Sepuluh

2 0 0
                                    

Paman Zaelani menatap lekat ke mata pemuda itu. Kemudian, meraba setiap lekuk wajahnya dengan saksama menggunakan pandangan. Bola mata yang kecokelatan menyapu sosok pemuda yang duduk di depannya.

Dimulai dari rambut, mata, hidung, bibir, dagu, lalu ke bahu, terus turun sampai ke bagian bawah tubuh Zidan yang hanya kelihatan sebatas lutut karena terpotong oleh garis meja
yang menjadi penghalang keduanya.

Semua bagian tubuh pemuda itu yang tampak olehnya, tidak ada sejengkal pun yang luput dari jelajah bola matanya.

Zidan yang sadar sedang diawasi, tidak berkutik di kursi pesakitan. Hanya bola matanya saja yang bergerak ke kanan, kiri, atas, bawah, mengikuti bola mata Paman Zaelani. Kemudian, dua bola itu sama-sama berhenti dan beradu di satu titik, membuat Zidan segera menundukkan pandangan.

Ferdi mencium gelagat kurang menyenangkan dari Paman Zaelani. Dia menyikut lengan Zidan, memberikan kode agar temannya itu waspada. Mereka berdua saling lirik, lalu sama-sama menatap lelaki hampir paruh baya yang duduk di depan mereka yang ternyata juga sedang menatap ke arah mereka. Ferdi dan Zidan segera menunduk.

“Jadi, kamu yang namanya Zidan?” Kepala yang mulai ditumbuhi satu-dua uban itu manggut-manggut. Sementara dua sudut bibirnya ditarik ke bawah.

“Iya, Paman, saya Zidan.” Zidan mengangguk sampai bahunya sedikit membungkuk. Dia juga melebarkan senyum dengan sengaja.

“Kamu Ferdi, ‘kan?” Tatapan Paman Zaelani beralih ke Ferdi yang masih menunduk sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.

“Iya, Paman. Saya Ferdi, anak Pak Jamal, tetangga Aira.” Ferdi juga membungkukkan badan seperti yang dilakukan oleh Zidan tadi.

“Iya, saya tahu.” Paman Zelani manggut-manggut. Tangan kirinya mengusap dagu yang ditumbuhi hanya beberapa jenggot sepanjang kira-kira dua senti.

“Jadi, maksud kalian ke sini mau apa?” Manik Paman Zaelani sedikit melebar hingga dahinya terlihat berkerut ke atas. Matanya masih terus memandang ke arah dua pemuda yang ada di hadapannya secara bergantian.

“Gini, Paman ....” Ferdi bermaksud menjelaskan maksud kedatangannya ke rumah Paman Zaelani, tetapi Zidan segera menyela.

“Saya mau tanya soal Aira, Paman. Kemarin, kan, Paman yang menjemput Aira dari rumahnya, jadi saya rasa Paman pasti tahu Aira mau kerja ke mana. Makanya kami sengaja
datang ke sini untuk menanyakannya kepada Paman.” Zidan menatap Paman Zaelani penuh harap. Sementara Paman Zaelani hanya tersenyum sambil manggut-manggut melihat tingkah Zidan.

“Ya, ya. Aira sudah cerita ke saya, juga ke bibinya.” Sekarang Paman Zaelani mengerti maksud kedatangan kedua pemuda itu. Lelaki yang mengenakan kaus oblong tipis berwarna putih itu kembali tersenyum seraya menggeleng-geleng.

“Dasar! Anak Muda.” Paman Zaelani bergumam, yang ternyata didengar oleh Zidan juga Ferdi yang kemudian saling berpandangan dan sama-sama mengernyitkan dahi.

“Maksud, Paman?” tanya Ferdi yang juga mewakili isi benak Zidan.

“Hemmm ....” Paman Zaelani kembali menggeleng sambil tersenyum dan berdecak pelan. Kemudian, laki-laki melanjutkan kalimatnya.

“Memangnya, kamu sudah punya kewajiban apa terhadap Aira?” Zidan tergagap. Kemudian, menengok ke arah Ferdi yang justru cengar-cengir memamerkan gigi depannya
yang besar-besar. Kedua pundaknya diangkat sejenak, kemudian dijatuhkan lagi, lemas.

Zidan mengalihkan pandangan ke arah kakinya yang mengenakan sandal jepit swallow berwarna putih dan biru. Bola matanya berputar mencari ide ke segala arah yang bisa dijangkau
oleh pandangan.

MENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang