Rin's Acting

19 3 6
                                    

---

Rin merasa percaya diri saat melangkah memasuki ruang kelas, mengenakan penampilan yang sangat mirip dengan Jun, adiknya. Misi hari ini sederhana: mengantarkan surat izin sakit ke kelasnya tanpa terdeteksi. Dalam hatinya, dia berharap semua teman sekelasnya tidak menyadari bahwa yang berdiri di depan mereka bukanlah Rin yang mereka kenal.

“Permisi, aku Jun. Ingin mengantarkan surat izin sakit untuk Rosserine Callenreese,” katanya dengan suara yang berusaha meniru nada adiknya.

Mendengar namanya, seisi kelas langsung heboh. “Rin? Dia sakit apa?” seru seorang teman dengan nada khawatir.

Rin berusaha menjaga ketenangan, meski dalam hati, rasa gugup menyergapnya. Dia berfokus pada perannya sebagai Jun, berusaha menahan diri untuk tidak menyapa sahabat-sahabatnya yang sedang asyik menggosip di sudut kelas. Dengan cepat, pertanyaan-pertanyaan tentang kesehatan Rin mulai mengalir, membuat Rin semakin tidak nyaman. Untunglah, bel sekolah berbunyi, menandakan akan dimulainya pelajaran, dan Rin merasa diselamatkan dari situasi yang kian kacau.

“Beruntung mereka tidak curiga padaku...” Rin menghela napas lega, sambil bergumam dalam hati, “Apakah Jun pernah menyapa teman-temannya? Mungkin tidak.”

Dengan langkah yang ragu, Rin melanjutkan perjalanan menuju kelas Jun. Saat tiba di depan pintu, rasa canggung kembali menyergapnya. Takut berbicara dengan teman-teman Jun, dia merasa sedikit tertekan. Namun, apa yang terjadi selanjutnya justru membuatnya terkejut. Tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan minat untuk menyapa atau bahkan memperhatikannya. Bukannya mendapat sambutan hangat, Rin justru dihadapkan pada tatapan sinis dari beberapa teman Jun. Ketika dia mencoba mengajak teman sebangkunya untuk berbicara, orang itu malah berusaha mengabaikannya.

“Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?” batin Rin, bingung dengan situasi yang dihadapinya.

Kebosanan mulai menyelimuti Rin. Sebagai anak paling populer di sekolah, dia tidak terbiasa dengan ketenangan seperti ini. Rasa iba mulai tumbuh di dalam dirinya, melihat betapa membosankannya hidup Jun. Mulutnya sudah sangat gatal ingin berbicara, berbagi cerita, dan membahas banyak hal dengan teman-temannya. Rasanya, Rin ingin segera kabur dan kembali ke kelasnya sendiri.

“Jika aku terus berperan sebagai Jun, aku bisa gila...” keluhnya dalam hati.

Ketika pelajaran berakhir, Rin merasa seperti baru dibebaskan dari penjara. Dia sangat senang bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Dugaan awalnya tentang Jun yang di-bully oleh teman-teman sekelasnya ternyata salah. Kini, Rin menyadari bahwa adiknya mungkin hanya terkurung dalam dunianya sendiri, terlalu tertutup dari orang-orang di sekelilingnya.

“Aku harus menasihati Jun supaya dia lebih ramah,” gumamnya kesal, sambil mengunyah permen karet dengan semangat.

Saat Rin beranjak keluar kelas, beberapa teman sekelas Jun mendekatinya dan menghalangi jalan.

“JUN! Mau ke mana kamu?” teriak salah satu dari mereka, membuat Rin terkejut.

---

Akhirnya, salah satu teman sekelas Jun berani mengajaknya bicara. Rin merasa seolah-olah angin segar bertiup di hatinya. Dengan penuh semangat, dia menjawab, “Kenapa? Mau mampir dulu sebelum pulang?”

Namun, responnya justru disambut tawa nyaring dari teman itu, diikuti dengan tatapan penuh rasa jijik. “Apakah ada yang salah dengan otakmu? Apakah benturan kemarin kurang keras? Kau rindu dengan toilet sekolah?” ejeknya, nada suaranya penuh sarkasme.

Rin terkejut mendengar kata-kata itu. Seolah terlempar kembali ke realitas yang menyakitkan, dia merasakan dinding seolah runtuh di sekelilingnya. Apa yang seharusnya menjadi momen sederhana untuk bersosialisasi kini berubah menjadi lelucon yang menyakitkan. Dalam hati, Rin berpikir, “Begitu inikah hidup Jun? Selalu menjadi sasaran lelucon dan ejekan?”

Dia mencoba menahan rasa malu yang menghimpit, meski jauh di dalam dirinya, ketidakadilan ini menggelora. Kenapa teman-teman Jun bisa begitu kejam? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

Sambil berusaha tetap tenang, Rin tersenyum kaku, merasakan keinginan untuk melarikan diri dari situasi tersebut. Dia mengingat kembali bagaimana Jun selalu bersikap tertutup, dan saat ini, Rin merasa semakin memahami alasannya.

“Jika ini cara mereka berinteraksi, tidak heran jika Jun memilih untuk menjauh,” pikir Rin, hatinya bergejolak. Namun, dia bertekad untuk tidak membiarkan pengalaman ini menghancurkan semangatnya. Mungkin dia bisa membawa sedikit cahaya ke dalam hidup Jun, atau setidaknya, membuat adiknya merasa lebih diterima.

“Baiklah, aku hanya bercanda,” jawab Rin, mencoba menangkis lelucon itu dengan nada santai meski perasaannya mendalam. Dia berbalik, melangkah menjauh, tetapi di dalam hatinya, keinginan untuk memahami dan membantu Jun semakin menguat.

Another Me: Painful lonelinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang