Satu

2 0 0
                                    

1996. Pagi yang dingin. Padahal, semalam hujan hanya sebentar mengguyur desa kecil yang terletak di salah satu Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung itu. 

“Aira! Berhenti kamu!” Suara menyentak menghentikan langkah Aira. Dia baru saja pulang dari warung Lek Sumi untuk membeli sabun mandi dan odol. 

Aira membalikkan badan ke arah sumber suara. Di hadapannya sudah berdiri tegak seorang gadis berbadan sedikit gemuk dan berambut ikal. Tingginya sama dengan Aira, meski umurnya lebih muda. Wajahnya yang lebar dihiasi beberapa jerawat yang menambah kurang menarik untuk dilihat. Untung saja kulitnya sedikit bersih, jadi tidak terlalu menakutkan jika matanya yang lebar melotot saat dia marah seperti sekarang. Ih, seram. 

“Dasar orang miskin! Kamu yang sudah menghabiskan uang jajan Fadhil kan? Ayo ngaku!” Gadis tanggung yang mengenakan kaos oblong merah itu mendorong keras bahu kiri Aira dengan tangan kanannya. Kaki Aira terpaksa mundur beberapa langkah ke belakang agar tubuhnya tidak oleng dan terjatuh.

Benar saja, mata gadis itu melotot ke arah Aira yang masih bengong karena tidak mengerti dengan kata-kata tuduhan yang ditujukan kepadanya. Aira menggaruk kepalanya yang mendadak menjadi gatal.

“Uang jajan Fadhil? Habis? Apa hubungannya denganku? Kenapa aku yang dituduh menghabiskan?” Dahi Aira mengernyit hingga kedua matanya melebar. Sementara dua bahunya diangkat dan jari telunjuknya menunjuk ke dada.

“Hei miskin! Jangan kira aku enggak tahu soal hubungan kamu sama Fadhil ya? Aku bahkan tahu kalau kalian sering bertemu diam-diam di belakang masjid waktu pulang ngaji!” Tangan gadis itu kembali mendorong bahu kiri Aira. Dia membusungkan dada sambil mendongakkan kepalanya. Sementara matanya melotot tajam ke Aira.

Mendengar gadis itu menyinggung soal hubungan dan pertemuannya dengan Fadhil, mata Aira spontan membelalak. Dengan cepat dia membuang muka dari gadis itu. Rahang Aira mengeras. Dia sadar, bahwa meskipun terpaksa, menerima cinta Fadhil adalah tetap sebuah kesalahan baginya. 

Dunia mereka memang berbeda. Fadhil adalah anak bungsu Pak Haji Moechtar Adi Jaya, orang paling kaya di kampung mereka. Tanah dan sawahnya melimpah ruah di mana-mana. Sapinya yang dirawat oleh warga, mungkin  lebih dari 10 ekor.  Mobil angkutan truknya tidak cuma 1, tapi ada 3. Belum lagi, beberapa rumah petak yang sengaja dibuat untuk kontrakan, dan semuanya selalu terisi oleh penyewa.

Sedangkan Aira, siapa dia? Orang tua Aira hanya buruh tani yang kebetulan menggarap salah satu sawah milik bapaknya Fadhil. Setiap masa panen tiba, Aira yang hanya dua bersaudara dengan kakak perempuannya, harus membantu Bapak dan Ibunya untuk mengangkut padi dari sawah ke rumah Pak Haji Moechtar. Setelah hasil dibagi sesuai kesepakatan awal, Aira dan kakaknya membawa pulang karung berisi padi bagian mereka. Motor butut keluaran Honda tahun 90an adalah satu-satunya kendaraan yang mereka punya.

Meski demikian, bukan berarti Aira akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Itu jelas bukan prinsip hidup dia. Meskipun terpaksa menerima cinta Fadhil karena didesak oleh Rena, Aira tidak akan mengorbankan harga dirinya hanya demi uang jajan. 

Jika waktu itu Rena tidak membohonginya dengan mengatakan Fadhil sakit dan tidak akan sembuh jika Aira menolak cintanya, Aira tidak akan mau menerima cinta Fadhil. Apa lagi, mereka harus sembunyi-sembunyi menjalani hubungan karena orang tua mereka pasti tidak akan merestui hubungan itu. Meskipun, mungkin dengan alasan yang berbeda.

***

Ini cuma bohongan kok Ra, enggak beneran. Aku janji deh, enggak akan ada yang  tau selain kita bertiga.” Rena mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk huruf V untuk meyakinkan Aira. Sementara Aira masih bergeming di tempat dia berdiri.

“Ayolah Ra, pliiisss. Tolong dia ya? Aku mohon padamu Ra, kasihan dia, ya?” Kali ini Rena menyatukan kedua telapak tangan di depan dadanya seperti posisi orang menyembah. Matanya berkejap-kejap, bibirnya nyengir seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan permen oleh Ibunya. 

Aira menarik nafas panjang dan menghembuskannya sedikit keras sambil meluruhkan  bahunya. Kemudian bola matanya beputar malas sementara dua sudut bibirnya ditarik ke belakang. 

“Tapi bener ya, ini cuma bohongan, dan kamu mesti janji akan merahasiakannya dari siapapun. Kalau sampai ada yang tahu, berarti kamu orangnya!” Telunjuk Aira mendarat tepat di jidat Rena. Rena nyengir. Matanya menyipit hingga dahinya ikut mengerut. Beberapa detik kemudian senyumnya sudah melebar karena permohonannya kepada Aira akhirnya dikabulkan.

“Terima kasih ya Ra, kamu emang temen aku yang paling baik deh.” Rena menggenggam tangan Aira, lebay. Lalu dia mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk sahabatnya itu.

“Eh, eh, apa-apaan ini? Enak aja main peluk-peluk. Emang aku siapanya kamu?” Aira menepis tangan Rena. Spontan Rena memunyungkan bibirnya sambil melirik wajah Aira. Sementara Aira segera berlalu meninggalkan Rena yang masih berdiri sambil senyum-senyum sendiri di bawah pohon jambu belakang masjid yang menjadi saksi perjanjian mereka.

Aira, gadis cantik berambut hitam lurus, berbadan mungil dengan kulit kuning langsat yang lincah dan cerdas. Dia selalu berhasil menjadi juara terbaik dan mendapat beasiswa dari sekolahnya, hingga bisa melanjutkan sekolah sampai ke jenjang SMA. Aira juga pandai mengaji. Dia bahkan selalu menjadi juara di madrasah. Menjadi juara 1 di banyak lomba yang diikutinya saat perayaan Maulid Nabi dan Isra Mikraj di desanya. Aira adalah bintang yang bersinar. Meski berasal dari keluarga yang terbilang kurang mampu. 

Fadhil sudah tergila-gila kepadanya sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku Sekolah Dasar. Cinta monyet? Mungkin saja. Tapi kenyataannya sampai mereka sama-sama masuk ke kelas 1 SMA, Fadhil masih saja berjuang untuk mendapatkan Aira. Sekarang dia malah nekat menyatakan cintanya kepada Aira melalui Rena, temannya yang juga teman Aira. 

“Pokoknya kamu harus bisa membuat Aira menerimaku. Apapun caranya.” Ancaman  Fadhil benar-benar tidak bisa ditawar lagi oleh Rena. 

***

S

ekarang, Aira bahkan dituduh telah menghabiskan uang jajan Fadhil oleh Riana, salah satu keponakan Fadhil yang judes itu. Dari mana dia tahu hubungan kami? Tanya Aira membatin. 

“Heh! Jangan bengong kamu!” Dengan kasarnya Riana mengibaskan telapak tangannya tepat di depan wajah Aira hingga membuat gadis itu seketika mengerjapkan matanya dan segera tersadar dari lamunannya. Bagaimana mungkin dia masih sempat melamun dalam situasi tak mengenakan seperti ini? Dasar Aira!

“Kamu sengaja mendekati Fadhil dan memanfaatkannya kan?” Biji mata gadis itu melotot sampai mau keluar dari kelopaknya. Jari telunjuk kanannya ditodongkan tepat ke dahi Aira. Sementara tangan kirinya bertengger di pinggang. 

“Siapa juga yang mendekati Fadhil?” Aira menjawab ketus. Dia beranikan diri untuk menatap balik mata Riana yang masih melotot ke arahnya.

“Oh, jadi kamu mau bilang kalau Fadhil yang suka sama kamu, begitu? Dia yang ngejar-ngejar kamu, bahkan sampai merelakan semua uang jajannya ludes setiap hari untuk menyenangkan kamu yang nggak pernah punya uang untuk jajan. Begitu, ha?” Riana hendak mendaratkan jari telunjuknya ke dahi Aira. Tapi dengan cepat Aira menepis tangan yang sedikit gembul itu. Ups.

“Aku tidak bilang begitu, dan aku tidak pernah menerima uang sepeserpun dari Fadhil. Asal kamu tau ya? Aku menerima dia juga karena terpaksa. Camkan itu!” Aira menatap tajam Riana, lalu membalikkan badan dan melangkah  cepat meninggalkan Riana yang masih berdiri di tempatnya sambil berkaacak pinggang.

“Cih! Dasar orang miskin! Sok kecakepan lu!” Riana meludah kasar ke jalan aspal yang kebetulan sedikit berlubang di samping kakinya.

MENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang