your cold attitude makes me frustrated

0 0 0
                                    

Daniel duduk di sofa dengan tatapan kosong, menatap foto Caroline yang terletak di atas meja. Wajah cantiknya terlihat bersinar dalam cahaya lampu yang redup. Seharusnya, malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka berdua—malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri. Namun, alih-alih merayakan cinta, mereka terjebak dalam perasaan yang rumit dan tidak terucapkan.

Rasa kecewa menggelayuti pikirannya. Dia seharusnya merasakan kebahagiaan, tetapi yang ada hanyalah kepedihan yang mendalam. Caroline, dengan semua dinding emosionalnya, telah menolak untuk membiarkan Daniel masuk ke dalam dunianya. Dia merasa seolah telah ditolak, dibuang, dan yang lebih menyakitkan—dikhianati oleh orang yang dicintainya.

“Kenapa kamu harus begitu dingin?” bisiknya pada foto Caroline, seolah foto itu bisa memberikan jawaban. “Aku hanya ingin mencintaimu.”

Kekosongan di dalam hati Daniel semakin membesar. Setiap kali dia mengingat senyuman Caroline yang pernah hangat dan penuh cinta, kini hanya meninggalkan bayangan. Dia teringat saat mereka masih muda, ketika mereka tertawa dan berbagi mimpi. Namun, semua itu telah sirna seiring dengan perjalanan hidup yang membentuk mereka menjadi sosok yang sekarang. Daniel merasa seolah sebuah pintu tertutup di hadapannya, dan dia tidak tahu bagaimana cara membukanya kembali.

Sambil menatap gambar itu, kemarahan dan hasrat yang terpendam mulai menggelora dalam diri Daniel. Dia tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Kecewa yang mendalam bercampur dengan rasa penginginan yang semakin kuat. Semua mimpi yang dibangunnya tentang malam ini kini terasa seperti sebuah lelucon kejam.

Tanpa sadar, tangan Daniel bergerak menuju celananya, ketidakpuasan dan frustrasi menyatukan hasrat yang terpendam. Dalam keheningan ruangan, dia membuka celananya, mengabaikan suara hatinya yang berteriak untuk berhenti. Dia melakukan onani seolah-olah sedang berhubungan sex dengan Caroline. Dia membayangkan dapat menyentuh tubuhnya dan melakukan hubungan intim layaknya orang yang saling mencintai.

"AH SIAL, AKU TIDAK BISA BERHENTI, MALAM INI AKU SANGAT MENGINGINKANNYA" Desahnya yang tak tertahankan.

Dengan setiap gerakan, ia membayangkan seolah Caroline berada di sampingnya, wajahnya yang anggun dan mata lembutnya menatapnya dengan penuh cinta—atau seharusnya begitu. Namun, saat perasaannya semakin dalam, bayang-bayang ketidakpastian muncul. Dia tahu bahwa gambar ini hanya memperparah kesepian dan kerinduan yang menggerogoti hatinya.

“Seharusnya kita bisa lebih dari ini,” desahnya, menatap foto itu seolah-olah Caroline bisa mendengarnya. Dalam kegelapan, hasratnya semakin tak tertahankan, dan dalam keputusasaan, dia terjebak dalam siklus keinginan dan rasa sakit yang tidak bisa dia kendalikan.

Daniel merasa terperangkap dalam kekosongan yang diciptakan oleh keengganan Caroline. Di satu sisi, dia ingin bersikap lembut dan memahami, tetapi di sisi lain, rasa marahnya membara. “Mengapa kamu tidak bisa melihat betapa aku mencintaimu?” pikirnya, mencela diri sendiri karena tidak mampu memahami ketakutan Caroline. Setiap kali ia mencoba mendekatinya, Caroline menutup diri, dan itu seperti menggoreskan luka yang semakin dalam di hati Daniel.

Akhirnya, saat rasa lelah melanda, Daniel berhenti, terengah-engah, matanya berkilau oleh air mata yang tak bisa ia keluarkan. Dalam keheningan malam, ia menyadari betapa dalam rasa sakit ini. Momen malam pertama yang seharusnya penuh kebahagiaan itu justru menjadi pengingat akan kesepian dan kekacauan emosi yang tidak akan pernah bisa diungkapkan.

Malam itu, dia hanya bisa merelakan semua rasa yang terpendam, membiarkan kesedihan menyelimuti dirinya. Foto Caroline di atas meja, meskipun tampak indah, kini hanyalah pengingat akan semua yang hilang. Dia ingin memiliki hubungan yang tulus, namun semua itu terasa mustahil ketika yang ada hanya ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk saling memahami.

Daniel merenung, memikirkan semua yang telah terjadi. Dia merasa seperti bayangan dari dirinya yang dulu—yang penuh harapan dan percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya. Kini, harapan itu pudar. “Apa yang salah dengan kita?” gumamnya pelan, merasakan kekosongan di dalam dirinya.

Dia ingin berteriak, tetapi teriakan itu terjebak di dalam dadanya. Dalam kegelapan, dia merindukan ketenangan dan kehangatan yang pernah ada. Dia terjebak dalam rasa bersalah karena merasa tidak cukup untuk Caroline. Dia merasa bersalah karena tidak mampu melindungi Caroline dari trauma yang membekas, dan yang lebih menyakitkan—dia merasa bersalah karena tidak bisa membuat Caroline mencintainya seperti yang dia inginkan.

Daniel merasakan keputusasaan merayapi tubuhnya, seolah-olah dia terjebak dalam sebuah labirin yang tidak memiliki pintu keluar. Dia ingin memperbaiki semuanya, tetapi bagaimana dia bisa melakukannya ketika Caroline tidak bersedia membuka hatinya? “Aku tidak bisa terus seperti ini,” pikirnya, merasa semakin terasing.

Kesepian itu semakin membelenggu. Dalam kesunyian malam, Daniel berjanji pada dirinya sendiri untuk berjuang—meski itu berarti harus menghadapi kenyataan bahwa dia mungkin tidak bisa mendapatkan cinta yang dia idamkan. Dia ingin Caroline untuk kembali, untuk merasakan cinta yang tulus dan hangat, tetapi dia tahu itu tidak mungkin.

Dengan satu harapan yang tersisa, Daniel menatap foto Caroline sekali lagi. Dia ingin memperbaiki semua kesalahan, meskipun dia tahu itu akan menjadi perjuangan yang panjang dan menyakitkan. Dalam benaknya, dia mengulangi mantra yang sama: “Aku akan berjuang untukmu, Caroline.” Dia tahu ini bukan akhir, tetapi justru awal dari perjalanan yang lebih sulit—perjalanan untuk menemukan kembali diri mereka masing-masing.

Another Me: Painful lonelinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang