Tujuh

2 0 0
                                    

Sore yang ramah. Matahari tersenyum menyapa dengan panasnya yang tak lagi menyengat. Dersik ikut bernyanyi mengiringi langkah Aira memasuki halaman rumahnya. Aira baru saja bertemu dengan sahabat SMA-nya yang terpisah sejak kelulusan mereka
pada Mei 1999, Okta. Dia baru pulang dari rumah kakaknya yang ada di Jambi.

Siang tadi Aira meminta izin kepada ibunya untuk main ke rumah Okta yang hanya selisih beberapa desa saja dari desa mereka. Gadis itu sengaja memilih naik angkot saja ke rumah Okta, sekalian nostalgia pikirnya.

Tiba-tiba langkah kaki Aira terhenti, dia mendengar ada yang menangis di dalam rumahnya. Ternyata Fatia yang menangis. Mbak Fatia? Kenapa dia nangis? Ada apa, ya? batin Aira sembari mempercepat langkahnya untuk memasuki rumah yang pintunya sedikit terbuka. Akan tetapi, kemudian dia segera menahan kakinya.

“Aira itu keterlaluan, Bu. Dia enggak ngerti perasaanku.” Deg, jantung Aira berdegup saat mendengar namanya disebut oleh Fatia. Ditambah kata keterlaluan pula di belakangnya.

Aira mengendap-endap mendekati daun pintu dengan sangat hati-hati, lalu memiringkan kepalanya, memasang telinga mendekati celah pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya tegang, matanya melebar dengan gaya khas orang yang sedang menguping. Dia
berusaha mendengarkan dengan saksama apa yang dikatakan oleh orang-orang yang ada di dalam.

“Sabar, Nduk. Nanti Ibu akan coba bicara sama adikmu. Udah, jangan nangis.” Terdengar suara Ibu yang berusaha menenangkan anaknya.

Dasar, air mata buaya! Aira mengumpat, tetapi hanya di dalam hati.

“Bener, ya, Bu. Nanti Ibu ngomong sama Aira?” Suara Fatia berubah jadi semringah, isak tangisnya pun terhenti.

Aira menggembungkan kedua pipinya hingga seperti orang yang sedang sakit gigi kanan-kiri. Tangan kanannya dilipat di depan dada, sementara tangan kirinya dilipat ke atas dengan siku yang bertumpu pada punggung tangan kanan. Jari telunjuk kiri diacungkan ke atas menyentuh mulutnya, seperti sedang memberi isyarat kepada seseorang untuk diam. Itu kebiasaan Aira saat dia sedang berpikir keras.

Aira masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya tentang dia tidak mengerti perasaannya. Perasaan apa?

Aira memilih menunggu adegan berikutnya. Namun, ternyata hingga beberapa saat lamanya tak ada lagi suara. Tangan Aira sudah hendak mendorong daun pintu agar terbuka
lebih lebar dan dia bisa masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, dia kembali mendengar seseorang bicara. Akhirnya, gadis itu mengurungkan niatnya.

“Seperti apa, to, si Zidan itu? Kok, sampai anak Ibu bisa kesengsem dua-duanya?”

Kepala Aira rasanya seperti dipukul dengan kursi kayu sampai kursi itu hancur berserakan. Jantungnya bertalu tak tentu. Darahnya berdesir, hingga tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya. Zidan, nama yang membuat keanehan itu terjadi, saat Ibu menyebutnya dalam sebuah kalimat.

Aira membungkam mulutnya sendiri yang menganga agar tidak sampai mengeluarkan suara. Gadis itu masih berusaha untuk menahan diri. Dia ingin masuk pada saat yang benar-benar tepat. Bukan hanya tentang ibunya, tetapi juga Fatia. Kakaknya itu? Aira jadi gemas
ingin menjambak rambut keriting kakak perempuan satu-satunya itu.

Kakak, kok, kayak gitu! Aira mengumpat kesal dalam hatinya.
Dia ingin mengumpulkan bukti yang membuat Fatia tidak bisa mengelak dan mengarang cerita untuk menjatuhkan dirinya di depan ibunya. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi.
Namun, dia sudah mendengarnya sendiri tadi. Ibunya bahkan lebih membela Fatia daripada dia. Apakah ini yang dinamakan pengkhianatan bersambut? Entahlah.

“Zidan itu ganteng, lho, Bu. Sikapnya dewasa. Dia juga pinter nyanyi, suaranya bagus banget. Aku suka, Bu.” Fatia senyum-senyum sendiri. Sementara Aira meremas ujung jilbabnya yang dibiarkan terurai ke depan. Giginya gemeletuk ingin mengunyah es batu yang berbentuk kepala Fatia, kalau ada.

Aira melangkah melewati gawangan pintu setelah tangannya mendorong daun pintu sedikit kuat, tepat saat Fatia baru saja selesai mengucap kalimatnya.

Fatia dan Ibu spontan berjingkat, lalu menatap ke arah Aira dengan tatapan tidak enak. Sementara Aira, sengaja berdiri mematung di dekat kursi tempat mereka duduk. Dia ingin
menikmati reaksi keterkejutan mereka berdua. Tangannya yang terkepal tertutupi oleh lengan bajunya yang panjang. Rahangnya mengeras, tetapi dia berusaha menata wajahnya agar datar.

“Eh, Aira? Kamu sudah pulang, Nduk?” Ibu menyapa Aira dengan mimik sedikit gugup. Sementara Fatia, melipat bibirnya ke dalam, seperti ingin menelan kembali kalimat yang sudah telanjur diucapkannya tadi, agar Aira tidak mendengarnya.

Aira tidak menjawab pertanyaan ibunya. Dia segera berlalu meninggalkan mereka berdua menuju ke kamarnya. Pintu kamar dikuncinya rapat. Gadis itu menghempaskan
tubuhnya ke kasur busa tipis yang melapisi dipan kayu berwarna cokelat. Embun yang menutupi matanya kini telah berubah menjadi hujan yang membanjiri pipi. Perih. Rasa di dadanya seperti disayat dengan pisau tajam, lalu disiram dengan air cuka yang pedas dan asam.

Lagi-lagi, dia harus kuat menahan rasa sakit yang sangat, yang bahkan berasal dari dua orang perempuan yang sama-sama tinggal dalam satu rumah dan memiliki darah yang sama dengannya. Bahkan, yang satu adalah orang yang telah mengalirkan darahnya demi terlahirnya dia ke dunia ini.

"Nduk, buka pintunya!” Aira membuka mata. Tangannya memegang kepala yang terasa berat.

“Aira, Nduk, Ibu mau bicara sama kamu.” Ternyata Ibu sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar gadis itu.

Aira yang tadi sempat terlelap perlahan bangun dan berjalan ke arah pintu kamarnya. Ibunya yang sudah berdiri di depan pintu, melangkah menuju dipan dan duduk di tepinya.

“Sini, Nduk!” Tangan yang terlihat jelas mulai keriput itu melambai ke arah Aira yang masih berdiri di dekat pintu. Memberi isyarat kepada Aira untuk duduk di sampingnya.Aira mendekat tanpa suara. Bahkan, masih dengan patuhnya dia duduk di samping sang
ibu. Ia masih menyembunyikan rasa kecewa terhadap perempuan setengah baya yang sangat disayangi dan dihormatinya itu.

“Nduk, kamu sudah besar, kamu sudah boleh mulai mengenal laki-laki. Tentu dengan cara yang baik dan tidak membuat malu dirimu dan orang tuamu.” Ibu dua anak itu menatap
sang putri bungsu yang duduk di sampingnya.

Aira menunduk, berusaha mencerna kalimat ibunya. Untuk siapa kalimat itu? Dia? Atau ada yang lebih pantas untuk menerimanya selain dia? Aira diam, dia masih menunggu ibunya
untuk mengucapkan kalimat berikutnya.

“Tapi kakakmu sudah jauh lebih dewasa dari kamu. Terutama pada umurnya. Kasihan kalau dia didului.” Tangan perempuan yang hampir paruh baya itu mengusap punggung putrinya yang masih bergeming.

Mata Aira masih kosong dan berembun, kemudian luruh menjadi gerimis di pipi. Dia bingung, sebenarnya apa yang Fatia dan ibunya pikirkan? Apa pula yang terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah harus berpikir sejauh ini, sementara antara dia dan Zidan bahkan masih malu untuk saling menatap? Tepatnya, Aira yang malu meskipun Zidan memang pernah mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya seakan-akan berhenti berdetak.

Apakah Fatia, kakaknya benar-benar tidak laku, hingga dia harus merebut pemuda yang membuat dirinya hampir gila karena menahan rasa bahagia sekaligus takut?

Aira bergeming, lalu menarik napas panjang, kemudian diembuskannya perlahan. Namun, meskipun sudah perlahan, ternyata masih saja didengar oleh ibunya.

“Nduk, maafkan Ibu, ya. Ibu tahu, kamu anak Ibu yang paling cantik, sholehah, pintar, kuat, dan sangat menghargai perasaan orang lain. Terutama saudaramu sendiri. Oleh karena
itu, Ibu memohon ini padamu, bukan memohon kepada kakakmu untuk mengerti kamu. Kamu paham, kan, Nduk?” Bu Daniyah mengusap rambut lurus Aira yang hitam lebat sebahu.

Aira tidak menjawab. Dia masih belum tahu harus bicara apa. Hanya bola matanya yang sesekali bergerak. Sebentar melirik Ibu yang duduk di sampingnya, saat beliau bicara.
Sesekali, menatap bayangan mata teduh Zidan.

Pada akhirnya, Aira memilih diam sebagai jawaban. Karena diam adalah lebih baik, daripada berbicara dan salah. Begitu dia mengingat sebuah pepatah yang pernah didengar
dahulu ketika masih sekolah. Akan tetapi, dia lupa entah siapa yang mengucapkannya.

“Aku mau mandi dulu, Bu.” Aira ingin mengakhiri kebingungannya dengan guyuran air sumur yang dingin. Membiarkan busa dan aroma sampo serta wangi sabun mandi batangan
saling bercerita tentang guyuran air yang nantinya akan membawa mereka ke comberan. Air adalah unsur setia yang kadang pro, kadang juga kontra. Aira cukup menjadi pendengar sambil menata hatinya yang nanti entah harus dibawa kemana.

Benar saja. Tiba-tiba, di kepala Aira muncul ide. Ah, terima kasih sampo, terima kasih sabun, terima kasih air. Kalian memang hebat. Aira memuji teman-teman barunya dengan mata yang masih terpejam menikmati semua kepedihan karena ulah si Busa yang mencumbu matanya.

***

“Jika aku boleh egois,
aku bisa saja memilih bertahan
untuk sebuah rasa yang kupunya.
Tapi itu jelas, bukan aku.
Karena aku hanyalah bentuk
dari ketidakpedulian atas hati
yang dimiliki oleh diri ini.
Entah demi apa.
Yang jelas,
bukan demi sebuah kekalahan.”

MENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang