"All of the lights land on you.
The rest of the world fades from view.
And all of the love I see,
please please say you feel it too."
***
Karena tidak jadi kembali ke kota rantau, hari ini Tifa akan menghabiskan waktunya di rumah bersama anggota keluarga yang kebetulan sedang lengkap. Papa menyuruh agar dia tinggal paling tidak sehari lagi. Mumpung semua putrinya pulang, pria itu ingin mereka memanfaatkan momen langka ini. Sekadar mengobrol, membicarakan bagaimana keseharian mereka yang sudah tidak dalam pendampingannya.
"Jani beneran pulang nanti sore? Nggak besok aja?" tanya Papa.
Si sulung menggeleng. "Papanya Faiz besok kerja. Aku juga ada sif pagi. Biar Tifa aja yang di rumah. Libur seminggu nggak apa-apa, 'kan?"
Tifa langsung mendelik. Kakaknya hobi sekali menjadikannya sebagai tumbal. "Aku mau berangkat besok. Kalau libur kelamaan nanti anak lesku pada cari ganti." Sesungguhnya itu hanya alasan saja, karena ia juga sudah izin pada seluruh murid lesnya kalau dia akan libur full satu minggu.
Mama muncul dengan menggandeng bocah berumur tiga tahun itu lalu ikut duduk. Faiz yang melihat sang ibu, lantas berlari dan menghambur padanya. Atmosfir canggung seketika tercipta di ruangan itu, membuat Tifa yang tidak menyukainya mengangkat pantat. Melihat hal tersebut, dengan cepat Mama mencegahnya.
"Mau ke mana?"
"Hm ... nggak ke mana-mana. Ini mau gendong Faiz." Perempuan itu terpaksa mendekat pada keponakannya, memamerkan senyum lebar pada bocah dipangkuan Jani. Sayangnya, bujukan Tifa tidak mempan karena Faiz justru melengos dan menceruk ke leher ibunya.
Hening melanda sejenak sebelum tiba-tiba Weni berkata, "Tifa, mama mau bicara." Yang bersangkutan lantas kembali duduk di sofa. Setelah menarik napas panjang wanita itu melanjutkan, "Maafin Mama ya karena selama ini nggak pernah dengerin kamu dulu dan malah ambil keputusan sepihak."
Weni melirik pada sang suami dan lelaki itu memberikan anggukan.
"Menurut Mama mungkin keputusan orang tua selalu yang terbaik buat anaknya, tapi Mama lupa kalau kamu ternyata udah sebesar ini. Harusnya Mama percaya kalau kamu udah bisa bertanggungjawab sama dirimu sendiri."
Tifa sesekali menatap sang Mama. Dia cukup terkejut karena tak pernah membayangkan Weni akan berucap demikian. Ingin sekali perempuan itu menghampiri dan memeluk mamanya. Namun, dia belum seberani itu.
Dia lalu mengalihkan pandangan pada sang papa. Tifa tahu papanya pasti ambil andil dalam upaya perdamaiannya dengan Mama. Jito memberikan senyum lembut yang kemudian meluluhkan hati Tifa.
"Aku ... juga minta maaf, Ma. Bukannya ngobrolin semua ini, tapi aku malah milih untuk ngehindar terus."
Jito berdeham guna memecah ketegangan di ruangan itu. "Nah, kalau terbuka gini 'kan nyaman dilihat. Masa tiap ketemu perang dingin terus." Semua yang ada di sana terkekeh mendengarnya.
"Cuma kayaknya ada yang kurang deh," celetuk Fauzan yang datang dengan sebuah nampan. Asap mengepul dari cangkir-cangkir berisi teh yang dibawanya.
"Ayah!" Faiz melompat dari pangkuan ibunya, menubruk kaki lelaki yang duduk di samping Jito.
"Wah, ini juga. Mantu the best!" Papa mengacungkan jempolnya pada Fauzan.
"Oh iya, Jani, Fauzan juga tadi udah cerita ke Mama. Maaf karena Mama suka nyinggung tentang anak kedua. Kalau memang keputusan kalian mau cuma punya Faiz aja, apapun itu, pokoknya Mama selalu doakan yang terbaik."

KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
RomanceTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...