Bullying at School: Part 2

14 3 4
                                    


---

Daniel dan teman-temannya perlahan mendekati Rin yang terbaring di lantai, meski masih setengah sadar. Salah satu dari mereka, khawatir Rin akan melawan, segera mengambil kayu bekas kaki meja di sudut ruangan. Tanpa peringatan, kayu itu dihantamkan ke kepala Rin.

Tubuh Rin seketika terkulai lemas.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memukulnya dengan kayu? Apa kau gila?!” Daniel berseru, suaranya dipenuhi kecemasan. “Kau mau membunuhnya?”

Temannya menatapnya dengan dingin. “Dia bisa berteriak dan membuat masalah. Kita tidak mau terjebak lebih jauh, bukan?”

Daniel menghela napas panjang, kebingungan menghimpit hatinya. Bagaimana dia bisa melanjutkan perintah Caroline jika situasinya seperti ini? “Aku benar-benar...”

“Tenang, bro,” salah satu temannya menepuk pundaknya. “Serahkan saja semuanya pada kami. Kami akan bilang pada Caroline bahwa kau juga melakukannya. Tak ada yang akan tahu perbedaannya.”

Daniel merasa lega, namun hatinya tetap bergejolak. “Aku tidak bisa... aku tidak mungkin melakukannya,” pikirnya. Dia tidak bisa menyerahkan dirinya kepada seseorang yang bahkan tidak dia kenal.

Dalam diam, ia memandang ke arah Jun. Dia tahu Jun dari cerita Caroline, seorang introvert yang katanya suka membuat Caroline kesal. Namun, saat ini, semua yang dia lihat hanyalah tubuh lemah terbaring tak berdaya, tubuh yang mereka cemooh sebagai musuh tanpa ampun.

Sementara itu, teman-teman Daniel mulai melepas pakaian mereka. Mereka mendekati tubuh Rin yang kini berlumuran makanan sisa. Alih-alih jijik, mereka justru semakin bergairah.

“Lihatlah tubuh Jun! Bukankah dia punya tubuh yang luar biasa? Seperti selebriti! Aku yang akan mencobanya duluan,” ujar salah satu dari mereka dengan penuh antusias.

Salah satu dari mereka mulai menyentuh buah dada rin, kemudian memerasanya dengan penuh nafsu. Tangan mereka mulai mereba ke area vagina, memainkannya hingga berlendir kemudian mulai memasukan penis mereka. Aksi keji itu terjadi tanpa ampun, bergiliran satu per satu memperkosa tubuh yang mereka yakini milik Jun. Daniel, yang duduk di sudut ruangan, hanya bisa menyaksikan dalam diam. Tubuhnya bereaksi—bukan karena pemandangan di depannya, tetapi karena bayang-bayang Caroline yang terus membayanginya, godaannya, sentuhannya. Namun, meski terangsang, Daniel tidak pernah berpikir untuk menyentuh Rin. Semua ini bukan tentang hasrat liar; ini tentang Caroline, wanita yang dia cintai dan hormati. Caroline adalah satu-satunya yang menguasai pikirannya.

Waktu berlalu dengan lambat, seolah-olah dua jam yang terasa abadi. Akhirnya, Caroline dan teman-temannya kembali ke ruangan. Wajahnya dingin, tanpa emosi.

“Daniel,” panggilnya dengan suara lembut. “Apakah kau melakukannya?”

Daniel terdiam sesaat, lalu berbohong dengan berat hati, “Ya…”

Caroline tersenyum tipis. “Aku tahu kebenarannya,” katanya, seraya mengusap kepala Daniel dengan lembut, sebuah gerakan yang terasa bagai hadiah baginya. Hatinya melonjak—di mata Daniel, sentuhan itu adalah penghargaan yang selama ini dia dambakan.

Namun, kegembiraan Daniel tak berlangsung lama. Tiba-tiba, Sidney, salah satu teman Caroline, yang tanpa sengaja menginjak tas Rin, menemukan sesuatu yang mengejutkan. Dengan rasa penasaran, dia membuka dompet yang ada di dalam tas itu. Di sana, sebuah kartu tanda pengenal terjatuh dari dompet.

Sidney menatapnya lekat-lekat, matanya membulat karena terkejut.

“Ini... ini bukan milik Jun...” ucapnya terputus-putus. “Ini milik... Rosserine Callenreese! Kembaran Jun!”

Ruangan seketika dipenuhi keheningan. Semua mata kini beralih ke tubuh yang tergeletak tak berdaya di lantai, wajah mereka pucat, tubuh mereka gemetar.

Caroline, yang biasanya tenang, tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Matanya menatap Rin dengan ketakutan yang perlahan merayapi wajahnya. “Gawat...” bisiknya pelan, suara yang hampir tak terdengar.

Satu kesalahan fatal telah terjadi, dan kini mereka harus menghadapi konsekuensinya.

---

Another Me: Painful lonelinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang