Delapan

1 0 0
                                    

“Aku mau pergi kerja.” Aira membuka pembicaraan, setelah beberapa saat mereka saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah Aira ditegur oleh Ibu dan bapaknya. Zidan, pemuda bertubuh jangkung dengan rambutnya yang sedikit gondrong itu tidak kehilangan akal untuk menemui Aira.

Kemarin, Aira memang ingkar janji untuk menemuinya. Sebagai gantinya, Fatia yang datang menemui dia. Namun sayang, Zidan adalah pemuda desa yang cerdik. Justru kedatangan
Fatia menjadi petunjuk baginya. Akhirnya, dia tahu bahwa Aira tidak ingin mengingkari janji, tetapi ada seseorang yang membuat gadis itu mengambil keputusan untuk tidak menemuinya.

Zidan sengaja menginap di rumah Ferdi malam itu. Saat Aira pulang dari masjid setelah salat Magrib, Zidan mencegatnya di depan rumah Ferdi. Awalnya, Aira tidak menghiraukan
Zidan dan terus berjalan untuk pulang. Namun, Zidan terus mengikuti. Zidan bahkan mengancam akan membuntuti Aira hingga ikut ke kamarnya jika Aira tidak mau bicara dengannya. Akhirnya, Aira menyerah. Dia memberi waktu sepuluh menit kepada Zidan untuk bicara.

Di teras rumah Ferdi, ada dua kursi unik dari bambu dan sebuah meja bundar kecil. Di sana mereka duduk dan bicara.

“Kamu mau pergi? Kerja? Kerja di mana, Ai?” Zidan melebarkan sedikit matanya sambil mendekatkan wajah ke arah Aira. Ai? Ya, Ai adalah panggilan khususnya untuk gadis kecilnya itu.

Gadis kecilnya? Sejak kapan? Sejak pertemuan terakhir mereka saat Fatia memergoki dan melaporkannya kepada orang tua mereka. Waktu itu Zidan menyatakan cinta kepada Aira.

“Aira, aku suka kamu.” Pemuda yang sudah dewasa itu menatap lekat wajah Aira dari samping. Spontan Aira menatap ke arah pemuda yang usianya terpaut sekitar tujuh tahun darinya.
Lalu, dia kembali menunduk. Matanya menyapu akar pohon rambutan yang tampak seperti gundukan-gundukan tanah memanjang dari pohon sampai ke bawah kursi bambu yang mereka
duduki. Kadang ada yang kelihatan seperti ular tanah dengan warna cokelat kehitam-hitaman, meliuk-liuk di antara akar-akar besar yang menyembul di permukaan tanah.

“Maaf, aku enggak bisa ngerayu.” Zidan menggaruk hidungnya dengan jari telunjuk. Entah mengapa tiba-tiba indra penciumannya itu terasa gatal.

Hmmm, waktu itu kata-kata gombalannya setinggi tumpukan baju yang baru diangkat dari jemuran, batin Aira ketika mengingat hari itu.

Apa dia itu bunglon? tanya Aira dalam hatinya. Bola mata Aira melirik ke arah Zidan, lalu kembali ke tanah itu lagi. Namun, sudah sempat tertangkap oleh mata pemuda itu yang sesekali mencuri pandang ke wajah cantik Aira.

Aira lah yang membuat dia rela datang jauh-jauh. Padahal, mereka bertemu hanya di bawah pohon rambutan.

“Tapi, ya, aku adanya cuma kayak gini.” Zidan memandang tubuhnya sendiri yang mengenakan kaus oblong putih andalan. Lagi-lagi, dipadu dengan celana jeans biru muda yang
juga dipakai waktu pertama kali dia menemui Aira di dekat pagar halaman depan rumah Aira.

Aira memang bisa merasakan perilaku Zidan, bahwa pemuda itu ada hati padanya. Akan tetapi, dia tidak ingin terlalu cepat menyimpulkan perasaannya sendiri. Aira juga tidak
menyangka jika pemuda itu akan begitu cepat menyatakan cinta kepada gadis yang cuek dan jutek seperti dia.

Zidan pasti hanya main-main. Dia hanya menggombali Aira. Apalagi, umur mereka jelas-jelas terpaut cukup jauh. Mereka tidak serasi. Aira hanyalah anak kecil baginya. Begitu pikir Aira. Padahal, Aira juga merasakan sesuatu yang aneh jika bertemu dengan Zidan. Jangankan
bertemu, mendengar nama Zidan disebut saja, jantungnya langsung berdegup seratus kali lebih
kencang dari biasanya. Apesnya, dia selalu gagal mencegahnya, sehingga degup itu malah semakin bertambah kencang setiap kali dia ingin menghentikannya.

Di mata Aira, Zidan adalah sosok yang biasa, tetapi penuh dengan kharisma. Dia terlihat tenang dan menghanyutkan. Menghanyutkan perasaan Aira dengan sikapnya yang
lembut. Sifat yang dewasa dan penuh perhatian meski mereka belum terlalu sering bertemu.

Aira sudah berusaha keras untuk membangun benteng di hatinya sejak pertama kali dia melihat Zidan. Meskipun benteng itu sekarang mulai rapuh, Aira tidak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya. Termasuk Zidan.

Zidan ternyata sudah sering melihat Aira. Dia sudah beberapa kali mengamati Aira dari dalam rumah Ferdi. Kemudian, dia mengumpulkan cerita tentang Aira dari Ferdi, adik Ferdi, orang tua Ferdi, bahkan tetangga Ferdi juga ikut ditanya-tanya tentang Aira. Dari cerita mereka itu, lah, Zidan tahu banyak tentang Aira.

Ternyata semua kisah tentang Aira membuat dia semakin penasaran dengan gadis itu. Aira gadis yang cantik, juga manis. Dia cerdas dan gesit. Meskipun sikapnya sedikit judes, tetapi menggemaskan. Dia itu jinak-jinak merpati. Aku kejar, dia lari. Aku diam, dia menghampiri. Ah, Aira. Kamu begitu memikat hati kaum kami. Zidan mengakui kelemahannya sendiri di dalam hati.

Waktu Zidan menyatakan cinta, Aira hanya bergeming. Meski hatinya bersorak-sorai, seperti saat timnya memenangkan lomba lari estafet di sekolahnya dahulu. Jantungnya berdetak seperti suara bedug saat takbiran malam Lebaran. Hatinya bergetar seolah-olah ada gempa yang
mengguncang dengan kekuatan 6.9 skala richter. Akan tetapi, dia berhasil mengendalikan bibirnya untuk tidak berkata "Iya" saat itu juga.

Zidan yang sudah jauh lebih dewasa, tentu saja memberikan kesempatan kepada Aira untuk berpikir dahulu sebelum mengambil keputusan.
Aira, gadis yang menjadi magnet baginya, bahkan belum menjawab pernyataan cintanya sampai sekarang. Namun, dia malah mau pergi kerja? Enak saja! Nanti di sana, di tempat dia bekerja, pasti akan banyak laki-laki yang menyukainya. Zidan mengumpat dalam hati.

“Emang kamu mau kerja di mana, Ai? Kerja apa? Sama siapa? Kamu mau ninggalin aku yang masih kau gantung?” Zidan menatap lekat gadis di sampingnya yang masih menunduk sedari tadi.

Berarti kabar dari Fatia waktu itu bener dong? Zidan membatin. Enggak. Sebenarnya aku enggak ingin ninggalin kamu. Aku ingin mengenal yang
disebut cinta oleh teman-teman dulu. Mereka bahkan sudah merasakan dan menikmatinya dari masih sekolah SMA, bahkan ada yang sejak SMP. Aku memang pernah disukai oleh seseorang sejak SD, tapi selanjutnya ... sebelum tahu apa itu cinta, aku telah lebih dulu merasakan trauma. Bahkan, menutup hati hingga kau datang dan hingga kini ... aku benar-benar takut
untuk mengakui perasaan sendiri. Aku pergi karena memang sebaiknya pergi, batin Aira.

“Belum tahu. Udahlah, enggak usah nunggu-nunggu jawaban dari aku. Masih banyak perempuan lain yang pasti mau sama situ. Aku pulang dulu.” Aira bangkit dan melangkah meninggalkan teras rumah Ferdi.
Zidan meraih tangan Aira untuk menahannya.

“Tunggu, Ai. Aku butuh jawaban kamu. Tolong, jangan siksa aku kayak gini. Aku tahu ....” Kalimat Zidan terputus saat Aira dengan cepat menghempaskan tangannya. Untuk pertama kalinya, gadis itu menatap lekat mata Zidan dengan tatapan penuh arti.

“Kamu nerima aku, 'kan? Please, kasih kesempatan buat aku, ya?” Zidan memohon dengan kedua tangan seperti posisi orang menyembah.

Aira bergeming. Matanya mengembun, lalu cepat berpaling dan pergi membawa semua rasa yang entah apa namanya. Ada bahagia dan sedih, serta bingung yang bercampur jadi satu.

Zidan menangkap bulir itu. Bulir yang hampir luruh. Namun, pemiliknya terlalu angkuh untuk mengakuinya. Dia ingin memeluk gadis kecilnya, tetapi itu jelas tidak mungkin.

***

Aku memekik
menyaksikan lukamu
Aku menyesal,
mengira kau tak akan serapuh ini
Aku tahu,
kau hanya menjauh untuk kembali
Karena aku yakin,
kau telah membohongi dirimu sendiri.
Harusnya aku sadar lebih awal
Bahwa mencintaimu
adalah suatu kewajiban
Bukan pilihan yang bisa lagi kutawar

MENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang