BAGIAN 12
It's not the world
But it's me that's near the end
Losing you was losing everything I had
°°°
Seperti Minggu pagi yang sudah-sudah, Tifa sengaja tak mengindahkan dering alarm dari ponselnya. Diliriknya layar untuk mengecek pukul berapa sekarang, lalu perempuan itu kembali memejamkan mata. Dia ingin menikmati tidurnya lebih lama. Kalau bisa, dia tidak ingin bangun. Bukan karena bosan hidup, Tifa hanya malas menghadapi Rika dengan matanya yang sembab. Juga, menghadapi kenyataan kalau dia habis menolak Dhiyo kemarin.
"Tidur jam berapa semalem?"
"Habis nangisin cowok kipop yang mana?"
"Nonton drakor apa sampe bengep begitu?"
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu pasti yang akan Tifa peroleh. Bisa saja dia menjawab asal, berbohong pada tetangga kamarnya. Akan tetapi, Rika tidak semudah itu untuk ditipu.
Lebih baik tidak bertemu Rika seharian daripada dia harus menceritakan kejadian kemarin. Tifa enggan memikirkannya lagi.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan dari pintu kamar.
"Tif, masih tidur ya?" Jelas itu suara Rika. Hening sesaat sebelum perempuan itu melanjutkan, "Aku mau pamitan."
Awalnya Tifa mau mengabaikan, tetapi kalimat terakhir Rika membuatnya bergegas melompat dari tempat tidur. Bahkan, dia mengabaikan kemungkinan akan pertanyaan-pertanyaan Rika yang tidak ingin dia dengar. Sepertinya ini lebih genting.
"Pamit apaan?" ucap Tifa begitu membuka pintu. Perasaannya tak enak.
Rika tersenyum lebar namun matanya berkaca-kaca. "Aku mau boyongan. Ibuku sakitnya makin parah. Sorry ya Tif kalau banyak salah selama ini."
Tifa hampir tak bisa membuka mulut. Bibirnya terasa berat untuk digerakkan. Rika adalah tetangga kos yang dekat dengannya. Dia satu-satunya orang yang Tifa percayai sebagai tempat curhat. Satu-satunya pula penghuni kos yang masih bertahan semenjak Tifa menempati kos ini.
Rasanya, Tifa tidak rela jika harus ditinggal kawan seperkosannya itu.
"Ih Rika, kok baru ngomong sih? Mendadak banget ..." Tifa mengamati tas besar yang Rika gendong serta kardus di samping perempuan itu. "Serius sepagi ini? Pulang naik apa?"
"Udah pesan travel dari semalam. Kamu keliatannya sibuk, jadi aku belum sempat ngasih tau."
Tifa kemudian mengangguk paham. Dia hampir menangis lagi. Namun, dirinya sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan air mata kembali. Jadilah dia menahan diri, tersenyum, lalu memeluk Rika. "Hati-hati kalau gitu, Rik. Maafin juga ya banyak salahnya, soalnya kalau banyak duit aku pasti udah ke Korea." Keduanya tertawa kecil akan candaan Tifa.
"Ada yang perlu dibantu nggak? Biar aku bawain ke depan," tawar Tifa.
"Sorry ya jadi ganggu tidur paginya tuan putri. Boleh dong bantu bawain tas yang itu aja. Bentar lagi mobilnya sampe," ujar Rika menunjuk pada tas yang tergeletak di depan kamar.
"Halah, biasanya juga gimana," balas Tifa kemudian menenteng tas berwarna cokelat pudar milik Rika.
"Semangat ya Tif," celetuk Rika tiba-tiba. "Hidup emang berat, tapi tasku enteng kok."
Lagi-lagi mereka tertawa. "Apaan sih, garing banget."
"Kalau ada apa-apa, bisalah kita call-an. Jangan sungkan-sungkan." Rika menepuk pundak Tifa. "Pokoknya tetep kontakan ya. At least saling kirim video TokTok deh."

KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
RomanceTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...