Chapter 29 ~ Haruskah?

482 69 35
                                    


Terkadang keadaan memainkan perannya dengan baik.
Namun, keadaan diri sedang tidak bisa menerima.
Pertemuan itu selalu ada, tetapi perpisahan itu nyata.
Lalu, masihkah kau menanti untuk siap?
Sampai kapan?

🍀🍀🍀

Birendra memunguti beberapa benda yang tersebar di beberapa tempat karena Zio yang mengamuk. Ia melempar barang-barang yang tertata rapi di meja. Melempar bantal dan selimu yang ada di ranjang.

Si bungsu keluarga Wardhana tidak melarang, tidak juga memarahinya. Ia sekadar mengawasi saja. Setidaknya, Zio tidak mengambil tindakan yang berbahaya. Birendra paham betul, remaja itu sedang membutuhkan pelampiasan untuk amarahnya yang tertahan sejak tadi.

"Gue nggak mau ikut mereka, Bi. Nggak, nggak mau!" Zio menatap Birendra dengan wajah memelasnya. "Lo nggak keberatan gue sama Mama Ajeng dan ada di keluarga ini terus? Boleh 'kan?"

Birendra mengangguk, ia lantas menggiring Zio untuk duduk di lantai dan bersandar pada badan ranjag. Mereka duduk lesehan sambil menatap ke luar jendela. Setelah beberap saat, suasana mendadak hening.

Embusan napas yang memburu mulai terdengar lebih tenang. Birendra merangkul bahu Zio, ia menepuk perlahan tanpa ada sepatah kata menasehati apalagi menggurui.

"Orang tua macam apa yang nitipin anaknya, tapi nggak kasih kabar apa-apa. Gue bukan barang! Sekarang malah seenaknya mau bawa gue pergi. Padahal gue udah nyaman di sini. Nggak kesepian."

Lelaki yang masih mengenakan seragam SMA itu siap untuk melontarkan kata-kata yang ia susun. Namun, semua tertelan karena sadar Zio tidak butuh ceramah. Ia hanya butuh teman dan didengar untuk saat ini.

"Sori kalau selama di sini gue nyebelin dan bikin lo susah. Sering bikin lo dimarahin sama Mas Ganesh."

"Nggak apa-apa, Zi. Kalau semua lurus-lurus saja mana seru?"

"Apa Mama Ajeng sama Ayah Yudis mau ngusir gue, Bi?"

"Mana mungkin? Mikirnya jangan kejauhan. Lo pikir Mas Ganesh bisa lepas lo begitu saja? Nggak akan."

"Kali aja sudah bosan sama gue yang sering bikin masalah."

Birendra tersenyum dan kembali menepuk bahu sepupunya itu. Ia tidak sanggup jika harus melihat satu keluarga yang sudah biasa bersama harus pergi. Sudah cukup rasanya kehilangan meski hanya sementara.

Melihat sepupunya sedikit tenang, Birendra beranjak dan mulai bergerak memungut- barang-barang yang berserakan. Ia memilih barang yang masih utuh dan mengembalikannya ke tempat semula.

Zio melihat Birendra mondar-mandir, ia menjadi tidak tega melihanya. Akibat emosi sesaat yang ia lakukan justru sepupunya yang membereskan kamarnya. Zio hendak membantu, ia sudah siap untuk berdiri tetapi larangan justru datang dari Birendra.

"Belingnya ada di mana-mana, lo diem di situ dulu. Gue ambil sapu."

Mendapat larangan seperti itu Zio urung berdiri. Ia hanya berdiam diri sambil memandangi langit yang mulai menurunkan rintik hujan. Zio menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka.

Birendra kembali dengan keranjang sampah dan sapunya. Tidak berapa lama, kedua kakaknya turut masuk ke kamar Zio. Keduanya merasa canggung harus berhadapan dengan Birendra dan Zio. Keduanya saling bertatapan dan hendak melangkah mendekati Zio.

"Jangan ke sebelah situ, banyak belingnya. Naik ke ranjang saja, Mas," pinta Birendra pada Ganesh.

Ganesh langsung melompat ke ranjang dan turun menemani Zio yang duduk di lantai yang aman dari beling. Si sulung itu langsung merangkul tubuh yang terdiam itu. Sedetik kemudian, Zio menunduk semakin dalam dan mulai terisak.

"Zio nggak mau ikut. Zio mau di sini sama Mas Ganesh."

Sekuat apa seorang lelaki menahan tangis, jika sampai terdengar isakannya, berarti ia sudah ada di ambang batas kesanggupan. Menangis bukanlah larangan untuk laki-laki. Jadi, tidak ada salahnya untuk menangis 'kan?

Ganesh menoleh pada Radit yang masih berdiri di dekat pintu. Si sulung itu seolah meminta saran bagaimana cara menenangkan Zio. Radit memberikan instruksi supaya Ganesh bernapas perlahan dan meminta Zio melakukannya juga.

Begitu Birendra selesai membersihkan segala kekacauan di kamar itu, ia memilih untuk duduk di depan Zio. Disusul kemudian Radit juga bergabung. Mereka duduk saling berhadapan dan tanpa sadar membentuk formasi segi empat.

"Zi, gue nggak keberatan lo mau di sini sampai kapan. Lo juga boleh kembali ke sini kapanpun yang lo mau," ucap Birendra sambil memandang manik cokelat milik Zio.

"Tapi gue nggak mau ikut mereka, Bi. Mereka siapa? Orang yang ninggalin gue dan sekarang balik mau ngajak buat tinggal bareng lagi?"

Beberapa kali berucap, kata-kata itu yang selalu Zio sampaikan. Ia masih mengingat bagaimana tangisnya pecah saat kedua orang tuanya pergi. Ia juga masih ingat selama beberapa hari demam karena tidak sanggup dengan perpisahan itu.

Zio kembali tertunduk. Ia terisak kembali untuk kesekian kalinya. Pelajar kelas sembilan itu mengingat bagaimana Ganesh yang selalu membujuknya untuk makan. Ia juga ingat bagaimana dulu Birendra selalu mengalah supaya ia bisa betah dan tidak mencarii kedua orang tuanya.

Semua pengorbanan dari keluarga Wardhana itu tidak pernah ia lupakan. Meski terkadang ia cemburu karena bukan bagian keluarga inti, tetapi setidaknya Mama Ajeng dan Ayah Yudis tidak pilih kasih dalam mengasuhnya.

Sama rata, adil, bahkan Zio merasa perhatian orang tua di rumah itu justru lebih banyak tertuju padanya. Apalagi Ganesh, tidak perlu diragukan lagi bagaimana ia menjalani hidup di keluarga Wardhana ini.

"Kalau belum siap, nggak apa-apa, Zi. Ambil sebanyak waktu yang Zio butuhkan sampai siap. Ayah sama Ibu nggak akan maksa Zio kalau memang nggak mau. Iya 'kan, Nesh?"

Suara Radit membuat Ganesh tersadar dari lamunan dan mengangguk tanda setuju dengan pernyataan Radit.

"Ayah sama Ibu Zio nggak akan memaksa, Ayah Yudis sama Mama Ajeng juga nggak akan maksa. Semua nurut apa kata Zio. Senyaman Zio mau di mana."

"Zi, mikirnya pelan-pelan. Sekarang sudah lapar? Kalau iya, ayo makan dulu. Setelah itu kita mikir bareng-bareng." Birendra menggenggam tangan Zio dan menariknya untuk berdiri.

"Makan bakwan enak, nih," ujar Radit.

"Mau, nggak?" Birendra menawarkannya pada Zio yang dibalas dengan anggukan.

"Nesh, bawa mobil. Kita jalan-jalan berempat. Jangan sampai ada interupsi, intervensi, ataupun provokasi dari orang tua. Ini khusus buat kita."

Birendra tersenyum, kejadian langka ini akhirnya terjadi. Kedua kakaknya bisa aku, begitu juga dengan Zio dan dirinya. Meski sebenarnya hal ini hadir karena kesedihan, setidaknya ada sedikit kebahagiaan yang tercipta. Sedikit nikmat di atas derita, bukankah itu perlu disyukuri?

🍀🍀🍀

Day 31
WPRD Batch 2

Bondowoso, 18 Maret 2022
Na_NarayaAlina

Bráithreachas ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang