Aku ingin egois.
Sekali saja izinkan aku melakukannya.
Sebab sudah terlalu lama memendam, aku sampai lupa bagaimana cara supaya sanggup menerima keadaan🍀🍀🍀
Tragedi bakwan yang menjadi rebutan pun masih saja berlanjut. Zio merengek untuk meminta isi mangkuk Birendra. Ia yang duduk di seberang si bungsu berusaha untuk menengok isinya, tetapi tidak begitu jelas.
"Ma, mau yang di mangkuk, Bi."
"Zio, Mama sudah telepon Ayah dan bilang kalau kamu mau bakwan. Mau yang pedas apa nggak? Pakai pentol kasar?"
"Mau yang itu, Ma," tunjuk Zio ke arah Birendra.
Setelah merajuk dan tidak bisa diam, Birendra tidak tahan dan menyodorkan mangkuknya untuk berbagi. Si bungsu bahkan belum menyentuh dan memakan isinya.
"Boleh ambil, tapi jangan semua. Aku belum makan isi bakwannya."
"Kenapa nggak dari tadi dikasihnya, sih? Kalau gitu kan nggak usah ngerepotin Ayah."
"Mas ...,"
Suara lembut itu kembali terdengar dan membuat Ganesh diam seketika. Ia benar-benar tersudut saat sang ibu memanggilnya dengan sangat lembut dan pelan. Bukan karena apa, itu adalah ajaran sang ayah supaya tidak menyela, membantah, dan menjawab saat sang ibu menegurnya atas kesalahan yang ia perbuat.
"Ma, bukan bakwan yang ini. Zio mau bakwan yang pakai jagung sama wortel. Yang digoreng, bukan yang berkuah."
"Allahuakbar. Bilang aja pengin gorengan, Zi. Ini bukan tanah kelahiranmu kalau kamu lupa," ujar Birendra sambil menarik mangkuknya lagi dan mulai menyantap makanan pemberian Radit.
Seketika Zio tersipu mendengar ucapan Radit. Si putra tunggal itu benar. Ini bukan tempat kelahirannya. Bakwan di sana adalah gorengan yang berisi sayuran. Sedangkan bakwan di tempatnya kali ini adalah bakwan berkuah dengan isian bakso, tahu putih, pangsit goreng, mie kuning, dengan taburan irisan bawang daun dan bawang merah goreng.
"Iya, Mama bikin dulu, tunggu, ya?" ujar Mama Ajeng sambil mengambil bahan-bahan yang ada di kulkas. "Ini sama kayak kejadian sayur asem. Udah dibikinin, ternyata bukan itu yang dimau. Sayur asem yang dimaksud yang isinya jagung, kacang panjang, daun melinjo, kacang tanah, labu siam, dan kuahnya nggak bening. Lah, kalau di sini sayur asemnya kan bening. Itu bikin repot waktu Zio baru sampai di sini. Dit."
"Perbedaannya lumayan, Ma. Mungkin Zio lagi kangen sama suasana di rumah lamanya," balas Radit.
Perhatian orang-orang di rumah itu teralihkan saat Birendra terbatuk karena tersedak kuah pedas dari bakwan.
"Makannya nggak usah buru-buru, nggak ada yang minta juga, kok." Ganesh berujar dengan nada yang sinis.
Sungguh berbeda dengan yang Radit lakukan. Ia langsung mengambil segelas air dan memberikannya pada Birendra. Tidak sampai di situ, lelaki yang berstatus mahasiswa itu menepuk punggung Birendra dengan pelan sampai si bungsu itu bisa bernapas dengan benar.
Jika diberikan kesempatan, sebenarnya ada satu hal yang sejak dulu ingin Radit lakukan. Ia sangat tidak suka pada Ganesh yang sering berbicara sadis, bahkan pada adiknya sendiri. Ingin sekali ia mengikat bibir kakak Birendra itu supaya tidak banyak berkata yang menyakitkan hati.
"Makasih, Bang."
Ucapan Birendra itu dihadiahi sebuah usapan kecil di kepala dari Radit. Melihat kedekatan keduanya, tampak sekali ada kilatan mata yang tak terima. Ia adalah si sulung keluarga Wardhana.
Ganesh cepat-cepat berpaling dan melihat Zio yang menelungkupkan kepalanya di meja. Ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak memperlihatkan kecanggungan karena tertangkap basah memasang wajah tak suka pada kedekatan keduanya.
Si sulung itupun tak ingin kalah, ia juga mengelus kepala Zio dan memainkan rambut ikalnya. Namun, bukan sebuah kenyamanan yang Zio perlihatkan. Ia justru menepis tangan Ganesh dan memintanya untuk berhenti.
"Ma, Zio demam. Ini pasti karena hujan-hujanan sama Bi." Ganesh mengadu karena merasakan suhu tubuh Zio berbeda.
Radit mendengkus, "Kagak usah mulai lagi, Bos. Udah enak dari tadi diem, lo malah mancing-mancing terus. Nggak bosen nyalahin Bi?"
"Kalian ini kalau ketemu dan bareng memang nggak pernah akur, ya? Ada aja yang diributin." Mama Ajeng datang membawa sepiring pesanan Zio. Ia juga memeriksa kening Zio. "Makan dulu, Zi, setelah itu minum obat biar besok bisa lanjut kegiatan di sekolah."
"Mama Ajeng tahu petasan banting? Nah, itu, itu sudah persisi dengan Ganesh, Ma. Meledak-meleduk terus kalau ngomong. Nggak pakai peredam suara, nggak ada filternya juga."
"Kalau bukan lo duluan yang mancing, gue juga ogah ngomong, Dit."
"Abang sama Mas Ganesh lanjut aja, dah. Biar nanti Mama yang jadi wasitnya dan nyampein ke aku siapa yang menang perdebatan kali ini. Bi mau istirahat dulu. Hidungnya masih belum bisa mampet." Birendra menunjuk hidungnya yang semakin berair itu.
"Ambil obat dulu, Bi. Nanti kalau butuh apa-apa panggil Mama, ya? Tenang saja, laporan akan disampaikan dengan baik. Biarkan mereka menunjukkan kasih sayang yang berbeda. Mereka tuh saling sayang, tapi caranya agak ekstrem."
Mendapat perkataan seperti itu, dituduh saling sayang, membuat kedua lelaki itu menunjukkan ekspresi ingin muntah. Dan hal itu cukup membuat Birendra terhibur sebelum kembali ke kamarnya.
Ada sebuah kelegaan ketika menghadapi suasana rumah yang tak lagi sunyi. Apalagi melihat si bungsu sudah mulai menampakkan sinarnya lagi. Terkungkung selama beberapa tahun dan menutup diri, kini perlahan Birendra bisa memulainya lagi.
Meski beberapa kali ada gesekan yang membuat Ganesh dan Radit harus beradu mulut, itu menjadi salah satu bumbu terbaik dalam proses kembalinya Birendra. Semua tidak mudah, tetapi masih bisa diatasi.
🍀🍀🍀
Day 22
WPRD Batch 2Bondowoso, 09 Maret 2022
Na_NarayaAlina
KAMU SEDANG MEMBACA
Bráithreachas ✔
General FictionRadit pernah pergi, tetapi ia kembali. Demi sebuah janji yang pernah ia ingkari, demi sebuah amanah yang pernah ia khianati. Semua terjadi begitu saja, bahkan ia baru menyadari kesalahannya di masa lalu memberikan luka yang teramat dalam pada Birend...