Katanya keluarga adalah tempat aku untuk kembali.
Nyatanya, di sana aku sudah tak punya tempat.
Tempatku tergantikan olehnya, yang masuk di antara kami.
Lalu, ke mana aku harus kembali?🍀🍀🍀
Suasana di sekitar tempat bimbel Matematik Zio masih gerimis. Birendra keluar dari warung selepas menghabiskan dan membayar apa yang sudah mereka makan. Mereka bersiap untuk pulang sebelum hujan kembali turun.
Birendra memandang langit di sisi yang mengarah ke arah rumahnya, tampak cerah dan sama sekali tidak ada mendung. Setelah siap, ia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Sialnya, jalanan sedang padat dengan berbagai kendaraan. Mulai dari mobil pekerja kantoran, sampai pekerja pabrik.
Sepertinya, hari ini Birendra harus banyak-banyak bersyukur karena diberikan ujian yang lumayan menguras tenaga. Zio yang duduk di balik punggungnya tengah asik memainkan ponselnya. Bahkan ia sudah memiringkan ponsel dengan mode landscape.
Tiba-tiba saja ada sebuah motor yang dibawa oleh ibu-ibu paruh baya memotong jalan Birendra. Hal itu mengagetkannya dan membuat ia menarik rem di tangan secara mendadak. Zio yang tidak siap dengan kondisi itu langsung merosot dan menempel pada punggung Birendra.
Suara helm Zio yang menabrak Birendra terdengar.
"Duh, bisa kalem, nggak? Kepala gue bisa retak, Bi."
"Sori, Zi. Biasa, penguasa jalanan baru aja lewat dan motong jalan."
"Siapa?"
Birendra langsung menunjuk sebuah motor yang sudah melintang dan berhenti di depan sebuah mobil karena akan berputar arah. Si ibu bahkan tidak peduli bahwa jalanan padat merayap, yang terpenting adalah ia bisa putar arah.
"Harusnya ibu-ibu yang model begitu nggak dikasih izin buat naik motor. Bukannya apa, demi keselamatan kita bersama. Sama kayak lo yang nggak boleh bawa motor karena masih di bawah umur." Zio nyerocos sambil kembali fokus pada permainannya.
"Si bocah. Ngaca dulu sebelum ngomong. Lo juga masih di bawah umur, tapi sering banget bawa motor tanpa sepengetahuan Mas Ganesh. Ngaku, nggak?"
"Selama nggak ketahuan, ya, cus lah!"
Birendra kembali melanjutkan perjalanan meskipun di depannya kemacetan belum juga terurai. Ia dengan sabar menjalankan motor secara perlahan, mengambil kesempatan saat di depannya sudah ada jarak dan celah yang bisa dilewati.
Sampai hampir selama tiga puluh menit terjebak kemacetan, ia akhirnya bisa lolos. Lelaki yang masih mengenakan pakaian basahnya itu bernapas lega. Perjalannya kini jauh lebih mulus.
Entah sudah kesialan yang keberapa, begitu Birendra memasuki daerah dekat rumahnya, tanah di sana kering. Tidak ada sedikitpun jejak basah karena hujan. Bahkan bekas rintik hujan juga tidak ada.
Apalagi saat ia memasuki jalan menuju rumahnya. Beberapa orang menatap Zio yang menggunakan mantel dan Birendra yang menggunakan baju basah dengan tatapan aneh. Satpam yang biasa berjaga di pegadaian pun juga ikut bertanyan saat Birendra melintas dengan kecepatan pelan.
"Abis kecebur di mana, Dek?"
"Abis main di air mancur taman sebelah, Pak," canda Birendra sambil berlalu meninggalkan orang-orang yang menatapnya.
Motor yang mereka kendarai sudah memasuki halaman rumah. Ganesh dan Mama Ajeng yang berada di teras menyambut kedatangan Birendra dan Zio.
"Kok sebentar? Beneran diantar sampai tempat les nggak, sih?"
"Dianterin sampai kehujanan, ditungguin juga sampai kehujanan, sampai sana nggaka ada tutor dan siswa yang datang. Zio aja kerajinan. Dia satu-satunya yang hadir."
"Nggak ditungguin? Kali aja tutornya telat."
"Mas Ganesh tanya saja sama Zio. Aku masih mau mandi dulu."
"Zio juga basah, Bi. Biarin dia mandi dulu, dah."
Birendra mengembuskan napasanya. Apa sang kakak tidak melihat siapa yang menggunakan jaket sekaligus mantel, dan siapa yang bajunya basah kuyup seperti tikus tercebur genangan?
Sungguh, jika di sana tidak ada mamanya, Birendra ingin berteriak dan meminta sang kakak membuka matanya lebar-lebar. Namun, demi ketenangannya kali ini, Birendra memilih untuk bungkam dan menganggap Ganesh tidak berujar apa-apa.
"Bi, mandi di kamar Mama saja, ya? Jangan lupa pakai air hangat biar nggak masuk angin."
"Iya, Ma," jawab Birendra sambil meninggalkan teras.
Setelah mandi, Birendra langsung berlari ke kamarnya di lantai dua. Ia langsung memilih pakaian tebal. Sensasi setelah mandi air hangat adalah hal yang paling tidak ia sukai. Tubuhnya terasa lebih dingin dan semakin menggigil.
Si bungsu keluarga Wardhana ini memilih celana training berbahan tebal dan sweater rajut. Ia sangat berharap hangat langsung menyapa tubuhnya. Ternyata dugaannya salah, hangat baru saja ia rasakan setelah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal.
Saat sedang nyaman tidur menyamping, dengan tubuh sedikit meringkuk, Birendra merasakan adanya cairan yang menetes dari hidungnya. Segera saja ia bangkit dan meraik tisu yang ada di meja belajarnya.
Awalnya ia merasa hidungnya mengalirkan darah, tetapi setelah diusap dengan tidur, sama sekali tidak ada noda darah yang tertinggal di sana.
Oh, mimisan bening, batinnya.
Akibat dari terjangan hujan dan dingin, kini hidungnya meler. Tetesan beningnya terus saja menetes diiringi dengan suara bersin. Hal itu rupanya menarik perhatian tetangga sebelah yang juga sedang berada di kamarnya.
Birendra di kejutkan dengan adanya ketukan dari pintu kamarnya. Ia membuka dan mendapati pemilik kamar sebelah berada di sana. Radit muncul secara tiba-tiba dengan membawakan sesuatu dalam kantong kresek.
"Lah, kok di sini?"
"Suara bersinmu sampai ke kamar Abang, ini ada bandrek buat hangatin badan, dibikinin sama Bunda, terus Abang juga bawa bakwan malang dengan ekstra tahu putih."
"Kapan yang beli?" Birendra dibuat takjub oleh kepekaan Radit kali ini.
"Sudah tadi, pas mau anter ke sini kok Abang lihat kamu keluar sama Zio. Jadilah tetap di simpan."
Birendra benar-benar dibuat tidak menyangka dengan perbuatan abangnya. Sesederhana itu, tetap mampu untuk membuatnya luluh. Seketika itu, segala perjuagan sang abang untuk meminta maaf kembali berkelebat.
Si bungsu yang bak bongkahan es, kini sudah mulai perlahan mencair. Menemukan penghangat yang sebenarnya, dan mulai berdamai dengan semua yang ia alami di masa lalu.
🍀🍀🍀
Day 20
WPRD Batch 2Bondowoso, 07 Maret 2022
Na_NarayaAlina
KAMU SEDANG MEMBACA
Bráithreachas ✔
Ficción GeneralRadit pernah pergi, tetapi ia kembali. Demi sebuah janji yang pernah ia ingkari, demi sebuah amanah yang pernah ia khianati. Semua terjadi begitu saja, bahkan ia baru menyadari kesalahannya di masa lalu memberikan luka yang teramat dalam pada Birend...