Patient Suicide Case

0 0 0
                                    

Dokter Rebecca Anderson adalah psikolog terkemuka, dikenal dengan ketenangan dan kompetensinya dalam menangani pasien-pasien yang berjuang dengan berbagai gangguan mental. Namun, hidupnya mulai berubah menjadi mimpi buruk ketika serangkaian kematian tragis menghantam para pasiennya. Dalam waktu yang relatif singkat, beberapa pasien bunuh diri dengan pola yang hampir seragam. Kematian itu tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda peringatan yang jelas, menimbulkan misteri yang tak kunjung terpecahkan.

Saat berita mengenai kematian pasiennya menyebar, tekanan mulai datang dari segala arah. Media mulai mempertanyakan metode terapinya, kolega-kolega di lingkup profesionalnya mulai meragukan kredibilitasnya, dan polisi pun meluncurkan penyelidikan intensif. Meskipun semua kematian itu ditetapkan sebagai bunuh diri, ada spekulasi bahwa mungkin kelalaian dari pihak Rebecca menjadi pemicunya. Beberapa pihak bahkan menduga pemberian obat yang tidak sesuai atau terapi yang salah bisa menjadi penyebab kejatuhan mental para pasiennya.

Namun, Rebecca tahu di dalam hatinya bahwa dia tidak pernah lalai. Setiap pasien yang menjalani terapi bersamanya selalu diberi perhatian dan perawatan terbaik. Tapi tetap saja, kesan misterius tentang bagaimana pasien-pasien itu, yang tampaknya stabil, tiba-tiba memutuskan untuk bunuh diri terus menggerogoti pikirannya. Mungkin ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak ia lihat. Tapi apa?

Setiap hari Rebecca bangun dengan beban baru. Kasus-kasus ini sudah tak terhitung jumlahnya, seolah-olah setiap sudut hidupnya dikepung oleh kegelapan. Dia mulai meragukan dirinya sendiri-mungkinkah ada sesuatu yang dia lakukan tanpa sadar yang menyebabkan pasien-pasien ini menyerah pada keputusasaan mereka? Mungkinkah metode terapinya yang selama ini dianggap sukses, ternyata memiliki kelemahan fatal?

Polisi semakin menekan dengan penyelidikan mereka, memeriksa riwayat medis pasien-pasiennya, serta mempelajari rekaman setiap sesi terapi. Mereka juga mempertanyakan pemberian obat-obatan tertentu. Namun, tak ada bukti langsung yang mengarah pada kelalaian fatal dari pihak Rebecca. Meski begitu, setiap berita yang keluar, setiap artikel yang menuduhnya dengan headline "Psikolog Terkenal Terlibat dalam Serangkaian Bunuh Diri Pasien," semakin membuatnya terpuruk. Dia mulai merasa ada mata yang mengawasi dari setiap sudut, seolah-olah dunia sedang menantikan kejatuhannya.

Sementara itu, rekan-rekan Rebecca mulai menjaga jarak. Mereka tak ingin terlibat dalam skandal yang semakin besar ini. Para pasien barunya, yang masih datang, tampak was-was, mempertanyakan keamanannya untuk menjalani terapi dengannya. Mereka mungkin mendengar rumor-rumor, atau melihat laporan berita yang semakin menyudutkan Rebecca sebagai profesional yang tidak kompeten.

Tekanan ini semakin memperburuk kondisi mentalnya. Setiap malam, ia terjaga, memikirkan langkah apa yang salah, memutar kembali semua sesi terapi, bertanya-tanya apakah ada satu kalimat atau keputusan yang tak disadari telah mendorong para pasien itu menuju kematian. Kesehatannya mulai terganggu. Dia sering kehilangan nafsu makan, susah tidur, dan dikepung mimpi buruk tentang pasien-pasiennya yang datang kepadanya, mengeluhkan rasa sakit yang tak bisa ia sembuhkan.

Rebecca duduk sendirian di kantornya yang gelap, hanya ditemani oleh cahaya lampu meja yang temaram. Tumpukan berkas pasien tergeletak di mejanya, tetapi tidak satu pun dari mereka menarik perhatiannya malam ini. Matanya yang lelah beralih ke jendela, menatap kosong keluar, ke kota yang penuh dengan kehidupan namun terasa begitu jauh dari dirinya. Sudah beberapa minggu ini, ada sesuatu yang mengganggunya. Bukan hanya tekanan dari pekerjaan yang terus bertambah, atau kasus pasien yang bunuh diri yang mulai menarik perhatian polisi, tapi ada sesuatu yang lebih gelap... lebih pribadi.

Seseorang yang mirip Rin.

Rebecca menggigil ketika memikirkan nama itu. Rin-gadis yang dulu ia kenal, yang seharusnya tidak lagi ada dalam kehidupannya. Gadis yang pernah ia sakiti, yang dulunya menjadi sasaran bullying di sekolah. Sebenarnya, Rin bukan target utama. Sasaran mereka seharusnya adalah Jun, tetapi karena kebetulan mereka kembar, Rin menjadi korban salah sasaran.

Sejak pertama kali Rebecca mendengar kabar bunuh diri pasien-pasiennya, bayangan masa lalu mulai menghantui dirinya. Namun, beberapa minggu terakhir, teror itu terasa semakin nyata. Ia mulai melihat sosok yang sangat mirip dengan Rin di tempat-tempat yang tak terduga. Di sudut-sudut jalan, di pantulan jendela, atau di ruang tunggu kliniknya, sekilas Rebecca melihat wajah yang begitu dikenalnya. Wajah yang tidak mungkin ada di sana-karena Rin sudah lama meninggal.

Pikiran itu menghantuinya sepanjang waktu. Apa yang dilihatnya? Apakah itu hanya ilusi yang lahir dari rasa bersalah? Ataukah ada sesuatu yang lebih menyeramkan di balik semua ini?

Malam itu, ketika Rebecca hendak pulang, ia kembali melihat sosok itu. Saat ia berjalan menuju mobil di parkiran yang sepi, matanya menangkap seseorang berdiri di ujung lorong. Tubuhnya kaku, kedinginan merayap ke tengkuknya saat ia menyadari siapa yang berdiri di sana. Rin-atau setidaknya seseorang yang sangat mirip dengannya.

Rebecca menelan ludah, merasa tubuhnya menegang. "Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya dengan suara serak. Ia memejamkan mata, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah imajinasi. Tapi saat membuka mata, sosok itu masih di sana. Berdiri diam, menatapnya dengan tatapan yang menusuk.

Napas Rebecca mulai tersengal. Ia merasa tercekik oleh udara dingin di sekitar. Bayangan masa lalu kembali menyerang. Wajah Rin, suara tawanya yang dulu ceria, kini berubah menjadi jeritan menyakitkan di dalam pikirannya.

"Maafkan aku..." bisik Rebecca, meskipun ia tahu tidak ada yang mendengarnya.

Bayangan itu menghilang begitu saja, seolah tersapu angin. Rebecca terduduk di dalam mobilnya, keringat dingin membasahi dahinya. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri, tapi perasaan bersalah itu semakin dalam menggerogoti batinnya. Setiap kali sosok Rin muncul, perasaannya menjadi semakin kacau.

Kembali ke rumah, di depan cermin, Rebecca menatap bayangannya sendiri. Tubuhnya yang lelah, wajah yang mulai terlihat tua dan dihiasi kerutan-kerutan tipis akibat beban mental yang tak tertahankan. Dalam pantulan cermin itu, ia kembali melihatnya. Rin, berdiri tepat di belakangnya, dengan wajah tenang namun penuh luka. Rebecca tersentak, menoleh dengan cepat, tapi tidak ada siapa pun di belakangnya.

"Ini hanya ilusi. Aku hanya... kelelahan," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam, Rebecca tahu bahwa ini bukan sekadar kelelahan. Itu adalah rasa bersalah yang membawanya ke tepi jurang kegilaan.

Pikiran tentang Rin yang sudah lama ia kubur kini muncul ke permukaan, menggoyahkan stabilitas mentalnya. Kasus bunuh diri para pasien yang tak terjelaskan menambah beban. Ditambah lagi, ada desas-desus bahwa dokter Rebecca lalai dalam memberikan perawatan, bahkan polisi mulai menyelidiki apakah ada kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien-pasiennya.

Rebecca duduk di tepi tempat tidurnya, jari-jarinya gemetar saat ia memegang pil penenang yang diresepkan oleh dokter lain untuk mengatasi kecemasannya. Tatapan matanya kosong, menatap dinding kosong di depannya, tapi dalam benaknya, bayangan masa lalu semakin nyata, semakin mencekam.

Rebecca merasa dirinya hancur dari dalam. Setiap malam, mimpi buruk tentang Rin terus menghantuinya, seolah-olah gadis itu menuntut penebusan. Kesalahan masa lalu yang terus menghantui kini mendorongnya ke ambang kehancuran. Ia tahu, jika ini terus berlanjut, mungkin hanya ada satu jalan keluar: menyerah pada keinginan untuk mengakhiri semuanya.

Another Me: Painful lonelinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang