“Apakah kamu seorang model terkenal?” tanya Maddy dengan nada gugup, sorot matanya penuh rasa ingin tahu dan kekaguman.
Jun terkejut mendengar pertanyaan itu, dan untuk sesaat, dia merasa terjebak dalam keraguan. Seolah-olah, semua rasa sakit yang telah dia simpan di dalam hatinya sejenak sirna. “Bukan, aku bukan seorang model. Aku seorang dokter…” jawabnya, meskipun suara itu terasa seperti mengeluarkan beban berat dari dadanya.
Maddy tampak terkejut, lalu senyum ceria menghiasi wajahnya. “Benarkah? Kau sangat cantik seperti model! Mengapa kamu tidak mencoba menjadi model saja? Aku yakin kamu akan sangat terkenal nantinya.”
Jun merasakan ketidaknyamanan menyelinap ke dalam hatinya. Komentar itu, meskipun tulus, mengingatkannya pada betapa dia telah berjuang untuk dipandang lebih dari sekadar penampilannya. Mengapa setiap kali ada orang yang berbicara tentang penampilannya, itu selalu membangkitkan kenangan pahit dari masa lalu? Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi yang mulai membanjirinya. “Profesi ini adalah impianku sedari kecil,” jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, meskipun di dalam hatinya, dia ingin meneriakkan semua rasa sakit yang terpendam.
“Impian dari kecil ya…” Maddy mengangguk, tetapi Jun bisa melihat keraguan di matanya. Maddy, tampaknya ingin tahu lebih banyak tentang Jun, tetapi rasa takut untuk melanggar batas membuatnya ragu. Jun merasa sebuah benang halus menghubungkan mereka berdua, tetapi dia berjuang untuk tidak terjebak di dalamnya.
Menatap keluar jendela, Jun melihat awan berarak. Dia teringat tentang Rin dan semua kenangan indah yang mereka miliki bersama. Keduanya akan melukis di pantai, mengumpulkan kerang, dan tertawa di bawah sinar matahari. Ketika kenangan itu melintas, rasa sakit di hatinya semakin menggelora. Kenangan indah itu terasa seperti pisau yang menusuk, mengingatkannya pada apa yang telah hilang.
Maddy melanjutkan, “Perkenalkan, aku Maddy Ownel. Aku tinggal di pinggir kota Brooklyn. Boleh aku berkenalan denganmu?”
“Junnie Callenreese,” jawab Jun, merasakan kehangatan dalam perkenalan itu meskipun dia berusaha menjaga jarak. Seolah-olah, dia ingin berlari jauh dari ikatan emosional yang mengancamnya, tetapi di saat yang sama, dia merasa terhubung dengan Maddy lebih dalam dari yang dia inginkan.
“Mau pergi ke mana?” Maddy bertanya, matanya cerah penuh harapan. Jun merasakan beban di dadanya, seolah-olah setiap pertanyaan membuatnya semakin terperangkap.
“Ke rumah lamaku di Brooklyn. Selama ini, aku tinggal bersama Tante dan Pamanku di Washington,” ucap Jun, dan saat ia mengucapkan kata ‘rumah’, ada bagian dari dirinya yang merindukan rumahnya yang dulu—tempat di mana dia dan Rin pernah bermain dan tertawa. Kini, rumah itu tidak lebih dari sebuah kenangan pahit yang mengingatkan dia pada semua yang telah hilang.
“Ohh, begitu. Kita akan terus bertemu sepertinya. Dunia ini memang sangat sempit,” jawab Maddy, tampak bersemangat. Senyum di wajahnya membuat Jun merasa hangat, tetapi di dalam hati, dia merasakan kegelisahan. Maddy, dengan semua keceriaannya, adalah pengingat dari hal-hal yang ingin dia lupakan.
Saat Maddy mengeluarkan ponselnya dan menawarkan untuk bertukar alamat email, Jun merasakan sesuatu yang aneh. “Ayo bertukar alamat email,” ajak Maddy dengan penuh antusias, menawarkan hubungan yang mungkin akan membawa harapan baru. “Baiklah…” Jun menjawab, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk terhubung dan rasa takut akan kehilangan lagi.
Obrolan mereka berlanjut, tetapi Jun semakin banyak merespons dengan jawaban singkat, pikirannya terpecah antara nostalgia dan misi. Maddy berbicara tentang kehidupannya, tentang neneknya yang penuh kasih dan kakaknya yang nakal, tetapi Jun hanya bisa mendengar suara samar-samar itu, seolah-olah ada dinding tebal yang menghalangi.
“Dia benar-benar mirip seperti Rin,” pikir Jun. Setiap kata yang keluar dari mulut Maddy membuatnya terjebak dalam bayangan masa lalu yang ia coba lupakan. “Tetapi mengapa aku merasa bosan berada di sisinya?” Dia mengabaikan suara hatinya yang mulai mempertanyakan keputusannya. Saat Maddy berbagi cerita, Jun tidak bisa mengabaikan rasa kecewa yang muncul. Dia merasa seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan Maddy, tanpa sadar, membangkitkan kerinduan yang dalam.
Ketika Maddy terus mengoceh, Jun merasa lelah. Ia menarik selimut dari atas kakinya, berusaha mencari kenyamanan. “Aku tidak percaya ini sudah larut malam. Mungkin aku telah mengganggumu,” ucap Maddy, menyadari bahwa Jun tampak lelah. “Selamat tidur, Junnie. Kita bisa lanjut mengobrol nanti.”
Kekecewaan melanda Jun. Maddy berhenti berbicara, tetapi dia tidak bisa menyangkal bahwa dia sangat mengantuk. Saat pesawat meluncur lebih jauh ke dalam malam, Jun merasakan mimpinya tentang masa depan terjalin dengan bayangan Rin dan Maddy, dua gadis yang mengisi ruang kosong di hatinya dengan cara yang berbeda. Maddy, dengan segala semangatnya, membawa harapan, sedangkan Rin, meskipun sudah tiada, membawa kenangan yang sulit dihapus.
Mungkin inilah saatnya baginya untuk menghadapi kegelapan yang menggerogoti hatinya. Dia harus mengatasi rasa sakit dan kehilangan yang menghantuinya. Mungkin, dalam pertempuran antara balas dendam dan harapan, dia bisa menemukan jalan menuju kedamaian.
Dalam keheningan pesawat, Jun merasakan hati dan pikirannya bertarung. Kenangan tentang Rin datang dan pergi, membanjiri pikirannya dengan rasa bersalah dan penyesalan. “Apakah aku sudah melupakan Rin?” tanyanya pada diri sendiri. Dalam hati, dia tahu bahwa meskipun dia tidak bisa melupakan Rin, dia juga tidak bisa terus terjebak dalam kesedihan yang menghimpitnya.
Maddy adalah simbol harapan, tetapi juga ancaman bagi tujuannya. Jun harus menemukan cara untuk menyeimbangkan antara masa lalu dan masa depan, untuk tidak membiarkan kegelapan menguasainya. Dengan memejamkan matanya, dia merasakan semangatnya mulai pulih, bertekad untuk menghadapi semua yang menantinya di Brooklyn.
Dalam perjalanan ini, Jun bukan hanya mencari balas dendam. Dia mencari arti baru dalam hidupnya, dan meskipun jalan di depan tampak gelap dan berbahaya, dia tahu bahwa harapan masih ada. Ketika pesawat mendarat di Brooklyn, Jun berjanji pada dirinya sendiri untuk menemukan kebenaran, menghadapi semua rasa sakit, dan mungkin, menemukan jalan menuju kebangkitan.
Dengan semangat baru, Jun membuka matanya saat pesawat mendarat, siap untuk menghadapi dunia dan semua tantangan yang akan datang. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian—kenangan tentang Rin akan selalu bersamanya, dan mungkin, di tengah semua ini, dia bisa menemukan cara untuk mencintai lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me: Painful loneliness
HorrorRin mulai khawatir dengan perubahan perilaku kembaran, Jun, yang belakangan terlihat murung dan cemas setelah pulang sekolah. Merasa perlu menyelidiki, Rin menyamar sebagai Jun untuk mencari tahu apakah adiknya mengalami bullying di kelas. Namun, sa...