Chapter 13 ~ Bisa & Terbiasa

559 92 82
                                    

Jangan paksa aku untuk terbiasa.
Karena untuk "bisa" saja, aku butuh banyak waktu.
Apalagi untuk terbiasa?
Aku membutuhkan banyak "bisa" untuk terbiasa.
Namun, dari terbiasa, aku justru menjadi bisa.

🍀🍀🍀

"Ganesh!' Suara Mama Ajeng yang biasanya tidak pernah keras kini terdengar menggelegar. "Ayah sama Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk main tangan."

Mama Ajeng langsung menarik si bungsu dan memeriksa pipinya. Ada bekas merah dan terasa panas saat sang ibu memegang pipi Birendra. Wanita ibu dua anak itu beberapa kali bertanya pada putranya tentang sakit bekas tamparan sang kakak.

Birendra menggeleng. Berapa kali ditanya, ia tetap menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa dan ia baik-baik saja. Meski begitu, naluri seorang ibu sangatlah tajam. Ia melihat setetes darah di sudut bibir Birendra.

"Ma, Bi sudah mulai lancang sama Ganesh. Ganesh kelepasan, Ma."

Suara Ganesh dianggap angin lalu oleh ibunya. Sang ibu lebih memperhatikan adiknya. Ia menggiring Birendra ke ruang tengah, memeriksa sekali lagi bagian mana yang berdarah.

"Buka mulutnya, Nak."

"Nggak apa-apa, Ma. Cuma luka sedikit di pipi bagian dalam."

"Beneran nggak apa-apa? Pusing nggak?"

"Telinga Bi agak berdengung, Ma, seperti ada lebahnya."

"Nanti kalau pusing bilang ke Mama. Kakakmu itu kelewatan. Sudah berani main tangan."

"Mas Ganesh marah soalnya Bi pergi sama Abang."

"Cemburunya masmu itu nggak beralasan. Masa cemburu sama saudara sendiri? Kamu mandi dulu, ya. Setelah itu Mama siapkan makanan."

"Tadi Bi diajak ke perusahaan tahu tradisional dan ini oleh-oleh dari sana. Boleh Mama masak dijadikan semur tahu, atau langsung disajikan."

"Makasih, sayang."

Birendra berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Sambil sesekali memukul pelan pelipis kanannya, berharap dengungan itu berkurang. Tanpa ia sadari, sosok wanita yang melahirkannya memandangi dengan tatapan iba dan wajah khawatir.

🍀🍀🍀

Sudah tiga hari ini Radit tidak bertemu dengan adiknya. Selain karena sibuk kuliah, ia juga memang tidak begitu mengikuti Birendra. Berkat tugas dari kampus, lelaki bermata sipit itu kerepotan membagi waktunya.

Mau tak mau, jatah untuk mengikuti sang adik harus ia korbankan. Baru di hari keempat Radit bari bisa berjumpa. Itupun karena tidak sengaja berpapasan saat Birendra baru keluar gerbang dan Radit baru pulang kuliah.

"Bi, ikut Abang!"

Birendra langsung menoleh ke arah teras. Ia memeriksa apakah ada anggota keluarganya di sana. Terlebih lagi Ganesh, ia berharap kakaknya tidak sedang mengamatinya. Birendra masih agak takut bertemu Radit karena kejadian terakhir kali.

Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, barulah Birendra berani untuk menaiki boncengan motor. "Mau ke mana, Bang?"

"Jajan batagor, mau?" tanya Radit sambil mengamati wajah adiknya dari kaca spion.

Birendra mengangguk tanda setuju. Suasana jalanan lumayan sepi. Mungkin karena baru saja turun hujan, sehingga orang-orang enggan untuk keluar rumah karena cuaca terasa dingin.

Begitu sampai di tempat tujuan, Radit langsung memilih tempat yang berada di sudut ruangan. Sengaja ia pilih di sana supaya tidak menarik perhatian pelanggan lainnya. Birendra menurunkan tudung jaketnya, dan disambut dengan tatapan terkejut dari Radit.

"Ini kenapa?" Radit memiringkan kepala adiknya dan memeriksa memar di pipi mulus Birendra.

Birendra memiliki kulit yang putih, sehingga memar dari tiga hari lalu masih terlihat bekasnya. Sedikit berwarna keunguan dan mulai memudar sebagian. Si bungsu kelaurga Wardhana itu lekas menarik wajahnya dan menutup kepalanya lagi dengan tudung jaket.

"Nggak apa-apa. Kepleset di kamar mandi, terus kepentok wastafel."

"Jangan pernah bohong. Abang tahu itu bekas tamparan. Siapa yang nampar kamu?"

"Abang juga pembohong. Abang juga pengkhianat. Abang juga orang munafik. Janji akan datang, nyatanya malah pergi. Abang diberi amanat buat nemenin Bi, ternyata malah ninggalin. Terakhir, Abang yang janji buat nggak pergi, ternyata apa? Abang pergi ..., tanpa pamit."

Suara Birendra membuat beberapa pelanggan menoleh. Radit mengangguk beberapa kali sambil meminta maaf atas keributan yang mereka ciptakan. Rencana untuk menikmati Batagor akhirnya urung. Radit meminta pramusaji untuk membungkus makanan yang mereka pesan.

Setelah pesanan didapat, mereka menuju tempat yang lebih tenang. Taman kota setelah hujan adalah tempat paling pas untuk mencari ketenangan. Radit sudah persis seperti seorang bapak yang berusaha menenangkan anaknya yang sedang bad mood.

"Abang minta maaf kalau dulu pernah ninggalin kamu. Abang nggak bermaksud begitu."

"Bi sering nangis, sering sakit, sering nggak punya teman setelah Abang pergi. Banyak waktu yang Bi buang untuk membiasakan diri tanpa Abang. Bi pikir Abang nggak akan balik lagi."

"Bi ...."

"Sekarang, setelah semuanya baik-baik saja. Bi juga sudah terbiasa tanpa Abang, sudah terbiasa tanpa Mas Ganesh, sudah terbiasa dengan Zio yang merajuk layaknya anak bungsu di keluarga Bi, Abang datang lagi."

"Maaf, Bi. Kalau memang nggak suka Abang kembali, nggak apa-apa, bilang saja."

"Bi sudah bisa ke mana-mana sendiri. Bi juga sudah bisa ngadepin Zio kalau manja. Bi sudah bisa semuanya, Bang."

"Oke! Bi nggak nyaman Abang ada di sini? Bi nggak suka Abang di sini? Kalau gitu, Abang pergi, ya?"

Radit beranjak dari duduknya dan mulai melangkah untuk pergi. Namun, langkahnya terhenti karena tertahan oleh tangan Birendra yang menarik bagian belakang bajunya.

"Jangan pergi lagi, jangan pergi lagi. Janji jangan pergi lagi," ujar Birendra sambil terus menarik Radit.

🍀🍀🍀

Day 13
WPRD Batch 2

Bondowoso, 28 Februari 2022
Na_NarayaAlina

Bráithreachas ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang