Sebelum dunia memanggilku jenius, aku hanyalah seorang anak yang hidup dalam kesunyian, terkurung dalam keheningan pikiranku sendiri. Aku lahir sebagai seorang autis. Meski kami kembar, hanya aku yang harus hidup dengan kondisi ini, sementara Rin, saudariku, terlahir sempurna di mata dunia. Aku beruntung memiliki dia sebagai saudara karena Rin tak pernah melihatku sebagai beban. Di matanya, aku selalu sama seperti dia—manusia yang berhak untuk dicintai.Rin adalah segalanya bagiku. Dia adalah jembatan yang menghubungkanku dengan dunia yang sering kali terasa menakutkan dan tak terjangkau. Dia tak pernah menyerah untuk mengerti setiap kesulitanku, bahkan ketika aku tak bisa mengerti diriku sendiri. Ia berbicara padaku dengan sabar, mencoba memahami setiap bisikan kecil dalam hatiku yang tak mampu keluar sebagai kata-kata. Rin, dengan senyum lembutnya, selalu hadir, menjadi teman dalam kesunyian, menghapus kesepian yang sering kali menghantuiku.
Keluargaku yang lain juga tak pernah mengeluh tentang keadaanku. Ayah dan Ibu selalu mendukungku, tak peduli betapa lambatnya aku berkembang dibanding anak-anak lainnya. Tapi aku tahu, jauh di dalam hati mereka, ada kekhawatiran yang tak pernah terucap. Mereka bertanya-tanya apakah aku bisa hidup mandiri, apakah aku bisa menemukan tempatku di dunia ini. Ketika aku melihat mereka, aku sering kali bertanya pada diriku sendiri: apakah aku cukup baik untuk mereka?
Tahun-tahun berlalu, dan aku akhirnya bisa masuk sekolah yang sama dengan Rin. Di sekolah, Rin menjadi bintang. Semua orang mencintainya—teman-teman, guru-guru, bahkan anak-anak yang lebih tua. Dia adalah simbol kesempurnaan, dengan kecantikan dan keramahan yang memikat hati semua orang. Sementara aku? Aku adalah bayangan di sudut ruangan, terjebak dalam duniaku sendiri, tak ada yang mengulurkan tangan.
Setiap hari, aku menyaksikan Rin bermain dengan teman-temannya, tertawa bersama mereka, sementara aku duduk sendirian. Di saat itu, rasa cemburu dan marah perlahan-lahan mulai tumbuh di hatiku. Aku merasa diabaikan, seperti tidak ada ruang bagiku dalam hidupnya yang semakin ramai. Mengapa dia harus berbagi tawa dengan orang lain? Mengapa dia harus menjauh dariku, satu-satunya orang yang benar-benar memahami siapa dia?
Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari kebenaran yang pahit. Rin pantas memiliki kehidupan yang lebih besar dari sekadar mengurusku. Dia tidak bisa terus-terusan ada di sisiku. Aku tak bisa memaksanya untuk tetap bersamaku selamanya. Aku harus belajar melepaskannya.
Maka, aku mulai menjauh. Aku berhenti mengikuti Rin ke mana-mana, berhenti mengganggu dunianya yang penuh dengan teman-teman baru. Pada awalnya, hatiku sakit saat melihatnya tersenyum bersama orang lain. Tapi kemudian, aku menyadari bahwa itu adalah bentuk cinta yang sebenarnya—membiarkan orang yang kau cintai hidup sesuai dengan keinginannya, bahkan jika itu berarti kau harus menyaksikan mereka pergi.
Aku mencari pelipur laraku di tempat lain—perpustakaan. Di sana, aku menemukan ketenangan yang selalu kurindukan. Di antara tumpukan buku, aku tenggelam dalam dunia yang tidak membutuhkan suara atau emosi. Aku menemukan diriku di dalam halaman-halaman itu. Buku-buku sains dan kedokteran memikatku, membuka jendela baru ke dalam pikiranku. Saat itulah aku mulai berpikir tentang masa depanku, tentang menjadi seseorang yang berarti—seorang dokter, mungkin, atau seorang ilmuwan.
Aku berkhayal, suatu hari nanti, jika Rin atau keluargaku jatuh sakit, akulah yang akan menyembuhkan mereka. Aku yang akan menolong mereka, membalas semua kasih sayang yang mereka berikan padaku selama ini. Keinginan itu, harapan sederhana untuk melindungi mereka yang aku cintai, tumbuh menjadi obsesi. Setiap hari aku semakin tenggelam dalam buku-buku itu, semakin terfokus pada impianku. Itu menjadi jalanku untuk melarikan diri dari rasa sakit karena kehilangan Rin, yang semakin lama semakin jauh dariku.
Namun, di balik semua itu, ada rasa takut yang terus menghantuiku. Apakah aku cukup berharga tanpa Rin di sisiku? Apakah aku bisa benar-benar hidup mandiri, menjalani kehidupan yang berarti tanpa bergantung pada kehadirannya? Setiap malam, aku memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini, dan setiap malam aku gagal menemukan jawabannya. Aku mungkin pintar dalam matematika atau sains, tetapi dalam hal kehidupan, aku merasa buta.
Waktu berlalu, dan Rin semakin dewasa. Aku juga berubah. Orang-orang mulai memperhatikan kejeniusanku dalam belajar, terutama dalam hal memecahkan masalah yang rumit. Mereka memanggilku jenius, tapi label itu tidak pernah membuatku merasa lebih baik. Aku tetap merasa terperangkap dalam dunianya, dalam bayang-bayangnya. Tidak ada gelar atau pujian yang bisa menghapus kenyataan bahwa tanpa Rin, aku hanyalah seseorang yang tersesat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Me: Painful loneliness
TerrorRin mulai khawatir dengan perubahan perilaku kembaran, Jun, yang belakangan terlihat murung dan cemas setelah pulang sekolah. Merasa perlu menyelidiki, Rin menyamar sebagai Jun untuk mencari tahu apakah adiknya mengalami bullying di kelas. Namun, sa...