Daniel menatap kosong ke layar teleponnya setelah menerima ajakan David dan John. Di satu sisi, dia merasa lelah dengan semua perasaan hampa yang terus menghantuinya. Setiap malam terasa semakin berat, tidur di sofa, jauh dari Caroline yang terbaring di kamar tidur mereka. Caroline mungkin ada di sana secara fisik, tetapi hatinya tetap terasa jauh, tak terjangkau. Perasaan itu menelannya hidup-hidup.
"Apakah aku serakah jika mengharapkan lebih dari ini?" gumam Daniel, pandangannya jatuh pada foto Caroline yang berbingkai di atas laci. Wajah Caroline yang tersenyum dalam foto itu tak pernah berubah, selalu menampakkan kesempurnaan. Tapi di balik senyuman itu, Daniel tahu betul bahwa Caroline tidak benar-benar ada untuknya. "Berada di sisimu tanpa memiliki hatimu itu sakit sekali..."
Terkadang, dia bertanya-tanya, mengapa dia masih bertahan. Mungkin, seperti Caroline yang terjebak dalam trauma masa lalunya, Daniel juga terjebak dalam cinta yang tak berbalas—perasaan mendalam yang dulu begitu murni, namun kini terasa seperti rantai yang tak bisa dia lepaskan.
Teleponnya berbunyi lagi, David dan John. Mereka mengajak ke club malam untuk bersenang-senang. Daniel tahu apa yang mereka maksud: wanita, minuman, pelarian sementara dari beban hidup. Tapi meskipun hubungan dengan Caroline begitu hampa, Daniel tetap setia. Ada perasaan tanggung jawab yang terus melekat padanya, meskipun hatinya sudah retak berkeping-keping.
"Aku akan menemani kalian saja," kata Daniel dengan suara datar.
David dan John sepakat. Mereka bertemu di club malam itu, suasana hingar bingar di sekitar mereka menjadi kontras dengan rasa hampa yang Daniel bawa dari rumah. Di sana, David dengan antusias menceritakan tentang pacar barunya, seorang model cantik dari Prancis yang baru dikenalnya beberapa hari lalu. David tertawa lepas, menikmati kisah cintanya yang baru berkembang. Sementara John, dengan senyum lebar, bercerita bahwa bulan depan dia akan melamar pacarnya, Catty, yang kini sedang hamil anaknya. "Aku akan jadi ayah, bro! Aku bahagia sekali!" John berkata dengan bangga.
Sementara mereka berbagi kebahagiaan, Daniel hanya duduk di sana, mendengarkan dengan senyum yang dipaksakan. Jauh di dalam dirinya, ada rasa iri yang menyelinap. David dan John tampak begitu bahagia, sementara dirinya terjebak dalam pernikahan yang dingin. Setiap kata tentang cinta dan kebahagiaan yang keluar dari mulut mereka seperti menghujamnya, memperdalam perasaan ketidakberuntungannya soal percintaan.
"Mungkin aku memang tak pernah beruntung," pikir Daniel, meneguk minumannya dalam-dalam, berharap alkohol bisa meredam rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya.
Di tengah kebisingan club dan obrolan teman-temannya, Daniel merasa semakin terasing. Cinta yang ia berikan pada Caroline dulu terasa begitu murni dan tulus, tetapi kini dia mulai meragukan semua itu. Apakah benar dia mencintai Caroline, atau hanya terobsesi pada kenangan tentangnya? Kenangan tentang gadis kecil yang dulu ia kenal sebelum segalanya berubah.
"Tapi bagaimana aku bisa meninggalkannya?" pikir Daniel. "Aku tak mungkin meninggalkan dia, meski hatinya tak pernah benar-benar menjadi milikku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me: Painful loneliness
УжасыRin mulai khawatir dengan perubahan perilaku kembaran, Jun, yang belakangan terlihat murung dan cemas setelah pulang sekolah. Merasa perlu menyelidiki, Rin menyamar sebagai Jun untuk mencari tahu apakah adiknya mengalami bullying di kelas. Namun, sa...