, gelisah juga. Lelaki itu menyodorkan helm ketika Tifa mendekat. Dengan penuh kecanggungan, si perempuan menempatkan diri di jok penumpang.
"Kosnya sebelah mana?"
Tifa ingin langsung menjawab, tetapi masih bingung. Sebelumnya dia berniat untuk memesan ojek daring dan langsung ke kafe. Namun, berhubung sekarang ada ojek gratisan, apa tidak sebaiknya sekalian dimanfaatkan?
"Sebenarnya habis ini saya masih ada urusan. Kalau Bap—eh, maksud saya ... kalau Mas nggak keberatan, boleh minta tolong antar saya ke tempat lain?"
Sekaku apapun keadaannya, Tifa tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Dia mencoba membuang jauh rasa malunya. Lagipula, bukankah lelaki itu mengantarnya dengan suka rela? Kalaupun terpaksa, setidaknya Dhiyo harus amanah karena sang mama dan adik sudah menyuruhnya untuk mengantar Tifa sampai tujuan.
Selama kurang lebih delapan menit mengikuti arahan si pembonceng, mereka tiba di sebuah tempat. Dhiyo sedikit terkejut karena dia mengenal baik tempat tersebut. Itu kafe milik kawannya. Baru minggu lalu dia kemari dan pada saat itu juga tak sengaja bertemu dengan perempuan yang diboncengnya. "Mau apa dia di sini?"
"Makasih banyak, Mas. Ehm, sama ... saya mau minta maaf karena kemarin-kemarin sempat salah ngira."
"Iya, santai aja."
Setelah mendapat jawaban dari lelaki itu, Tifa berpamitan masuk sementara Dhiyo masih mempertahankan posisinya di atas motor. Rencananya, besok lelaki itu memang akan ke tempat ini untuk mengobrol lagi dengan Danis. Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin dia bisa memajukan agenda hari esok itu menjadi sekarang.
"Ah, akhirnya sampai juga, Tif. Tuh, Mas Danis udah jamuran nungguin kamu," ujar Bima yang baru saja mengantar pesanan pada pelanggan. Tifa lalu berlari kecil menuju panggung. Begitu melihat perempuan itu, Danis bangun dari duduknya.
"Maaf, Mas. Tadi—"
Tak tega melihat Tifa yang napasnya terengah-engah, lelaki itu menarik kursi. "Duduk dulu. Masa mau ngonser ngos-ngosan gitu. Sebentar, ya, aku ambilin air."

KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
Roman d'amourTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...