Enam

0 0 0
                                    

“Anak gadis itu harus pandai jaga diri, enggak boleh centil sama laki-laki, apalagi ketemuan diam-diam.” Fatia sudah berdiri di samping pintu sambil melipat tangannya di depan
dada. Matanya berputar malas, sedangkan kedua ujung bibirnya ditarik ke belakang. Padahal
Aira baru saja melangkahkan satu kakinya untuk memasuki rumah dari pintu belakang.

“Eh, Mbak? Kok, di sini?” Aira tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Langkah kakinya spontan terhenti. Tangan kanannya mengusap dada untuk meredakan degup jantung yang mendadak menderu. Kaget, malu, ditambah sama takut, karena dia yang
diam-diam bertemu dengan Zidan di bawah pohon rambutan, akhirnya ketahuan juga sama Fatia.

“Emangnya kenapa kalo aku di sini, enggak boleh?” Mata Fatia melotot sampai mau keluar. Untung bola mata itu tidak jatuh. Kalau jatuh, bisa dipatuk ayam kali.

“Ya enggak apa-apa, sih.” Akhirnya Aira berusaha cuek walaupun masih merasa sedikit deg-degan. Duh jan, bisa modar aku. Aira membatin, lalu menepuk jidatnya sendiri sambil meringis.
Fatia masih saja memandang adiknya dengan tatapan sinis. Aira yang menyadari masih ada makhluk mengerikan yang mengawasinya, segera bergegas ke kamarnya tanpa bicara lagi.

***

“Aira, dipanggil Ibu sama Bapak, tuh!” Fatia bersandar pada tiang pintu kamar Aira yang terbuka. Tirai warna merah tua yang tergantung tepat di atasnya, menutupi sebagian pundak kanan perempuan yang bertubuh sedikit gemuk itu.

Aira melepas mukenanya. Dia baru saja selesai salat Magrib dan tilawah.

“Hemmm.” Aira hanya bergumam untuk menyanggupi panggilan kakaknya. Dia sudah menduga hal itu akan terjadi, karena ada manusia yang sudah memergoki perbuatannya. Aira melangkah keluar dari kamarnya menuju ruang depan. Di sana sudah ada Bapak sama Ibu, juga Fatia kakaknya. Mereka seperti sengaja diam menunggu kedatangan tersangka.
Waduh, memang apa yang sudah dilakukan Aira, hingga dia bisa jadi tersangka?

Aira yang seakan-akan sudah tahu posisinya, duduk di kursi kosong yang ada di hadapan bapaknya. Ibunya duduk di sebelah kiri Aira. Sementara Fatia, duduk di kursi sebelah
kanan Aira.

Sekarang mereka sudah duduk saling berhadapan seperti orang-orang kantoran yang akan mengadakan rapat penting. Kursi tamu di ruang depan rumah mereka memang hanya ada
empat kursi. Satu kursi panjang yang diduduki Bapak dan tiga kursi pendek yang menjadi tempat duduk Ibu, Fatia, dan Aira.

“Tadi Mbakmu bilang, katanya kamu habis ketemuan sama orang. Apa betul?” Pak Bakir menatap putri bungsunya.

Aira yang sedari tadi menunduk, melirik ke arah kakaknya yang bukannya merasa bersalah atas kejadian ini, tetapi justru malah berlagak seperti pahlawan perang. Eh, pahlawan kesiangan. Dia menyatukan kuku-kuku jarinya, kemudian menjentik-jentikkannya.

“Aira minta maaf, Pak.” Aira mengangguk pertanda menghormati bapaknya, sekaligus mengakui kesalahannya.

“Kamu sudah besar, Nduk. Kami bukannya menyalahkanmu, tapi ini enggak baik kalau terlalu sering terjadi dan sampai ada orang yang melihat. Nanti dikiranya ngapain?” Tatapan
mata Pak Bakir melembut. Beliau tahu, Aira sangat menjaga nama baik keluarganya.

Sementara Aira, lagi-lagi hanya mengangguk, mengiyakan nasihat bapaknya. Dia tahu, semua ini adalah ulah Fatia, kakaknya. Padahal kan, dia sama Zidan hanya mengobrol di
bawah pohon rambutan. Aira, sih, inginnya juga bisa berlama-lama mengobrol dengan Zidan. Terutama tadi siang. Namun, dia juga harus berusaha mengikat hatinya agar tidak terlalu liar ditumbuhi rasa
yang kian menjalar ke sana kemari.

“Kalo memang dia mau main, datanglah secara baik-baik ke rumah. Ada pintu depan yang bisa dibuka untuknya.” Bapak kembali melanjutnya kalimatnya. Sementara Ibu dan Fatia
masih menjadi pendengar setia.

“Iya, Pak.” Lagi-lagi Aira hanya mengangguk tanda mengerti ucapan bapaknya.

Aira memang beberapa kali bertemu dengan Zidan di belakang rumahnya. Akan tetapi, mereka tidak melakukan perbuatan mesum apa pun. Zidan yang akhir-akhir ini jadi sering main ke rumah Ferdi, sering melihat Aira yang
suka duduk di bawah pohon rambutan yang ada di belakang rumahnya. Lalu, dia mendatangi Aira untuk mengobrol dan sesekali menggoda dengan rayuan gombalnya. Kecuali siang tadi, dia memang sempat berkata serius kepada Aira.

Sebenarnya, Zidan pernah mengungkapkan keinginannya untuk main ke rumah Aira, apel ceritanya. Namun, Aira melarangnya, karena dia merasa tidak enak kepada Fatia kakaknya yang belum punya pacar.

“Ya sudah, yang penting besok jangan diulangi lagi. Kalo mau main, ya, suruh main yang bener.” Aira sedikit berjingkat, tersadar dari lamunannya saat ibunya menimpali kalimat Bapak.

“Iya, Bu.” Aira tidak berani menatap ibunya. Selama ini, dia belum pernah berani melanggar apa yang dilarang oleh ibunya meskipun bisa saja dia melakukannya secara diamdiam tanpa sepengetahuan ibunya kalau dia mau. Namun, tidak.

***

Aira memilih ingkar janji, tidak menemui Zidan demi mematuhi kata-kata ibunya untuk menghargai kakaknya yang lebih tua.

Setelah sidang malam itu, ibunya pernah mengungkapkan keinginannya kepada Aira, saat mereka masih duduk berdua sambil menonton televisi di ruang tengah. Waktu itu, hanya
mereka berdua yang berada di rumah. Bapak belum pulang dari sawah. Sementara Fatia, sedang ke rumah temannya.

“Kasihan mbakmu, dia pasti malu karena adiknya sudah ada yang mendekati,sementara dia yang lebih tua belum ada yang melamarnya. Mengertilah, jaga perasaannya. Ini juga menyangkut nama baik keluarga kita.” Ibunya berkata lirih seakan-akan takut kalau-kalau Fatia pulang dan mendengar kalimatnya. Sementara tangannya lembut menyentuh pundak Aira yang hanya diam mendengarkan kata-kata perempuan yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu.

Aira menghela napas. Dia masih duduk di tepi dipan kayu yang sudah semakin usang itu. Dia yakin, sekarang ini Zidan pasti sedang menunggunya di bawah pohon rambutan di belakang rumah. Kemarin, Zidan memang pernah berpesan. “Tiga hari lagi, aku akan ke sini. Tunggu aku di sini, ya.” Pemuda ganteng itu menatap Aira sembari tersenyum.

Aira menjawab iya, tetapi hanya dalam hatinya, sedangkan yang tampak oleh Zidan hanya bibir manis yang mengulum senyum.

Di belakang rumah Aira, ada pohon rambutan yang daunnya sangat lebat. Di bawah pohon rambutan itu, bapaknya sengaja membuatkannya kursi dari bambu yang disusun seperti rakit berkaki yang muat untuk duduk tiga sampai lima orang sekaligus. Dengan begitu, Aira tak akan lagi nongkrong di pohon rambutan seperti anak monyet.

Tanah yang menghampar di bawahnya, selalu bersih karena Aira rajin menyapu daundaun kering yang gugur setiap sore. Area itu merupakan bagian terakhir setelah Aira menyapu halaman depan, samping, dan menyiram bunga. Setelah itu, dia akan duduk-duduk di sana sambil menikmati angin sore
yang selalu membuai.

“Maaf.” Gadis itu bergumam lirih. Kata itu memang bukan untuk dirinya. Namun, hanya dia yang bisa mendengarnya.

“Eh, Mas Zidan? Lagi ngapain di sini?” Fatia muncul dari pintu belakang rumah menuju kursi bambu yang ada di bawah pohon rambutan. Zidan yang duduk dengan posisi membelakangi arah pintu, menoleh ke arahnya.

“Eh, Mbak? Aira mana?” Pertanyaan yang tidak ingin didengar oleh Fatia, akhirnya keluar juga dari mulut pemuda ganteng itu.

“Aira? Eee, di kamarnya. Lagi enggak enak badan dia.” Fatia menjawab sekenanya.

“Aira sakit?” Zidan melebarkan matanya, memastikan keseriusan kata-kata Fatia.

“Oh, enggak! Bukan, bukan sakit, tapi dia cuma lagi enggak pengin ketemu kamu aja. Iya, tadi dia bilang gitu.” Fatia menggerakkan bola matanya ke sana kemari. Jari telunjuknya
ikut bergerak tak tentu arah.

Zidan menangkap sesuatu yang sedikit aneh. Dia menatap tajam Fatia. Akan tetapi, dia menyimpan kembali kalimat yang hendak diucapkannya. Zidan ingat dengan kata-kata Aira tiga hari yang lalu saat mereka terakhir bertemu di sini.

“Ibuku selalu mengajari untuk menghargai Mbak Fatia, apalagi dia mbakku satusatunya dan kami sama-sama perempuan. Dia lebih tua dariku, jadi aku harus menghormati
dan menghargainya. Yah, meskipun kadang aku suka membantahnya, tapi untuk hal-hal yang sudah dipesankan Ibu padaku, aku enggak berani melanggarnya. Takut dosa.” Begitu kata Aira waktu itu. Untung saja Zidan masih mengingatnya.

“Mas, kok, malah bengong, to?” Kibasan tangan Fatia membuyarkan lamunan Zidan.

“Oh, ya udah, Mbak. Kalo gitu, aku pamit.” Zidan bangkit dari duduknya.

“Salam buat Aira,” lanjutnya, lalu Zidan melangkah pergi.

“Aira mungkin akan pergi kerja. Tapi kalo kamu suka duduk di sini, datanglah kalo sore. Aku juga suka duduk-duduk di sini.” Wah, wah, wah, percaya diri sekali Fatia ini, ya?

“Pergi? Kerja? Ke mana?” Langkah Zidan terhenti. Dia menoleh ke arah Fatia yang tiba-tiba sedikit gugup.

“Enggak tahu. Eh, maksudnya belum tahu mau kerja di mana. Tapi yang jelas, mau pergi.” Fatia menggaruk kepalanya yang mendadak gatal.

“Kapan dia akan berangkat?” Zidan menatap lekat Fatia, berharap mendapat jawaban yang pasti dari perempuan itu. Sementara yang ditatap, malah salah tingkah.

“Ya, belum tahu juga.” Fatia tidak berani membalas tatapan pemuda itu.
Zidan segera melangkah meninggalkan Fatia tanpa bicara lagi.

“Eh, mau ke mana?” tanya Fatia, tetapi tak mendapatkan jawaban. Zidan telanjur pergi dengan rasa yang tidak menentu. Rasa kecewa, khawatir, dan takut, melebur menjadi satu.
Entah mana yang seharusnya dirasa.

***

Diamku bukan untukku,
tapi diamku adalah pilihan yang tak bisa lagi kupilih selainnya. Karna diamku adalah baktiku
Namun, karena diamku juga,
ada bagian yang harus pergi
bahkan mungkin hilang ....

MENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang