Kesalahan itu harus diakui.
Supaya bisa berdamai dengan diri sendiri.
Supaya bisa berdamai dengannya, yang terluka.🍀🍀🍀
Malam sudah begitu larut, tetapi mata Radit tidak bisa terpejam. Jika ditanya bagaimana rasanya malam ini sudah pasti lelah. Selama berjam-jam duduk di dalam pesawat, belum tuntas juga beristirahat pikirannya dihantam oleh kenyataan tak berkesudahan.
Perlakuan dari seorang Birendra Sadhana yang baru berusia enam belas tahun nyata membuat dirinya tidak tenang. Sepulang dari rumah keluarga Wardhana, Bunda Karina—ibu Radit—memperingatkannya untuk segera beristirahat.
"Masih belum tidur, Dit?" sapa bundanya.
Wanita dengan baju tidur berwarna coklat itu memilih untuk memasuki kamar Radit saat melihat lampu di kamar itu masih menyala.
"Belum, Bun, masih ada yang Radit pikirkan."
"Tentang?"
"Adakah yang ingin Bunda ceritakan selama Radit nggak ada di sini? Please, Bun. Radit tahu ada yang nggak beres. Kenapa Bi jadi seperti itu?"
Bunda Karina menghela napas, mengusap kepala putra tunggalnya. "Istirahat dulu, nanti kamu akan tahu sendiri. Jangan terlalu memaksanya, Nak. Bi masih adikmu, masih juga saudaramu. Meski dia sedikit berbeda."
Lelah berurusan dengan ketidakpastian itu, Radit memilih untuk menuruti permintaan sang bunda. Ia merebahkan tubuhnya setelah Bunda Karina mematikan lampu dan meninggalkan kamarnya.
Namun, Radit masih beranggapan Birendra terlalu kekanakan. Tidak seharusnya ia seperti melihat kedatangan orang asing di rumahnya, sementara Radit sendiri sering bertukar kabar dengan Tante Ajeng, ibu Birendra. Salahnya hanya satu, ia tidak pernah bertukar kabar secara langsung dengan Birendra. Hanya itu saja.
Apa karena nggak pernah kirim kabar? Mustahil Bi ngambek hanya karena itu. Sementara aku pergi hanya sekitar tujuh tahun. Tujuh tahun bukan hanya, Dit. Lu bego apa gimana? batin Radit.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi kepergian Radit bersama sang ayah memang terhitung mendadak. Bahkan untuk sekadar mengucap kata perpisahan saja ia tidak sempat. Namun, karena alasan tidak ingin membuat Birendra sedih, Radit memilih untuk memantau kabar sang adik dari orang-orang sekitarnya saja.
Setahun, dua tahun, ia hanya bermodalkan bertukar kabar. Radit juga merasa keputusannya itu benar. Sampai suatu ketika sang bunda bercerita bahwa tidak ada lagi Birendra yang ceria, hanya tersisa murung dan kesedihan di wajah sang adik.
Sejak saat itu, Radit mulai ragu dengan keputusannya yang tidak meninggalkan pesan apa-apa. Rasa bersalah mulai mengisi relung hatinya. Ia merasa menjadi orang jahat, sehingga saat sang ayah menyudahi masa kerjanya di Kanada dan menawarkan untuk kembali ke Indonesia, Radit dengan semangat mengatakan ingin segera kembali.
Lunas dengan segala pemikiran semalam, Radit bangun pagi-pagi sekali dan sudah bersiap untuk mengurus segala keperluan dan perpindahannya ke universitas di kota itu. Ia meneruskan pilihan jurusan yang ditempuh selama di Kanada.
"Sudah siap, Son?" tanya sang ayah.
"Yaps, sekalian mau mampir ke rumah Bi dan mau nganter ke sekolah."
"Yakin dia bakalan mau?"
"Masa nggak mau, Dad? Udah lama nggak ketemu, Radit masih kangen."
"Justru lama nggak ketemu, apa nggak canggung nantinya?"
Radit mendadak tidak yakin dengan keputusannya. Ia memperlihatkan cengiran sekaligus mengangkat kedua bahunya karena merasa ucapan sang ayah ada benarnya.
"Hm ..., Radit coba dulu, Dad," ucap Radit sambil membawa setangkup roti tawar dengan olesan coklat di tengahnya.
Lelaki 22 tahun itu bergegas menuju rumah sebelah. Belum juga sampai, ia sudah melihat sosok anak lelaki dengan seragam putih abu-abu mengendari sepeda. Radit berusaha berteriak memanggilnya dan mengejar, tetapi tidak terkejar. Ia menepuk dahinya dan berbalik ke halaman rumahnya dan mengendarai motor yang ayahnya siapkan untuk mobilitas menuju kampus.
Radit berusaha mengejar Birendra yang mengayuh sepeda dengan lumayan cepat. Sampai posisinya sejajar, Radit membuka kaca helm dan menyapa dengan senyuman terbaiknya pagi ini.
"Pagi, Bi!"
Birendra menoleh dan sedikit kaget karena di jalanan yang sedikit padat ada orang yang menyapanya. Pelajar kelas sepuluh ini memilih untuk fokus pada jalanan yang dilaluinya dan mengabaikan siapa yang berada di sebelahnya.
Radit masih terus berusaha mempertahankan posisinya, bahkan beberapa kali ia mendapat peringatan dari pengendara lainnya. Klakson mobil dan motor bersahut-sahutan karena motornya menghalangi pengendara lain untuk menyalip.
"Jauh-jauh, sana! Ngalangin jalan orang saja," ujar Birendra dengan nada ketusnya.
Otomatis Radit menoleh ke kaca spion dan melihat beberapa kendaraan mengekor di belakangnya. Barulah ia sadar dirinya menjadi penyebab orang-orang memencet klakson berulang kali.
Sampai di pertigaan berikutnya, Radit terlambat untuk berbelok ke arah kiri dan membuat dirinya kehilangan jejak. Meski jalanan di kotanya tidak banyak berubah, tetapi Radit harus banyak mempelajari lagi jalur dan aturan pengguna jalan.
Si putra tunggal itu berhenti di bahu jalan. Ia merogoh sakunya dan menggeledah isi tas punggungnya. Radit tersenyum dan mulai terbahak saat tidak menemukan apa yang ia cari.
Oke, kebodohan seorang Radit hari ini adalah lupa belok buat ngikutin Bi ke sekolah. Lupa nanya jalan sama Daddy buat ke kampus. Termasuk lupa bawa ponsel dan dompet. Semangat putar balik, Dit!
🍀🍀🍀
Day 2
WPRD Batch 2Bondowoso, 17 Februari 2022
Na_NarayaAlina
KAMU SEDANG MEMBACA
Bráithreachas ✔
General FictionRadit pernah pergi, tetapi ia kembali. Demi sebuah janji yang pernah ia ingkari, demi sebuah amanah yang pernah ia khianati. Semua terjadi begitu saja, bahkan ia baru menyadari kesalahannya di masa lalu memberikan luka yang teramat dalam pada Birend...