Menyadari bahwa mobil itu masih saja berhenti di sana, Aira segera menaiki motor dan memacunya cepat.
Aduh, marah enggak, ya orangnya? Jangan-jangan ada bagian mobil yang lecet, terus aku suruh ganti rugi lagi? Terus, kalau aku enggak bisa ganti, aku dilaporin ke polisi, terus di penjara, deh. Pikiran Aira menebak-nebak sendiri, membuat dirinya semakin dalam menarik gas motor.
Saat matanya melirik ke arah kaca spion motor, ternyata mobil itu terus mengikutinya dari belakang.
Aira semakin ingin melajukan motor bututnya yang tidak bisa lagi menambah kecepatan. Setang motornya sudah mentok, tak bisa lagi ditarik ke dalam.
“Ayo, cepet, cepet, cepet!” Aira menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan. Berharap bisa memberi bantuan tenaga untuk motornya supaya bisa berlari lebih cepat lagi. Namun, si
Biru malah terasa semakin berat dan hampir saja ngadat.
Aduh, tolong, Ya Allah, lindungi hamba dari para penjahat itu. Aira berdoa dalam hatinya sambil terus memacu motor hingga berbelok dari jalan besar ke jalan menuju rumahnya.
Dia berharap mobil hitam yang sangar itu tidak mengikutinya lagi. Tadi, dia memang kebetulan satu arah waktu di jalan besar. Itu saja. Namun, ternyata mobil itu berbelok ke arah yang sama dengan Aira.
Aira berkali-kali melihat spion motor hingga motornya sedikit oleng dan hampir ke tengah jalan.
Tiin, tiin!Mobil itu membunyikan klaksonnya yang nyaring.
Aira semakin ketakutan. Dia tancap gas sebisanya. Entah kenapa, tumben jalan ini begitu sepi, tidak seperti biasanya. Jaraknya juga terasa lebih jauh dari kemarin saat dia menumpang ojek yang mengantarnya pulang dari jalan besar menuju rumah. Bus yang dinaikinya hanya melewati jalan besar, tidak mau mengantarnya sampai ke rumah dengan alasan tidak enak dengan penumpang yang lain.
Jarak ke rumah Aira tinggal sekitar lima puluh meter lagi. Aira semakin cepat melarikan sepeda motornya, sedangkan mobil hitam di belakang masih mengikutinya dengan jarak yang sama, tidak lebih mendekat.
Padahal, kalau mau, sangat mudah bagi mobil itu untuk menyalip motor Aira, lalu berhenti di depannya. Kemudian mereka turun dan menghadang motor Aira sambil mengacungkan senjata api tepat ke kepala Aira dan ....
Ah, Aira berusaha untuk sadar dan mengakhiri pikiran konyolnya sendiri.
“Sampai!” Aira bergumam sambil membelokkan setang motornya ke kiri, memasuki halaman rumah dan memarkir motor di depan pintu, lalu dia segera turun dari motor dan berlari ke dalam rumah.
Motor dan jeruk yang masih tergantung dia biarkan di luar. Bahkan, kontak motornya pun masih diam tersangkut di lubangnya. Nyawa lebih penting. Begitu pikiran konyolnya memberi dukungan.
Aira langsung menutup pintu rumah, tetapi tidak terlalu rapat. Mata kirinya dipasang pada celah pintu yang masih terbuka sedikit. Dadanya berdegup kencang, menunggu mobil hitam itu memasuki pekarangan rumah.Gadis itu menunggu beberapa saat sambil memegangi dada yang masih berguncang hebat. Mata kirinya ditajamkan keluar. Sedang mata kanannya memicing di balik daun pintu berwarna cokelat itu.
Sesaat, napasnya tertahan saat matanya menangkap bayangan hitam besar yang bergerak mendekati gorong-gorong rumahnya. Mobil itu bergerak lambat saat hampir sampai di gorong-gorong.
Lutut Aira gemetaran ketika mata kirinya menyaksikan benda itu berhenti tepat di tengah-tengah gorong-gorong rumahnya. Sementara kaca depan sebelah kiri mobil itu perlahan turun dengan sendirinya.
“Mati aku!” gumam Aira hampir di luar kesadarannya. Kakinya seperti melayang di udara. Mungkinkah dia sudah benar-benar mati sekarang?Mata kiri Aira melotot selebar-lebarnya, saat mendapati dua orang laki-laki yang duduk di kursi depan menengok ke arahnya. Mereka menatap tajam ke arah pintu, lalu
pandangan mereka menyapu ke sekeliling rumah Aira.
Bibir Aira terkatup rapat dan ditahannya beberapa saat. Gadis itu takut kalau-kalau dia tidak bisa menahan rasa takutnya, lalu teriak sekuat-kuatnya dan mereka akhirnya bisa menemukan dirinya.Berbagai pikiran buruk merasuki kepala gadis itu.
Sekitar dua sampai tiga menit mobil itu berhenti, kemudian melaju lagi setelah kaca mobilnya tertutup rapat.
“Hhhh!” Gadis itu membuang napas yang sedari tadi ditahan. Dia membungkuk memegangi lututnya yang masih gemetar.
“Kamu sudah pulang, to, Ra?” Seseorang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Aira.
“Bapaaak! Bikin Aira kaget aja!” Gadis itu melompat kaget mendengar suara bapaknya, lalu merengut manja. Dia menepuk dadanya beberapa kali untuk menghilangkan degup jantung yang tidak beraturan.
“Lho, Bapak, enggak ngagetin kamu, kok? Lagian, kenapa kamu nungging-nungging di sini? Kakimu digigit semut?” Bapak mengernyitkan dahinya yang keriput. Kemudian,
menyapukan netranya ke kaki sang putri, takut ada semut yang menggerumuti kaki mungil itu.
“Eh, i--iya, Pak. Tadi ada semut yang gigit kakiku, tapi udah pergi, kok.” Aira cengar-cengir. Terpaksa dia berbohong untuk menyembunyikan kejadian menegangkan yang hampir saja membuat jantungnya terlompat keluar dari tubuh.
“O ... ya, sudah, nanti kakinya dikasih minyak kayu putih. Oh iya, kamu enggak dapet jeruk, Ra?” Bapak celingukan mencari sesuatu yang tidak tampak di tangan Aira.
“Ha? Oh, jeruk ya, Pak? Dapet, kok, Pak. Sebentar.” Aira baru sadar kalau jeruknya masih berada di badan motor yang dia tinggal di luar rumah.
Kemudian, dia bergegas menuju motornya yang masih teronggok di depan pintu.
“Kamu, sih, larinya kurang kenceng tadi! Bikin orang takut setengah mati aja.” Ditinjunya jok motor butut yang sedari tadi hanya diam.“Ini, Bu, jeruknya. Kata bakulnya rasanya manis banget kayak yang beli.” Tangan Aira menutup mulutnya sendiri karena geli dengan ucapannya. Dia hanya ingin membuat Ibu dan
bapaknya tertawa.
“Halaaah ... kayak gini, kok, manis? Emang gula merah apa?” Ibu akhirnya tertawa sambil menggamit dagu gadis yang duduk di hadapannya, sementara gadis itu hanya cengarcengir memamerkan deretan giginya yang gingsul di bagian kanan. Manis sekali dia. Tidak salah Ibu penjual jeruk tadi.
Angin sore ini terasa sedikit dingin. Memang tadi hujan turun sehabis Zuhur, tetapi tidak lama, meski cukup deras mengguyur sebagian desa kecil itu. Cukup membuat hati yang sepi semakin terpuruk dalam kesendirian.Di muka jendela, seorang gadis berambut lurus sebahu berdiri menghadap keluar. Tatapannya menyapu butiran air hujan yang masih menggantung di dedaunan, sepertinya masih ingin bergelayut manja di sana.
Enggan untuk menjatuhkan diri ke tanah yang basah.
***
Kembali dijebak rapuh yang ...
jujur,
aku sendiri membencinya.
Rindu ini begitu curang
Ia terus bertambah,
Tanpa tahu caranya berkurang.
***
Aira membatin dengan eleginya. Maniknya kini berhias senyuman seseorang nun jauh di sana.
Gadis itu berjingkat saat ada suara berderit yang berasal dari pintu kamarnya yang dibuka oleh seseorang.Dia menoleh ke arah pintu. Kemudian, matanya mendapati Bapak berdiri di bawah bingkai pintu sambil tangannya menyibak tirai berwarna merah keunguan itu.
“Aira, ada tamu yang mencari kamu, tuh.” Bapak menggerakkan kepala memberikan isyarat, bahwa tamu yang dimaksud sudah ada di ruang tamu.
“Ha? Tamu? Siapa, Pak? Laki-laki apa perempuan?” Sederet pertanyaan yang tak berjeda memberondong laki-laki yang mengernyitkan dahi keriput ke arahnya. Kemudian, menggeleng pertanda heran kepada tingkah anak gadisnya.
“Laki-laki. Sudah, temui saja sendiri. Ganti baju dulu yang benar dan pakai
kerudungmu!” perintah Bapak yang kemudian segera menarik gagang pintu dan menutup kembali pintu itu rapat-rapat. Padahal, tadinya Aira ingin mengintipnya sedikit, siapa tamu misterius itu.
“Misterius?” gumamnya. Matanya mendadak melebar maksimal.
Tiba-tiba jantung Aira berdegup kencang saat dia teringat pada kejadian beberapa hari lalu. Mobil hitam itu? Apa mereka masih berusaha untuk mencariku? Padahal, kan, mobilnya
enggak kenapa-kenapa? Huh, dasar! orang kaya. Suka bikin perkara! Aira mengumpat dalam hatinya.
Dia ingin sembunyi di kolong saja atau lari keluar melalui jendela. Namun, jendela ini terlalu kecil, bahkan untuk tubuhnya yang mungil.
“Aaahhh ...! Gimana, nih?” Aira mengacak rambutnya sendiri, geram.
“Kenapa tadi Bapak enggak mengusirnya aja, sih? Apa Bapak enggak sadar kalau anak gadisnya sedang dalam bahaya karena laki-laki itu?” Aira mengomel sambil mondar-mandir di kamarnya yang tidak seberapa besar itu.
“Tapi, kalo dia itu orang jahat, mana mungkin Bapak membiarkannya masuk ke rumah ini? Bapak pasti bisa, lah, kalo hanya membedakan tampang antara orang jahat dengan orang
baik. Tadi wajah Bapak enggak kelihatan khawatir, kok?” Aira masih berceloteh sendiri.
Tiba-tiba Aira ingat dengan pesan Bapak sebelum menutup kembali pintu kamarnya. Dia kemudian bergegas mengganti pakaiannya dengan baju dan celana panjang serta kerudung
segitiga hitam andalannya.Jarum pentul disematkan di bawah dagu untuk mengunci sebagian kerudung yang menutupi kepalanya. Satu ujung kerudungnya disampirkan di bahu, sedangkan satu ujung lainnya dibiarkan menjuntai menutupi dada.
Sambil mengendap-endap, Aira memutar pelan sekali gagang pintu kamarnya, hingga tidak ada suara yang terdengar.
Perlahan, didorongnya daun pintu dari kayu itu hingga ada sedikit celah. Kemudian, tangannya berhenti bergerak, bola matanya dipasangkan tepat di celah pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENANG
RomanceAira pernah mengalami trauma pada masa lalu, hingga datang sosok Zidan--pemuda ganteng yang akhirnya berhasil membuat gadis itu jatuh cinta. Namun, pada saat hampir bersamaan, orang tua Aira justru tidak bisa menolak Arya--pemuda kaya dan baik hati...