Sambil mengendap-endap, Aira menyibak sedikit tirai pintu ruang tengah ke ruang tamu pelan sekali. Kemudian, bola matanya dipasangkan di celah itu.
Seorang pemuda berambut cepak, mengenakan kaus oblong hitam, duduk sambil menunduk di kursi tamu yang posisinya membelakangi pintu kamar Aira.
Aira melangkah pelan sambil memegangi dadanya dengan tangan kiri. Berharap degup jantungnya yang seperti beduk tidak menimbulkan suara yang dapat terdengar oleh tamu
misterius itu.
Gadis itu menghentikan langkah, lalu memiringkan kepalanya tiga puluh derajat ke kanan, matanya menelisik wajah yang hanya tampak dari samping itu.
“Baaa!” Spontan Aira melompat, matanya membelalak lebar, mulut gadis itu menganga, jantungnya terasa mau loncat keluar dari tubuhnya. Dadanya sakit. Badannya terasa
lemas karena rasa kaget yang luar biasa.
Tubuh Aira luruh ke lantai dingin yang berwarna abu-abu kehitaman itu. Gadis itu memeluk lututnya yang gemetar sambil menghela napas beberapa kali. Dia berusaha mengatur laju udara yang keluar masuk dari hidung dan mulutnya.
“Uhuk, uhuk.” Beberapa kali Gadis itu terbatuk sambil tangan kanannya mengusapusap dada yang terasa sedikit sesak.
“Mas Ferdi!” Aira bangkit dari duduknya. Dia berteriak sambil mengayunkan kepalan tangannya ke arah Ferdi yang tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Aira.Hampir saja kepalan tangan mungil mengenai kepala pemuda itu jika saja dia tidak menghindar secepat mungkin.
“Kaget, ya? Maaf, maaf.” Ferdi menyatukan dua telapak tangannya di depan dada seperti orang menyembah, sembari menahan tawa yang masih ingin membahana.
Aira memonyongkan bibirnya ke arah Ferdi, geregetan ingin memukul pemuda itu dengan tinjunya. Namun, gerakan tangannya tertahan saat ada seseorang yang tiba-tiba sudah
berada di depan pintu, hendak melangkah masuk ke rumah itu tanpa suara.Mata Aira melebar enggak kira-kira, hingga maniknya nyaris keluar. Dua telapak tangannya segera menutup mulut yang menganga tanpa komando. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Rasanya dia ingin pingsan saja, tetapi ternyata tak bisa. Karena hatinya kelewat bahagia.
Beberapa detik Aira diam terpaku dengan pose yang benar-benar absurd. Senyum pemuda pemilik rambut lurus sedikit gondrong itu benar-benar telah menghipnotis Aira. Aira benar-benar syok, kaget, sekaligus senang, bahagia, campur bingung. Entahlah, perasaan apa itu namanya.
“Woy!” Ferdi menjentikkan dua jarinya ke wajah Aira.
“Kayak enggak pernah lihat setan aja,” lanjutnya sambil melirik ke arah orang yang membuat Aira syok itu.
“Sembarangan! Dia syok karena lihat orang ganteng tahu!” Pemuda yang baru masuk itu mendorong kepala Ferdi dengan dua jarinya.
Aira yang baru sadar kalau dirinya jadi bahan olok-olokan, pura-pura bersikap biasa. Aira … kenapa kamu ini, ha? Bikin malu aja kamu! Rahang gadis itu mengeras saat giginya gemeretak sambil membatin jengkel pada dirinya sendiri. Konyol! lanjut batinnya mengumpat.
Aira duduk di kursi samping Ferdi, menyusul pemuda gondrong yang sudah lebih dahulu duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Sesaat tidak ada yang bersuara.
“Kok, jauhan gitu duduknya? Situ, geh, duduk bareng! Biar kelihatan akur.” Ferdi menunjuk kursi panjang di hadapannya yang kosong.
Aira dan pemuda itu sama-sama menatap Ferdi, lalu mata mereka bertemu di satu titik. Disusul dengan suara degup jantung masing-masing.Aira mengalihkan pandangannya ke
luar jendela. Kenapa dari tadi enggak lihat dia? Emang tadi dia ke mana? Kenapa baru masuk ke rumah? Padahal Mas Ferdi udah di sini dari tadi. Pikiran Aira sibuk dengan kejadian barusan
yang membuat bingung. Keningnya mengerut seperti orang tua.
“Dia tadi lagi ke sumur, sekalian ngintip kamu.” Tangan Ferdi menunjuk ke arah Zidan. Dia seperti tahu apa yang dipikirkan oleh gadis kecil di sampingnya.“Sembarangan!” Aira dan Zidan menyahut berbarengan sambil sama-sama melotot ke arah Ferdi, lalu mereka kembali saling diam.
“Cieee, bisa kompakan gitu jawabnya?” Ferdi cengar-cengir sambil memandang ke arah Aira dan Zidan bergantian.
“Apa'an, sih?” Aira menyipitkan mata sembari merengut, lalu dia melengos seperti anak kecil.
“Pulang, ah! Daripada di sini, jadi obat nyamuk bakar? Lama-lama bisa habis gue.” Ferdi bangkit dari duduknya hendak melangkah ke luar. Kakinya menendang kaki Zidan yang kemudian meringis kesakitan.
“Mau ke mana lo?” Zidan mengerutkan dahi ke arah sahabatnya.
“Pulang, lah! Ngapain di sini? Udah, lanjut! Eggak usah sok lugu gitu napa?” Ferdi mengibaskan tangannya di depan wajah Zidan sambil melirik ke arah Aira yang hanya diam menyaksikan ulah mereka berdua.
“Dih! Sembarangan lo. Emang gue masih lugu?” Zidan ganti menendang kaki Ferdi yang kemudian juga meringis, lalu keluar dari rumah Aira begitu saja.
Zidan menatap lekat wajah gadis di hadapannya. Menikmati setiap lekuk yang membuat gadis itu tampak begitu sempurna di matanya. Senyum bahagia yang paling manis dia berikan kepada gadis kecilnya yang sangat dirindukannya.
Jika saja boleh, inginnya dia merengkuh gadis itu ke dalam pelukan. Membelainya dengan kasih dan sayang yang selama ini belum pernah dia rasakan dengan mantan-mantan
sebelumnya yang bahkan rata-rata usianya di atas Aira.
Namun, entah kenapa, dia selalu merasa kecil di hadapan gadis kecil ini. Gadis ini tampak terlalu bersih dan sempurna untuk dikotori oleh tangannya. Dia sangat menyayanginya, sekaligus sangat ingin menghargainya. Alhasil, Zidan sering kali hanya merasa gemas sendiri saat melihat Aira tersipu karena tatapannya, seperti sekarang ini. Ih, gemes. Pengin peluk.
Sembarangan!
Aira melirik ke arah Zidan dengan degup jantung tak beraturan saat pemuda itu bangkit dan berpindah duduk di kursi yang ada di sampingnya.“Kangen.” Zidan menatap Aira sambil tersenyum.
Gadis yang ditatapnya kebingungan. Antara harus menahan rasa malu, bahagia, rindu, dan takut, atau harus membalas senyum yang membuat jantungnya semakin kuat berdegup
seperti suara beduk yang ditabuh bertalu-talu. Akhirnya, gadis itu hanya tersipu, sedangkan maniknya bermain ke sana kemari, salah tingkah.
“Kok, pulang?” Aira memberanikan diri menatap Zidan meski lututnya gemetaran.
Zidan tersenyum menatap gadisnya. Aira cepat mengalihkan pandangan. Takut atap rumahnya keburu runtuh karena getaran jantungnya.
“Kamu, kenapa pulang?” Zidan mengulangi pertanyaannya, lalu menaikkan alis hingga keningnya berkerut seperti bapak tua.
“Ibuku sakit.” Aira menunduk. Bola matanya mengikuti gerak kaki yang mengayun di bawah sana.
“Ibu sakit? Sakit apa? Terus sekarang, gimana?” Wajah Zidan berubah serius. Dia beringsut dari duduknya dan mendekati Aira.
“Tensi darahnya naik. Alhamdulillah, sekarang sudah mulai turun.” Aira masih menunduk, tidak berani lagi membalas manik Zidan yang masih lekat menatapnya.
Ibu? Sebutan Zidan pada ibunya membuat dia ingin mengulum senyum bahagia, tetapi diurungkannya, takut ketahuan sama Zidan.
“Sekarang, Ibu di mana? Aku boleh lihat, enggak?” Tangan Zidan hendak meraih tangan mungil Aira, tetapi segera ditahannya. Tangan itu bahkan terlalu berharga untuk disentuhnya sekarang. Nanti, jika sudah waktunya.
“Di kamar, tapi tadi lagi tidur. Takut nanti malah keganggu karena barusan aja tidur.” Aira menyipitkan mata, lalu menunduk. Merasa tidak enak melarang niat baik Zidan. Namun,
dia juga belum berani membiarkan Zidan memberikan perhatian lebih pada ibunya. Belum waktunya. Begitu pikirnya.“Oh, ya udah. Semoga Ibu cepat sembuh, ya.” Zidan hanya tersenyum menangkap air muka Aira yang tampak kaku. Dia tahu, gadis kecilnya masih canggung dengan hubungan
mereka.
“Ai, aku boleh enggak minta sesuatu ke kamu?” Zidan menatap serius wajah Aira.
“Minta apa?” Mata Aira melirik ke Zidan.
“Aku pengin denger langsung jawaban kamu.” Mata pemuda itu meredup penuh harap.
Beberapa detik napas Aira tertahan. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Mati aku! batin Aira.
“Kenapa?” Ternyata Zidan tengah mengamati tingkah konyol gadis kecilnya itu.
“Eh, enggak apa-apa, kok.” Aira hanya meringis menutupi kebodohannya sendiri.
“Ya udah, jawab dong. Aku ulangi, deh.” Zidan sengaja menggoda Aira. Dia tahu, gadis itu sangat gugup sekarang.
Aira semakin gelisah dalam diamnya. Beberapa kali dia beringsut membenarkan posisi duduk. Sementara Zidan hanya tersenyum mengamati tingkahnya.
“Aira.” Zidan sengaja menyapa gadis itu.
“Hmmm.” Hanya itu yang keluar dari bibir Aira yang gemetaran.
“I love you.” Mata Zidan mengerling genit. Aira merasakan tubuhnya seperti kesetrum. Namun, sebisa mungkin dia bertahan agar badannya tidak oleng.
Mereka saling diam beberapa saat. Aira menunduk sambil memainkan jarinya. Sementara Zidan menatap setiap sudut wajah gadis itu dengan maniknya. Asyik sekali dia berselancar di atas kegugupan gadis kecilnya yang begitu menggemaskan, meski jantungnya
juga berdebar hebat menunggu bibir Aira melontarkan kata iya untuknya.
Lama keduanya terdiam tanpa suara, lalu Aira membenarkan posisi duduknya.
“Maaf.” Satu kata yang membuat Zidan bengong.“Aku, aku enggak bisa.” Gadis itu tak berani menatap mata Zidan.
“Enggak bisa? Enggak bisa ... gimana? Enggak bisa jawab?” Zidan melebarkan kedua matanya.
Aira hanya menggeleng.
“Terus?” Zidan mengerutkan dahinya tak mengerti.
“Ya ... enggak bisa.” Aira masih menunduk.
“Ya ... enggak bisa, apa?” Zidan mulai bingung dan terpancing.
Aira diam. Zidan menatapnya tajam. Wajahnya berubah menjadi serius.
“Enggak bisa apa, Ai?” Suara bujang ganteng itu mulai meninggi.
“Aku ... enggak bisa ... enggak bisa nolak.” Aira membuang pandangannya ke samping sambil tersenyum lebar.
Sontak, Zidan menarik kedua ujung bibirnya, lalu matanya mendelik ke arah Aira. Sementara tangannya terulur hendak meraih pipi gadis itu, tetapi telapak tangannya justru
mengepal.Dia ingin sekali meremas pipi dan mencubit hidung mancung yang ada di hadapannya. Namun, lagi-lagi dia harus menahan demi menghargai gadis kecilnya yang sangat dia sayangi.
Akhirnya hanya napas yang ditarik kemudian dia embuskan perlahan sambil mengembangkan senyum lebar ke arah Aira yang tersenyum puas karena berhasil mengerjai
Zidan.
Duh, Aira, kamu bikin geregetan aja, deh, batin Zidan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANG
RomanceAira pernah mengalami trauma pada masa lalu, hingga datang sosok Zidan--pemuda ganteng yang akhirnya berhasil membuat gadis itu jatuh cinta. Namun, pada saat hampir bersamaan, orang tua Aira justru tidak bisa menolak Arya--pemuda kaya dan baik hati...