Suatu pagi yang seharusnya biasa, Rin mengajakku pergi ke pantai. Dia tampak begitu bersemangat, senyum cerah yang selalu kurindukan menghiasi wajahnya. Aku juga ingin senang, tapi rasa hangat itu tak bertahan lama. Ketika dia menyebut nama temannya yang ikut serta, hatiku seketika tenggelam dalam kekecewaan yang tak tertahankan. Rasanya seperti ada sesuatu yang mencengkram dadaku, mencabut semua rasa sukacita yang baru saja muncul.
“Kenapa harus ada dia?” pikirku getir.
Tiba-tiba, seluruh rencanaku untuk menikmati waktu bersama Rin runtuh. Kehadiran temannya seolah mengotori kebersamaan yang seharusnya hanya milikku dan Rin. Aku tidak suka melihat mereka tertawa bersama, berbagi cerita yang tidak kumengerti. Bagiku, temannya itu bukan sekadar seorang rekan, tapi seseorang yang seolah mencuri Rin dariku, menjauhkan kami lebih jauh lagi.
Aku tak bisa menerima itu.
“Aku ada les tambahan hari ini,” kataku, mencari-cari alasan yang cukup masuk akal. Tentu saja, itu kebohongan. Tapi kebohongan ini membuatku merasa lebih aman, lebih terlindungi dari rasa cemburu yang terus menggerogoti. Rin menatapku dengan mata kecewa, bibirnya mengerucut, tapi dia tidak memaksa.
“Kalau begitu, baiklah. Lesmu lebih penting, kan? Aku tak akan memaksa.”
Kalimatnya terdengar biasa saja, tapi bagiku, itu lebih dari sekadar penyerahan. Itu adalah tanda bahwa aku telah menolaknya, sekali lagi menjauhkan diriku dari dunia yang dia coba bagi denganku. Namun, aku merasa lega. Dengan begitu, aku tak perlu berbagi dia dengan orang lain.
Pagi itu, pukul delapan tepat, Rin dan temannya sudah bersiap di halaman. Suara riuh tawa mereka terdengar dari dalam rumah, mengganggu kesunyian yang biasanya memberiku kenyamanan. Aku tak bisa menahan rasa kesal yang mengalir dalam dadaku. Mereka ribut karena hal-hal kecil seperti barang apa saja yang harus dibawa, atau apa yang akan mereka lakukan di pantai nanti. Teman Rin bertanya padaku, “Jun, kenapa kamu gak ikut?” Tapi aku hanya mengabaikannya. Aku terlalu tenggelam dalam kekesalanku untuk memberi jawaban. Tanpa berkata apapun, aku meraih tas dan bergegas menuju perpustakaan, tempat pelarianku.
Aku tidak peduli apa yang terjadi selanjutnya. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana aku bisa menarik perhatian Rin saat dia pulang nanti. Aku sengaja pulang lebih malam, berharap ketika Rin tiba di rumah, dia akan mencariku, khawatir mengapa aku belum pulang. Mungkin dengan begitu, dia akan mengerti bahwa akulah yang seharusnya selalu ada di sisinya, bukan temannya yang lain.
Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
Saat aku akhirnya kembali ke rumah, ada sesuatu yang berbeda. Jalanan penuh dengan orang-orang yang berkumpul di depan rumahku. Mereka berbisik-bisik, beberapa bahkan menangis. Aku merasa aneh, hatiku mulai berdegup kencang. Langkahku melambat ketika aku melihat sosok tetangga-tetangga kami di halaman. Ketika aku mendekat, salah satu dari mereka menyambutku dengan pelukan erat.
“Jun… sabar, ya. Orang tuamu… mereka sudah pergi.”
Dunia seolah berhenti berputar saat kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Aku terdiam. Hatiku terasa kosong. Aku menatap rumah kami yang kini dipenuhi orang-orang dengan wajah berduka. Di dalam, ayah dan ibu terbaring dalam damai, mengenakan pakaian terbaik mereka, di dalam peti mati yang dingin dan tak bernyawa. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana bisa mereka… pergi secepat ini?
Aku tidak bisa bergerak. Rasanya seperti seluruh tubuhku lumpuh, ditarik paksa oleh gravitasi yang seolah menjadi lebih berat. Aku menolak untuk mempercayai apa yang ada di depanku.
“Rin… bagaimana dengan Rin?” tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.
Seorang tetangga lainnya menjawab, “Dia di rumah sakit. Koma. Mereka mengalami kecelakaan dalam perjalanan.”
Aku tak bisa menahan diri lagi. Tubuhku terasa rapuh, lututku lemas hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. Rasa dingin merayap dari bawah kaki, membeku hingga ke jantungku. Ayah dan Ibu, mereka tidak ada lagi di sini. Mereka yang selalu ada untukku, yang tak pernah mengeluh tentang betapa sulitnya mengurusku, sekarang telah meninggalkanku selamanya.
Pikiranku melayang ke pagi tadi. Andai saja aku tidak berbohong. Andai saja aku ikut bersama mereka. Mungkin aku juga akan pergi bersama mereka, atau setidaknya, aku akan berada di sisi mereka di saat terakhir. Tapi sekarang, aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.
Dan Rin… kembaranku, setengah dari diriku, terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit, berjuang antara hidup dan mati.
Namun, meskipun hatiku hancur berkeping-keping, aku tidak menangis. Mataku tetap kering, seolah-olah tidak ada air mata yang tersisa untuk ditumpahkan. Di saat orang-orang di sekitarku menangis, meratapi kepergian orang tua kami, aku hanya bisa diam. Hampa. Apa ini berarti aku benar-benar tidak normal? Apakah aku bahkan tahu bagaimana cara merasakan sedih dengan cara yang benar?
Di tengah-tengah kekacauan ini, satu-satunya hal yang bisa kupikirkan hanyalah ini: aku telah kehilangan segalanya. Ayah, Ibu, dan mungkin juga Rin. Aku telah kehilangan mereka semua, dan aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri.
Aku tidak bisa memaafkan diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me: Painful loneliness
HorrorRin mulai khawatir dengan perubahan perilaku kembaran, Jun, yang belakangan terlihat murung dan cemas setelah pulang sekolah. Merasa perlu menyelidiki, Rin menyamar sebagai Jun untuk mencari tahu apakah adiknya mengalami bullying di kelas. Namun, sa...