---Tanpa peringatan, Rin merasakan tarikan kuat di rambutnya. Teman-teman Jun, tanpa ampun, menyeretnya menuju ruang kosong yang terletak tak jauh dari kelas. Rin berusaha membela diri, mencoba melawan, tapi tubuhnya tak sanggup menghadapi lima orang sekaligus. Tenaganya perlahan habis, dan dia hanya bisa tersungkur lemah ketika mereka mendorongnya ke lantai dengan kasar.
Kengerian menguasai dirinya saat ia menyadari bahwa mereka belum selesai. Wajah-wajah penuh kepuasan itu tampak ingin melanjutkan aksi kekejaman mereka. Mereka mulai melucuti bajunya, kemudian menumpahkan sisa bekal makan siang ke kepalanya, menambah penghinaan yang Rin rasakan.
“Lihat, Jun sekarang sudah bisa memberontak,” cibir salah satu dari mereka. “Sepertinya kita harus memberikan pelajaran yang lebih keras kali ini, lebih lama dari kemarin.”
“Jess, telepon Daniel dan teman-temannya. Bawa mereka ke sini,” perintah Caroline, pemimpin kelompok itu, dengan nada tajam.
“Kau serius, Lin? Apa tidak berlebihan memanggil mereka?” jawab Jess ragu.
Caroline melirik Jess dengan tajam, mengacungkan lengannya yang tergores. “Lihat ini, tanganku dicakar Jun. Kalau bekasnya tidak hilang, bagaimana? Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja.”
Jess, meski ragu, akhirnya mengeluarkan ponselnya dan mulai menelepon. Beberapa menit kemudian, Daniel dan teman-temannya tiba, wajah mereka penuh antusiasme yang tak mengenakkan.
“Daniel, lakukan apa pun yang kalian mau dengan Jun. Aku akan kembali nanti,” kata Caroline dingin.
Daniel memandangnya dengan ragu. “Apa maksudmu, Lin? Melakukan apa pun?”
“Iya,” Caroline membisikkan jawabannya di telinga Daniel, suaranya pelan dan provokatif. “Apa pun itu. Gunakan instingmu.” Tangannya bergerak dengan lembut, menyentuh tubuh Daniel, memutar jari telunjuknya dengan menggoda di bagian sensitif Daniel, membangkitkan hasrat terpendamnya.
Wajah Daniel memerah, namun ada kebimbangan yang terlihat di matanya. Teman-temannya yang melihat godaan Caroline langsung tersenyum menyeringai, terpicu oleh situasi yang semakin panas.
“Ayo, Daniel. Ini kesempatan kita!” dorong salah satu dari mereka, antusias.
Tapi di dalam hati Daniel, ada rasa perih yang tidak bisa dia abaikan. Caroline, wanita yang dia cintai sejak kecil, kini berdiri di depannya, memperlakukannya hanya sebagai alat untuk memenuhi keinginannya. Janji yang pernah dia ucapkan—bahwa dia akan melakukan apa pun untuk Caroline—kini terasa seperti beban yang menghancurkan hatinya.
“Caroline, aku mencintaimu...” pikir Daniel, hatinya bergolak. Dia tahu, jauh di dalam dirinya, Caroline hanya memanfaatkannya. Caroline yang dulu lembut, penuh kasih, berubah menjadi dingin dan manipulatif. Kehidupannya berubah setelah orang tuanya terjebak dalam masalah besar, dan kini, dia melampiaskan semua kekecewaannya dengan kekuasaan yang dia miliki atas Daniel.
Namun, di balik segala kebimbangan dan kekecewaan, Daniel tetap merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk tetap dekat dengan Caroline. Sekalipun itu berarti melanggar semua batas yang ia pegang teguh.
“Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, Caroline...” pikir Daniel, meskipun rasa sakit di hatinya semakin dalam.
Caroline menyeringai puas melihat keraguan di wajah Daniel pudar. “Aku menunggu hasilnya,” katanya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Daniel dan teman-temannya bersama Rin yang masih terbaring lemah di lantai.
Daniel menatap Rin yang masih terengah-engah di lantai, hatinya bercampur aduk. Di satu sisi, ada desakan dari teman-temannya dan keinginan untuk menyenangkan Caroline. Tapi di sisi lain, ada rasa enggan yang kuat—Rin, atau Jun yang dia kira, hanyalah korban tak berdaya dalam permainan yang kejam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me: Painful loneliness
TerrorRin mulai khawatir dengan perubahan perilaku kembaran, Jun, yang belakangan terlihat murung dan cemas setelah pulang sekolah. Merasa perlu menyelidiki, Rin menyamar sebagai Jun untuk mencari tahu apakah adiknya mengalami bullying di kelas. Namun, sa...