Jangan terlalu mudah menilai seseorang.
Bahkan mungkin mereka juga tidak ingin dinilai.
Bernilainya seseorang itu tergantung bagaimana kita memperlakukannya.🍀🍀🍀
Keadaan rumah Keluarga Wardhana masih ramai dengan beberapa pelajar yang duduk bersama dan membahas banyak hal. Radit sebagai yang tertua benar-benar mengayomi dan membantu semapunya.
Menurut mahasiswa yang berada di semester tua itu, dirinya akan membantu semampunya. Padahal, menurut Birendra, mampu dalam hal ini justru mengerahkan semua yang abangnya miliki. Dari kemampuan untuk menjalin komunikasi sampai membuat proposal kegiatan.
Beberapa waktu lalu, Birendra sempat ingin meminta bantuan untuk membuat tugas proposal kegiatan, ternyata apa yang ia dapat dari Radit bisa dikembangkan dan disempurnakan berkat kejadian yang tidak terduga ini.
Dalam diamnya saat mengamati Radit yang sedang menjelaskan sampai ke detail acara yang akan dilaksanakan, Birendra memandang abangnya. Sedikit saja bayangan yang ada di sana adalah kakaknya, Ganesh.
"Bi, sudah paham dengan yang Abang sampaikan?"
Lamunan Birendra seketika buyar. Bayangan wajah Ganesh yang mampir di wajah Radit akhirnya memudar. Ia sadar, Radit tidak akan menjadi Ganesh, dan Ganesh bukanlah Radit yang ia anggap kakak terbaiknya.
"Su-sudah, Bang. Maafkan karena jaringan koneksi otak sudah nyaris hilang. Lapar, Bang." Birendra mencoba beralasan dan kembali fokus pada Radit dan teman-temannya.
"Makan dulu. Ini cemilannya masih kurang? Abang sekalian mau pulang sebentar. Nanti balik lagi dan bawa makanan. Boleh?"
"Boleh banget, Bang," ujar teman-teman Birendra dengan kompak.
Radit akhirnya beranjak dan meninggalkan ruang tengah. Ia berjalan menuju pintu dan menghilang. Arga yang berada di samping Birendra langsung berbalik dan mengadap pada si pemilik rumah.
"Otak si Abang itu dari apaan? Kenapa encer banget?"
"Iya, gue sampai kelimpungan. Sekali gue bersuara, langsung ditanggepin. Sekali gue ngeluh bakal sulit dikerjain, langsung dicarikan solusi. Itu abang-abangan apa abang beneran?" Sandi berujar tanpa jeda sama sekali.
"Abang beneran. Jangan macem-macem kalau ngomong, San!" jawab Birendra.
"Wait, kalau dia abang beneran, terus yang tadi lewat sama anak pakai baju SMP itu siapa?" tanya Willy sambil memasang wajah keheranan.
"Allahuakbar. Padahal sudah dijelasin sama Bi. Itu sepupu sama kakak kandungnya. Kalau yang ini abang sepupu dan rumahnya di sebelah. Bener 'kan, Bi?" Ari menjelaskan dan mendapat anggukan dari Birendra.
"Makanya, kalau orang ngomong jangan sibuk sendiri, tetap fokus dan peka sama keadaan sekitar." Arga langsung menepuk punggung Willy dengan cukup keras.
Mereka yang berada di ruang tengah kompak memuji kepandaian Radit. Ibaratnya, mereka mengagungkan Radit dengan segala kemampuan yang ia miliki. Tanpa disadari, sedari tadi ada sosok lain yang sebenarnya berada di ruang yang sama.
Ganesh. Lelaki itu tengah bersantai di ruang yang bersebelahan dengan ruang tengah. Ia mendengar dengan sangat jelas bagaimana nama Radit selalu disebut dan disanjung. Pada akhirnya, ada sedikit rasa iri yang timbul karena ia tidak bisa sedekat itu dengan adiknya.
Keberadaannya disadari ketika ia pura-pura terbatuk. Sontak saja lima pasang mata langsung menoleh ke arah suara. Suasana mendadak sepi dan canggung. Bahkan Birendra juga turut terdiam.
"Kalau sudah selesai jangan lupa diberesin semuanya, Bi."
Suara Ganesh yang berat membuat empat pelajar itu tertunduk sekaligus bergidik. Rasa-rasanya segala bulu kuduk di sekujur badan berdiri. Diamnya mereka sudah seperti sunyi saat malam Jumat Kliwon, tepat jam dua belas malam.
"Iya, Mas. Abis ini kelar. Nanti Bi yang beresin semuanya."
Birendra menanggapi, tetapi keempat teman lainnya hanya mampu tersenyum dengan ragu-ragu pada Ganesh yang sudah beranjak meninggalkan ruangan itu. Keempatnya langsung bernapas lega saat Ganesh sudah tidak terlihat.
"Ya Allah, ada gitu manusia yang dinginnya melebihi kutub utara?" tanya Arga sambil mengusap lengannya guna menghilangkan sensasi merinding di tangan dan tengkuknya.
"Ada. Nih, si manusia kutub selatan." Sandi langsung menunjuk Birendra.
"Cocok. Adik kakak memang berbakat buat nakutin manusia normal macem kita." Ari mengangguk dan tersenyum pada Birendra yang mengeluarkan tatapan tajamnya.
Tidak begitu lama, Radit akhirnya kembali dengan beberapa kantung plastik. Ia langsung menyodorkan pada Birendra dan berlanjut mengambil beberapa piring untuk digunakan makan bersama.
"Nasi goreng, mi goreng, bakso." Birendra mengeluarkan isi kantung plastik satu persatu. "Es jeruk, jus jambu, jus alpukat, keripik pisang, biskuit. Abang mau mindahin isi warung sebelah?"
"Bukan gitu, Abang nggak tau mau makan apa dan kalian sukanya apa. Jadilah beli segitu. Nanti sekalian ajak Ganesh dan Zio buat makan bareng. Panggil mereka buat gabung."
Birendra menatap keempat temannya terlebih dahulu dan beralih menatap abangnya. Ia lantas menggeleng pertanda tak setuju dan tidak ingin memanggil sang kakak untuk bergabung.
"Kenapa?"
"Mas Ganesh kayaknya lagi nggak mood buat diajak makan bareng. Auranya menyeramkan."
"Kamu sudah berapa lama tinggal sama Ganesh, Bi? Masa belum terbiasa?"
"Terbiasa, sih, tapi tetap nggak bisa, Bang. Mas Ganesh terlalu gimana, gitu."
Radit hanya sanggup menghela napas. Ia mengalah dan memilih untuk memanggil Ganesh dan Zio untuk turun. Lelaki itu berjalan menuju lantai dua. Namun, belum berapa lama yang terdengar justru suara pintu yang dibanting.
"Allahuakbar! Perang dunia, Bi. Perang itu si abang sama si mas," ujar Ari yang kaget mendengar suara tadi.
"Kalau misal mereka gelut, siapa yang bakal menang?"
Sandi langsung mendapat hadiah sentilan di dahinya dari Arga. "Sembarangan kalau ngomong. Itu mulut sekolahin dulu biar pinteran dikit."
Kelima remaja yang menunggu kedatangan Radit sama-sama menoleh saat suara derap kaki mulai menuruni tangga. Mereka terdiam begitu melihat sosok yang pertama kali turun diikuti dengan dua orang lainnya.
🍀🍀🍀
Day 26
WPRD Batch 2Bondowoso, 14 Maret 2022
Na_NarayaAlina
KAMU SEDANG MEMBACA
Bráithreachas ✔
Fiksi UmumRadit pernah pergi, tetapi ia kembali. Demi sebuah janji yang pernah ia ingkari, demi sebuah amanah yang pernah ia khianati. Semua terjadi begitu saja, bahkan ia baru menyadari kesalahannya di masa lalu memberikan luka yang teramat dalam pada Birend...