Dua

0 0 0
                                    

“Aira, tunggu.” Aira terpaksa menghentikan langkahnya lagi meski bola matanya berputar malas. 

Dia ingin sekali segera sampai di rumah lalu masuk ke dalam kamar yang di dalamnya ada Riana yang sedang meringkuk di pojok, lalu dia berdiri di depan gadis angkuh itu dengan tangan mengepal, dan "Buuuk!" Satu tinjunya yang keras mendarat tepat di rahang kanan Riana yang kotak. Riana mengerang kesakitan, lalu dia memohon ampun kepada Aira sambil bersujud di kakinya. 

"Ampun Aira, maafkan aku. Aku salah. Semua yang aku bilang tadi tidak benar. Aku yang sengaja mengada-ada. Tolong maafkan aku, tolong Aira, tolonglah aku yang lemah ini." Sayangnya, itu hanya hayalan Aira saja. Huff.

Aira menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Rena yang sedang berjalan menuju ke arahnya.

‘Hem, mungkin ini nih, biang keroknya.’ Aira bergumam kesal. Dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Gigiya gemeretak hingga rahangnya mengeras dan kaku.

“Kenapa Ra? Kok kamu kayak lagi kesel gitu?” Rena mengerutkan dahinya setelah berdiri tepat di hadapan teman kecilnya itu.

“Ngga papa. Ngapain tadi manggil?” Aira memalingkan wajahnya. Kemudian kembali menatap Rena lalu mengibaskan tangan kanannya, menyadarkan Rena yang masih bengong sambil menatap wajah Aira yang tampak tidak seperti biasanya.

“Oh, iya. Fadhil, dia ngajak ketemuan nanti malam. Abis isya, di tempat biasa ya.” Rena mengecilkan volume suaranya sambil mendekatkan wajahnya ke Aira, seperti takut kalau-kalau ada yang mendengar apa yang dia katakan kepada Aira. 

“Kebetulan!” Aira mengacungkan jari telunjuknya di depan hidung Rena. Lalu dia melangkah pulang tanpa menghiraukan Rena yang masih tidak mengerti dengan sikapnya yang aneh. Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menatap punggung Aira hingga menghilang ditelan pepohonan liar yang tumbuh dipinggir jalan.

***

“Kita putus.” Aira  menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Fadhil yang berdiri di samping Aira spontan memutar kepalanya 90% ke arah gadis mungil itu. Dahinya mengerut mengikuti matanya yang menyipit. Dia yakin sekali kalau telinganya sudah salah dengar barusan.

“Kamu ngomong apa Ra?” Sekarang tubuhnya yang tinggi dan sedikit kurus ikut menghadap ke arah Aira yang masih bergeming.

“Aku bilang kita putus.” Aira sedikit mengeraskan suaranya. Mata gadis yang masih mengenakan mukena berwarna putih itu masih memandang lurus ke depan, meski hanya ada gelap di sana. 

“Kenapa? Ada apa? Kamu, kamu ngga kenapa-kenapa kan Ra?” Mata Fadhil sedikit melebar. Tangan kanannya hendak memegang pundak Aira, tapi segera diurungkannya. Dia tidak berani melakukan hal itu, takut Aira marah. Selama ini, Aira paling marah jika Fadhil menyentuhnya, meski hanya tangannya saja. Fadhil pun menurut, karena yang terpenting bagi dia adalah Aira mau menerima cintanya. Itu sudah membuat hari-harinya dipenuhi dengan aneka warna bunga layaknya taman di sebuah istana. Jiah.

“Emang mau sampai kapan kita pura-pura pacaran?” Aira menatap Fadhil yang juga sedang menatapnya. Lalu, cepat dia membuang pandangannya ke arah lain.

“Pura-pura? Maksud kamu apa sih Ra?” Fadhil membalikkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya setinggi dada sembari menaikan bahunya. Sementara Aira hanya melirik ke arahnya tanpa kata-kata.

 “Oh, jadi selama ini kamu cuma pura-pura menerima aku, gitu?” Mata Fadhil semakin melebar. Aira tetap bergeming. Beberapa detik kemudian mata Fadhil berubah menjadi layu bahkan mulai mengembun ketika menangkap dingin pada wajah gadis yang selama ini selalu dipujanya. 

MENANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang