BAGIAN 10
"Thought we were meant to be
I thought that you belonged to me
I'll play the fool instead
Oh but then I know that this is the end"
Butuh beberapa waktu bagi Dhiyo dan Tifa untuk berdiskusi, mengambil keputusan mengenai penentuan hari dan jam terhadap film yang akan mereka tonton. Keduanya memiliki jadwal masing-masing yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk memutuskan begitu saja. Sampai akhirnya mufakat tercapai, yaitu hari Selasa. Mereka memiliki janji temu di daerah batas kota pada pukul empat sore.
Jika mengingat kedekatan mereka, sebenarnya Tifa sendiri merasa aneh. Dia baru bertukar pesan dengan lelaki itu beberapa kali. Mengobrol intens pun baru sekali, sewaktu dia mengajak Dhiyo ke warung lamongan. Namun, cara mereka menentukan janji untuk agenda nonton kali ini terasa seperti keduanya sudah lama mengenal. Apa mereka memang sudah sedekat itu?
"Mas Dhiyo kok belum ngabarin, ya?" Tifa bermonolog sembari mengecek ponselnya. Lima belas menit dia menunggu di trotoar dekat rumah Geya--murid les yang baru saja diajarnya. Dia sudah mengirim shareloc pada si lelaki bahkan sebelum les dimulai, tetapi Dhiyo belum membuka WhatsApp darinya sama sekali.
Wali Clarissa
Maaf banget dari tadi nggak pegang hp soalnya ada meeting dadakan
Kamu masih di tempat kan?
Aku ke sana sekarang
Tifa mendesah lega walaupun ada setitik kesal dalam benaknya. Dia tidak masalah jika harus menunggu. Tifa sudah terbiasa dengan itu. Akan tetapi, terbiasa mendapatkan pembatalan secara sepihak membuatnya cukup trauma.
Perempuan itu jarang keluar dari kediamannya selain untuk bekerja. Apalagi untuk sekadar bermain dengan kawan sebayanya. Itulah kenapa dia selalu antusias saat teman-temannya mengajak bertemu. Entah di kos maupun di luar.
Namun, Tifa kerap merasa ditipu sebab temannya sering membatalkan janji temu mereka secara mendadak. Padahal, dia sudah meluangkan waktu dan menyiapkan diri. Hal tersebut menimbulkan kepercayaannya pada orang lain berkurang. Maka dari itu, dia sudah was-was saat Dhiyo tak kunjung membalas pesannya. Perempuan itu tidak ingin kembali merasa kecewa.
"Aku minta maaf. Nggak ngira kalau meeting-nya bakal molor lumayan lama. Salahku juga nggak ngasih kabar lebih dulu ke kamu. Udah nunggu dari jam empat?"
Tifa mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya."
Dhiyo melirik jam di pergelangan tangan, nyatanya pukul empat sudah dua puluh lima menit yang lalu.
"Film mulai jam enam lima belas kan? Gimana kalau kita cari camilan dulu di minimarket? Takutnya nanti nggak keburu buat makan pas udah sampai sana. Masih salat juga," papar Dhiyo tanpa jeda. Lelaki itu nampak tergesa-gesa.
Kini, Tifa jadi merasa tak enak. Dia memang sedikit kesal, tetapi Dhiyo juga pasti merasa lelah. Keterlambatan ini pun bukan keinginannya.
"Iya, aku ngikut aja. Nggak usah buru-buru, Mas. Yang penting kita selamat sampai tujuan," ujar Tifa menenangkan.
Perjalanan menuju ke bioskop memakan waktu kurang lebih satu jam. Itu juga yang menjadi alasan kenapa Dhiyo berinisiatif untuk mampir ke minimarket lebih dahulu. Dia yakin Tifa lelah menunggunya, begitu pun dengannya. Sisa makan siang di perutnya tentu sudah habis terkikis oleh meeting dadakan tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EMPHATY [On Going]
RomanceTifa menjadi salah satu dari sekian banyaknya lulusan sarjana pendidikan yang enggan menjadi guru. Perempuan itu tidak suka terikat dengan instansi sekolah. Mengajar memang passionnya, tetapi mengurus administrasi bisa membuatnya sakit kepala. Tifa...