"I'm in my bed, and you're not here.
And there's no one to blame but the drink in my wandering hands.
Forget what I said, it's not what I meant.
And I can't take it back, I can't unpack the baggage you left."
°°°"Udah grand opening dari berbulan-bulan yang lalu, tapi baru sempat ke sini sekarang. Teman macam apa kamu ini?"
Dhiyo tidak lantas menjawab, hanya meringis menanggapi sang teman. Entah karena merasa tak nyaman karena dia baru bisa mengunjungi temannya itu atau karena merasakan sedikit nyeri yang akibat tepukan kencang yang Danis beri di bahunya.
Danis menenggak cola dalam kaleng sebelum kembali bersuara, "Gimana kerjaan? Lancar 'kan?"
Yang ditanya tersenyum kecut sambil mengaduk-aduk isi gelas dengan sedotan. "Not that bad."
"Iyalah, mau bad dari mana, orang pegawai negeri udah terjamin tiap bulannya." Danis memasang raut yang menurut Dhiyo cukup menjengkelkan. Sebab nada lawan bicaranya itu terkesan merendahkan walau dalam bentuk pujian. Namun, dia tak mau ambil hati. Dirinya sedikit banyak sudah paham dengan karakter Danis, terutama dengan ucapan-ucapannya yang memang jarang difilter.
"Sini sering rame nggak? Apa cuma gini-gini terus tiap hari?" Giliran Dhiyo membalas dendam, membuat Danis memicing terhadapnya.
Kafe yang terletak tak jauh dari pusat kota ini memang tak cukup ramai. Belum ada setengah tahun berdiri. Namun, bagi Danis peningkatan keuntungan bisnisnya sudah tergolong lumayan. Paling tidak mulai bulan lalu, dia sudah balik modal.
"Eh, Anda jangan coba-coba menghina, ya. Sini lebih rame lagi kalau malam. Apalagi weekend, pada betah nongkrong di sini."
"Siapa juga yang ngehina, 'kan cuma nanya," sahut Dhiyo santai kemudian menandaskan setengah isi gelasnya.
"Iya, iya. Ah, by the way, masih sama si Dahlia? Apa udah beda lagi?"
Gerakan tangan Dhiyo terhenti saat itu juga. Ia mengengkat kepala, memandang Danis sesaat sebelum mengeluarkan senyum getirnya. "Pertengahan bulan kemarin dia udah nikah."
"Ooh, nikah-What?! Dahlia nikah?!" Kornea mata Danis melebar. "Dia beneran udah nikah? Cuma dia? Lah, kamu?"
"Yang ditinggal nikah siapa, yang heboh siapa," gumam Dhiyo yang masih bisa didengar oleh Danis.
"Tahun lalu kalian bilang udah ada rencana tunangan. Ya masa, tiba-tiba ...." Danis tak melanjutkan kalimatnya mengetahui Dhiyo menatapnya malas. Temannya terlihat enggan membahas hal tersebut.
Rupanya ada yang patah, tapi bukan kaki kursi reot milik neneknya.
"Waktu itu dia bilangnya belum siap. Tapi begitu kita selesai, nggak sampai dua bulan tiba-tiba ada kabar dia dilamar." Lelaki itu menarik senyum miring. Mendengar perkataan itu, Danis menelan ludahnya berat. Lama tak bersua, sekali bertatap muka justru kabar duka temannya yang didapat.
"Mau makan nggak?" tawar Danis berusaha menyingkirkan kesenduan di wajah sang kawan. Dia masih tak menyangka jika Dhiyo bisa galau juga. "Gratis deh, hitung-hitung sedekah sama fakir."
"Nggak punya kaca, ya?" balas Dhiyo dengan pandangan yang datar. Dia tidak marah apalagi merasa tersinggung, memang ekspresi dan tatapannya selalu sukses membuat orang yang melihat merinding.
"Fakir cinta, Bro! Bukan fakir kere macam saya. Gitu aja ngambek." Danis yang berdiri hendak melangkah ke dapur. Namun tak jadi berkat ucapan Dhiyo menahannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
RomansaTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...