Aku terbiasa menjadi pusat kesalahan.
Bahkan benarku saja tidak dianggap.
Tidak mengapa, asal jangan pernah menyesali jika benarku hanya tinggal cerita saja.🍀🍀🍀
Rintik hujan masih turun satu persatu. Beberapa pengendara motor juga masih mengenakan jas hujannya. Jalanan basah dan beberapa genangan membuat para pemakai jalan lebih berhati-hati supaya tidak membahayakan pengguna jalan lainnya.
Sebelum berangkat mengantar Zio, Birendra hanya ingat memasukkan satu jas hujan ke bawah jok motornya. Dan itu adalah jas hujan pemberian Radit, ia tak menyangka bahwa hujan akan turun sederas itu.
Mereka memilih untuk menepi. Zio yang duduh di belakang Birendra sudah menggigil. Padahal tubuhnya tidak basah, hanya sedikit saja terkena cipratan hujan dari mobil-mobil yang lewat.
Salahkan saja Zio yang sedari gerimis turun enggan untuk berhenti karena takut terlambat. Sekarang hujan sudah turun sangat deras, berhenti pun mereka tetap basah kuyup.
"Bi, dingin."
"Makanya jangan jadi batu. Ditawarin berhenti dari tadi sok kuat."
"Bagi jaketnya, gue lupa bawa jaket, Bi."
Birendra mengembuskan napasnya sembari membuka jaket hitam kesayangannya. Meski ia juga merasa kedinginan, setidaknya masih selamat dari embusan angin. Berbeda dengan Zio yang sedari awal memang menantang angin.
"Jangan lupa nanti dicuci dulu sebelum dibalikin."
Birendra mengeluarkan jas hujan dan hendak memakainya. Ia memakai celananya terlebih dahulu, tetapi saat akan menggunakan bajunya, Zio menahan tangannya.
"Masa gue mau basah-basahan masuk kelas, Bi?"
"Allahuakbar! Ya udah, nih."
Birendra menyerahkan atasan jas hujan dan melucuti celana yang sudah ia pakai. Si bungsu itu mau tak mau mengalah pada Zio. Inginnya menolak, tetapi ucapan sang ibu dan kakaknya supaya memperlakukan Zio dengan baik selalu terbayang-bayang.
"Makasih, Bi. Lo emang baik."
"Di mana lo bisa nemuin sepupu sebaik gue? Lo aja yang ngelunjak. Dikasih hati minta jantung, dikasih jantung minta ampela, rusuk, sayap, paha, ceker, kepala, sampai habis semuanya."
Zio terbahak mendengar ucapan Birendra. Bocah SMP itu bahkan menepuk bahu saudaranya sebagai tanda salut dan bangga atas pengorbanannya selama ini.
"Terima kasih, sepupu. Gimana kalau berangkat? Gue udah aman banget ini."
Lo aman, lah gue? batin Birendra sambil mengamati pakaian yang dikenakan. Celana kain berwarna hitam dengan kaos berlengan pendek. Dan setelan itu akan ia pakai sembari menembur derasnya hujan.
Birendra menarik dua sudut bibirnya sampat terlihat senyum yang sangat lebat. Sudah persis Joker yang menampilkan senyum mengerikan. Jika boleh memilih, sepertinya menjadi sosok jahat sesekali perlu ia laksanakan.
Kedua bersaudara itu akhirnya benar-benar menembus derasnya hujan. Setelah hampir sepuluh menit berlalu, gerbang tempat les Zio sudah nampak. Birendra memasukkan motornya sampai ke depan lobi supaya saudaranya itu tidak kehujanan.
"Jas hujannya sini," pinta Birendra dan disambut dengan uluran tangan Zio yang menyerahkan satu set jas hujan.
"Jaketnya gue pake dulu, Bi, masih dingin."
Lo dingin? Apalagi gue? Lagi-lagi hanya suara hati yang bisa Birendra ucapkan. "Ya udah, gue balik dulu."
"Eh, siapa yang nyuruh balik? Mas Ganesh nggak bilang kalau lo harus nungguin gue sampai selesai?"
Birendra menggeleng. Ia bahkan nyaris saja menangis karena keadaan yang campur aduk. Zio yang merampas sumber kehangatannya, jaket dan jas hujan, ditambah dengan ia yang harus menunggu kegiatan Zio sampai selesai.
"Masuk sana. Gue tunggu di warung depan." Birendra menunjuk satu warung tenda yang berada tepat di depan gerbang. " Gue mau ngopi dulu buat gantiin kehangatan yang udah lo rampas dari tadi."
"Apaan, dah?" tanya Zio tidak paham.
"Jaket, jas hujan? Lo pikir itu bukan sumber kehangatan?"
Zio menggaruk kepalanya. Si bocah yang dianggap anak bungsu keluarga Wardhana merasa tak enak pada sepupunya itu. Ia memilih menuju ruang lesnya saat Birendra mulai menjauh dari pandangannya.
Secangkir kopi dengan uap mengepul tersaji di hadapan Birendra. Ia juga memesan tahu susu goreng sebagai teman nongkrongnya kali ini. Ibu penjual yang ramah, ditemani dengan sang suami tampak senang mendapat pembeli di tengah hujan yang masih cukup deras.
"Adek dari mana sampai basah begini? Nggak bawa mantel?" tanya suami pemilik warung.
"Bawa satu set mantel, Pak, itupun dipakai sama adik saya yang mau bimbel."
"Semangat banget hujan-hujan begini masih datang. Padahal, dari tadi Bapak nggak lihat siswa datang ke situ."
"Mungkin karena hujan," ujar Birendra dengan senyumnya.
Seketika itu juga Birendra merasa sesuatu yang janggal. Perasaannya tak menentu. Benar saja, begitu ia menggigit satu tahu susu yang dicocol pada saus sambal, sudut matanya menangkap pergerakan seseorang yang dikenalnya.
Zio melambaikan tangan dari seberang jalan. Ia berdiri di tepian jalan, menunggu suasana sepi dan berlari menghampiri Birendra dengan menggunakan tas ranselnya sebagai penutup kepala.
"Tutornya nggak ada, Bi. Teman sekelas juga nggak ada yang datang. Hanya diriku yang paling rajin," ujar Zio sambil terkekeh.
Birendra ikut terkekeh, bukan karena ucapan Zio, tetapi ia tertawa keras karena harinya yang penuh kesialan. Rasanya segala upaya dan kerja keras sore ini terasa sia-sia. Birendra menatap secangkir kopi dan sepiring tahu susu di hadapannya, setidaknya itu bisa menjadi salah satu alasan rasa syukurnya.
"Abis ini balik?"
"Laper, Zi. Sekalian makan dulu."
"Gue mau juga. Soto ayam, gimana?"
"Terserah, gue pesen tahu telur aja."
"Udah pesen tahu goreng, masih mau tahu telur. Kedelai harganya naik, Bi. Kurang-kurangin demen sama tahu."
"Sabodo amat, suka-suka gue!"
Birendra mengutarakan pesanannya, sepasang suami istri itu dengan senang hati membuatkan pesanannya. Saat jeda menanti pesanannya tiba, Birendra memandangi Zio yang bajunya sedikit basah di bagian depan dan celananya.
Saat ia menunduk dan menatap tubuhnya, sekujur badannya tampak mengenaskan. Tidak ada satu sudut tubuhnya yang kering. Basah semuanya bahkan sampai bagian baju dalamnya.
Pulang ke rumah, basah kuyup. Sepanjang perjalanan kehujanan. Berangkat basah, pulang basah. Alhamdulillah. Allahumma shoyyiban nafi'an, batin Birendra sembari menampilkan senyum getirnya.
🍀🍀🍀
Day 19
WPRD Batch 2Bondowoso, 06 Maret 2022
Na_NarayaAlina
KAMU SEDANG MEMBACA
Bráithreachas ✔
General FictionRadit pernah pergi, tetapi ia kembali. Demi sebuah janji yang pernah ia ingkari, demi sebuah amanah yang pernah ia khianati. Semua terjadi begitu saja, bahkan ia baru menyadari kesalahannya di masa lalu memberikan luka yang teramat dalam pada Birend...