Looking for Rin

10 2 0
                                    

Ketika bel pelajaran berbunyi, Jun merasakan detak jantungnya semakin cepat. Setiap detik yang berlalu semakin mendesak pikirannya untuk menemukan Rin. “Aku tidak bisa membiarkannya berlama-lama di tangan mereka,” pikirnya, memfokuskan perhatiannya pada para pem-bully yang mengelilinginya.

“Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, nyawa dibalas nyawa.” Gerutu Jun dengan pelan, matanya membara saat menatap kelompok pem-bully di kelasnya. Keringat dingin mulai membasahi pelipis Sidney yang menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dari Jun.

“Caroline, apakah kamu menyadari kalau Jun terlihat berbeda hari ini?” Tanya Sidney, nada suaranya bergetar ketakutan. Caroline, yang terampil menyembunyikan kecemasannya, menjawab, “Aku tahu, tapi aku mencoba mengabaikannya.”

Di dalam pikirannya, Jun berjuang melawan badai perasaan. Dia tidak hanya cemas tentang Rin; pikirannya dipenuhi dengan teka-teki yang semakin rumit. Jika Rin memang telah terjebak dalam permainan mereka, dia berusaha keras untuk berpura-pura menjadi dirinya. Di mana Rin sekarang? Apakah dia aman? Atau dia sudah terperangkap dalam rencana jahat yang tidak pernah Jun bayangkan sebelumnya?

“Rin, apakah kau masih hidup?” Pikirnya, dengan ketakutan merayapi jiwanya. Dia mulai menghitung mundur waktu—pelajaran berakhir dan ke mana kelompok itu biasanya pergi setelahnya. Mengapa mereka memilih untuk membuli Rin, dan apa yang membuat mereka merasa cukup berani untuk melakukan itu?

Jun menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Dia mulai menganalisis semua informasi yang dia miliki, memetakan kemungkinan-kemungkinan di dalam otaknya. "Rin pasti berada di tempat di mana mereka biasa melakukan aksinya. Tempat-tempat itu harus menjadi target utamanya."

“Kamar mandi yang jarang digunakan… itu adalah pilihan pertama.” Jun berpikir, mengingat saat-saat dia sendiri menjadi korban. Kamar itu tidak terawat, tidak banyak orang yang berani masuk ke dalamnya. "Di situlah mereka bisa dengan leluasa melakukan apapun."

Namun, dia tidak bisa mengabaikan pilihan lain. “Jika mereka terpaksa mencari tempat lain, belakang kantin bisa menjadi alternatif.” Dalam benaknya, dia menggambarkan lokasi-lokasi tersebut. Dia tahu betul bagaimana mereka bekerja—mencari celah untuk menyakiti orang lain tanpa merasa terdeteksi. Jun menimbang semua kemungkinan dengan cermat, menciptakan gambaran mendetail tentang apa yang bisa terjadi.

“Tapi, apa yang akan mereka lakukan jika mereka sudah mengambil Rin?” Pikir Jun, mengingat bahwa dalam situasi seperti itu, biasanya mereka akan berusaha menutupi jejak mereka. Menguburkan sesuatu dalam tanah akan menyulitkan orang lain untuk menemukannya. Mungkin di belakang gedung, di mana tidak ada orang yang akan mencari. Atau, di tempat yang lebih tersembunyi di luar sekolah, seperti semak-semak rimbun di belakang kantin.

“Tidak, mereka pasti akan lebih pintar daripada itu.” Jun menyadari bahwa kelompok ini, dipimpin oleh Caroline, adalah tipe orang yang berani mengambil risiko. “Jika mereka tidak mau terlibat langsung, mereka pasti akan mencari tempat yang tidak akan menarik perhatian. Ruang penyimpanan alat-alat seni mungkin?”

Dia merenung. Jika mereka memilih ruang itu, mereka akan berpikir bahwa tidak ada yang akan mencari Rin di sana. “Bagaimana jika mereka telah merencanakan ini jauh sebelum semuanya terjadi?” Jun merasa ketegangan merayapi tubuhnya. Dia harus berpikir lebih jernih dan melihat lebih dalam ke dalam cara berpikir mereka. "Anak-anak SMA yang melakukan kekerasan tidak akan bertindak tanpa strategi. Mereka pasti memiliki rencana."

Jun memikirkan lebih jauh mengenai karakter mereka. "Caroline, dengan semua keberaniannya, tidak akan ragu untuk melangkah lebih jauh jika dia merasa terdesak. Apalagi jika Rin telah terbongkar identitasnya. Bagaimana dia bisa bersembunyi?"

“Apakah mereka sudah mempersiapkan skenario untuk menutupi semua ini?” pikir Jun. “Jika identitas Rin terungkap, apakah mereka akan membunuhnya dalam panik dan kemudian menyembunyikannya?” Dia membayangkan berbagai skenario, berusaha menemukan pola yang bisa dihubungkan dengan tindakan mereka.

“Mungkin, jika aku bisa mendapatkan rekaman CCTV di sekolah, itu bisa menjadi kunci untuk membuka semua ini.” Jun bertekad. Dia tahu bahwa jika bisa menemukan bukti fisik, dia bisa melawan kelompok itu dengan cara yang lebih efektif. "Menjadi detektif dalam kasus ini, menciptakan jaring bukti yang akan menjerat mereka semua."

Dengan semua rencana dalam pikirannya, Jun bertekad untuk tidak hanya menemukan Rin, tetapi juga untuk melindungi orang-orang yang lemah dari kejahatan yang mereka lakukan. Waktu tidak berpihak padanya, dan setiap detik yang berlalu semakin mendekatkannya pada kenyataan yang menyakitkan. Dia tidak bisa membiarkan kebohongan dan ketidakadilan ini melanjutkan.

"Apapun yang terjadi, aku akan menemukan Rin.” Tekadnya menguat, dia merasa seperti seorang jenius yang siap untuk mengungkapkan semua kebohongan di balik layar. "Dia tidak akan membiarkan siapapun menghalangi jalan untuk menemukan kebenaran."

---

Selesai pelajaran, Jun menghampiri Sidney, yang terlihat gelisah. “Apakah kau melihat sesuatu yang aneh di sekitar sekolah akhir-akhir ini?” tanyanya, suaranya tenang namun penuh intensi.

Sidney menoleh, sedikit terkejut. “Aku... tidak yakin. Mengapa kau bertanya?”

“Karena ada sesuatu yang tidak beres. Semua ini berhubungan dengan Rin,” kata Jun, menekankan kata-kata itu. “Setiap perubahan kecil bisa jadi petunjuk.”

Another Me: Painful lonelinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang