“Halo.” Sejenak, pemuda yang memiliki hidung mancung itu terpaku tanpa suara.
Seutas senyum manis menggurat di bibirnya. Tangannya tampak sedikit gemetar. Mungkin, gara-gara degup jantung yang terlalu kuat dan tak beraturan, memaksa ikut menyambut
datangnya suara dari seberang sana.
Dia yang berdiri di bilik wartel yang buka di sebelah timur perempatan pasar itu menarik napas panjang, lalu diembuskannya perlahan. Sepertinya, dia ingin menikmati sebuah alasan yang membuatnya menghela napas lega.
“Halooo ....” Suara dari seberang terdengar sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Mungkin karena terlalu lama menunggu jawaban dari si penelepon.
“Iya, halo, Aira ....” Akhirnya, pemuda yang sedang memburu cinta gadis kecilnya itu bisa memanggil nama yang sangat dirindukannya langsung pada pemiliknya. Bukan kepada orang-orang yang akhir-akhir ini dia temui demi mencari keberadaan gadis kecilnya ke sanakemari.
Kemarin, beberapa kali dia menelepon ke nomor yang diberikan oleh istri Paman Zaelani tempo hari. Namun, ternyata itu adalah nomor toko serba ada tempat Aira bekerja.
Pegawai yang kebetulan bertugas di bagian customer servicemenyampaikan bahwa nomor tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi karyawan.
Dengan perundingan yang cukup alot, akhirnya Zidan berhasil mendapatkan nomor telepon yang ada pada data karyawan atas nama Aira Nabila yang ternyata adalah nomor telepon rumah kakaknya Okta.Meskipun dia harus berbohong, dengan mengatakan bahwa dia adalah kakaknya Aira yang akan menyampaikan kabar penting dari orang tua Aira di Lampung. Aduh Zidan, Zidan.
Kebetulan, kakak Okta dan istrinya adalah orang yang baik. Mereka mengizinkan Aira tinggal sementara di rumahnya bersama Okta, sampai Aira bisa menyewa kamar indekos sendiri.Mereka juga yang memasukkan Aira ke toserba tersebut, atas permintaan Okta. Meskipun, Aira harus mengajukan surat lamaran lebih dahulu dan mengikuti prosedur yang ada, hingga
akhirnya diterima.“Mas Zidan? Dari siapa dapet nomor ini?” Dada Aira bergemuruh. Aneka rasa menyeruak bersamaan. Senang dan sedih bercampur jadi satu.
Kebetulan, tadi yang pertama mengangkat telepon adalah Okta. Okta sudah bertanya lebih dahulu pada si penelepon tentang identitasnya.
“Aira, kenapa kamu nekat pergi?” Aira bergeming tanpa suara. Dia hanya bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang berpacu lebih cepat sejak dia memegang gagang telepon tadi.
Tubuhnya yang mungil ia sandarkan pada dinding bercat putih gading yang dihiasi gorden berwarna abu-abu muda pada setiap bingkai pintu yang ada di ruangan itu.Tangan kanannya yang menggenggam erat gagang telepon tampak gemetar. Sementara tangan kirinya memegang kabel telepon yang tersambung dari bagian bawah microphone ke dialer yang bertengger di atas meja kecil di sudut ruang tengah itu.
Gadis cantik itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
“Ya karena aku ingin kerja, lah. Emang kenapa?” Suara Aira terdengar bersungut.
Dasar Aira. Dia masih saja matian-matian menjaga gengsi di hadapan pemuda yang sebenarnya
sangat mengganggu hatinya itu.
“Oke, tapi kamu enggak bisa, dong, seenaknya ninggalin aku gitu aja?” Zidan yang selama ini mencari keberadaan gadis itu sampai capek, sedikit menaikkan nada suaranya.
“Seenaknya? Gitu aja? Emang kita ada urusan apa?” Sebenarnya bukan itu yang ingin Aira katakan.Namun, ada banyak alasan yang membuatnya harus bersikap keras kepala tanpa mengacuhkan getaran yang semakin kuat dalam hati kecilnya.
Lagi-lagi, gadis itu terlalu angkuh dengan rasa yang dimilikinya. Atmanya selalu luruh mengalah pada bisikan-bisikan yang mengingatkannya kepada banyak wajah.
Zidan mengulum senyum getir di seberang sana. Dia tahu, Aira juga menyukainya. Akan tetapi, gadis kecilnya itu memang terlalu liar untuk ditaklukkan. Ibarat kuda betina yang
amat lincah dan terlalu cerdik, sehingga tali kekang yang sudah di depan mata sekalipun, masih
sulit untuk diraihnya. Pemuda itu perlu mengatur ulang strateginya.
“Oh iya, jadi kamu tinggal di rumah kakaknya Okta, bareng Okta juga? Syukurlah kalo gitu.” Zidan membuat jeda dengan kalimat tanya yang dijawab sendiri.“Kemarin aku nemuin Paman Zaelani yang mengantar kamu ke terminal bus. Untung aja dia orangnya baik, ya? Pas aku bilang mau serius sama kamu, aku terus dikasih nomor toko tempat kamu kerja. Dari sanalah aku dapet nomor ini. Aira, aku butuh jawaban kamu sekarang. Tolong, bersikaplah dewasa. Kamu sudah besar, kamu sudah punya hak untuk dicintai dan mencintai. Jangan terus-terusan melawan hatimu sendiri. Kasihan hatimu. Nanti bisa gosong, lho, kalo dibiarin terus?” Zidan mulai melancarkan aksinya.
Untung saja, dia menelepon di jam hemat, jadi angka yang berjalan di layar yang menempel pada bilik wartel di hadapannya itu tidak berlari terlalu cepat meninggalkan isi dompetnya.
Aira hanya menyimak penuturan pemuda itu. Tanpa terasa matanya mengembun. Ia mengerjap beberapa kali, lalu bulir itu pun terjatuh dari sudutnya.Tubuhnya luruh dan kini terduduk di lantai keramik yang berwarna putih. Kemudian, matanya menangkap jarum hitam yang berdetak melewati angka sembilan yang ada di dalam lingkaran berwarna biru muda.
“Udahlah, udah malam. Besok lagi. Enggak enak sama kakaknya Okta.” Aira mengeluarkan jurus andalannya, melarikan diri. Padahal, malam itu dia hanya berdua di rumah karena kakaknya Okta dan istrinya sedang menengok ibu mertuanya yang kabarnya sedang sakit.
“Tunggu dulu! Aira!” Zidan menyela cepat.
“Apa lagi?” Suara Aira sok terdengar malas. Padahal, dia mengulum senyum, sedangkan hatinya merayakan kemenangan karena Zidan menahannya. Gadis itu sengaja bermain kata untuk mempertahankan harga diri.
“Aira, kamu enggak boleh egois gitu, dong? Enggak adil kalo kamu terus menggantung aku kayak gini. Aku cuma pengin dengar kamu bilang iya, dari hatimu. Itu aja.” Zidan mulai
kehabisan akal. Mendesak Aira, akhirnya itulah keputusan akhir yang diambilnya.Terdengar gadis kecilnya menghela napas di seberang sana. Sementara mata Zidan mampir lagi ke layar
monitor. Bodo amat! batinnya.
Lama, tidak ada yang bersuara. Hanya detak jantung dan jam dinding yang berada tepat di atas meja kasir berebut untuk saling mendahului.
“Aira, please ....” Zidan melembutkan suaranya.Andai saja gadis itu ada di dekatnya, ingin sekali dia merengkuh dalam peluknya sembari meyakinkan bahwa dia memang berhak dan pantas untuk dicintai dengan sepenuh hati.
Aira, yakinlah. Aku tak mungkin akan menyia-nyiakan permata sepertimu. Lihatlah, betapa aku tak lagi peduli pada yang bernama harga diri. Karena yang terpenting bagiku adalah menjadikanmu sebagai dermaga terakhir tempatku berlabuh. Pemuda itu memejamkan matanya yang terasa sedikit perih.
Sementara di seberang sana, gadis yang sudah mengenakan kaus oblong kuning dan celana panjang batik karena tadi sudah bersiap tidur, beberapa kali berusaha mengatur napasnya.Tangan kirinya mengusap dada yang seumur hidupnya baru kali ini berdegup sekencang itu. Sungguh, ini sangat sulit untuk dikendalikan. Sesulit bibirnya berkata “ya” untuk pemuda yang menggetarkan hatinya. Namun, dia juga tak rela untuk menjawab “tidak”.
Aira menarik napas sangat panjang, sampai dada dan bahunya terlihat naik.
“Ya, kita coba.” Sejurus kemudian, dia tercekat sendiri.Sementara di seberang sana, ada yang sedang merayakan hajatan. Eh, maksudnya kemenangan.
Usahamu, pantas kuhargai. Aira membatin dalam seringainya. Ah, Aira, kamu munafik sekali terhadap dirimu sendiri. Padahal, kamu juga suka, 'kan? Apa kamu terlalu takut? Atau gengsi?
“Yess!” Zidan mengangkat tangannya yang mengepal, lalu menariknya ke bawah sembari mengembangkan senyum terlebarnya.
“Aira, terima kasih, ya. Terima kasih karena telah memberikan kepercayaan padaku untuk mengisi kekosongan hatimu.” Suara Zidan melembut dan terdengar sangat merdu di telinga Aira.
Aira hanya menjawab dengan senyuman yang tentu saja tidak terlihat oleh Zidan. Akan tetapi, pemuda itu mungkin bisa merasakan biasnya di sana.
“Assalamu'alaikum.” Aira lalu meletakkan gagang telepon itu pada tempatnya yang sedari tadi hampa.Gadis itu sempat menangkap bayangan Okta yang menyelinap masuk ke
dalam kamar dan segera naik ke kasur untuk pura-pura tidur.
***Pernah tidak,
kamu merasakan
seperti sedang menunggu kuncup-kuncup bunga mawar
yang hampir bermekaran di taman
sehabis hujan.
Sedang wanginya mulai semerbak menjalar
Indah bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANG
RomanceAira pernah mengalami trauma pada masa lalu, hingga datang sosok Zidan--pemuda ganteng yang akhirnya berhasil membuat gadis itu jatuh cinta. Namun, pada saat hampir bersamaan, orang tua Aira justru tidak bisa menolak Arya--pemuda kaya dan baik hati...