....
....
Nazlim baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kelasnya dengan raut muka yang masih saja datar. Padahal beberapa kali Chandrika sudah mulai biasa mengajaknya berbicara atau sekedar mengajaknya makan di kantin. Yang selalu di tolak oleh Nazlim.
Selagi berita Nazlim belum reda. Ia tidak sudi berkeliaran di kampus tanpa alasan yang penting.
Namun, sosok di depan kelas itu membuat Nazlim kesulitan mencari napas. Oksigen disekitarnya serasa menghilang. Menyebabkan Nazlim tercekat.
"Ayo pulang."
Nazlim tidak tahu apa yang Bunda dengar atau apa yang Bunda alami selagi ia di kelas tadi. Tapi, Raut muka Bunda sangat menyakini jika perempuan cantik itu mendengar sesuatu sampai raut wajahnya sendu namun masih berusaha tersenyum.
Nazlim benci. Ia tidak suka melihat raut wajah Bunda. Senyuman terluka itu? Apa ia yang menyebabkannya?.
Senyuman yang tidak pernah Nazlim bayangkan akan dilihatnya. Tidak dalam keadaan dirinya juga yang tengah kacau. Senyuman yang Nazlim yakini kini ialah penyebabnya.
Namun, bukannya bergerak ataupun menjawab perkataan Bunda. Nazlim terdiam di tempatnya, meremas buku yang ia pegang di tangan kanannya. Matanya yang tajam itu kini menatap bunda sendu.
Tidak. Nazlim ingin hancur rasanya saat bunda malah meraih tangan kirinya yang bebas. Bunda, Nazlim tidak bisa. Bunda terlalu lembut untuk disakiti oleh Nazlim. Bunda terlalu baik untuk dikecewakan. Nazlim belum siap Bunda.
"Kamu lapar ga? Tadi ga sarapan juga?."
Bunda menunduk, mengelus pelan punggung telapak tangan Nazlim. Menahan untuk tidak menangis di depan sang anak. Ia lipat bibirnya ke dalam seraya tersenyum kembali mendongkak pada Nazlim. Menarik perlahan anak itu. Yang sedari tadi hanya diam menatap Bunda.
"Beli sate di Mang Aji yuk."
Ajakan itu ia dengar selagi mereka berjalan di koridor yang sedang ramai oleh manusia itu.
Nazlim tidak berani mengeluarkan suaranya. Karena ia akan menangis jika melakukan itu. Bunda selalu lembut seperti ini jika Nazlim salah sedari kecil pun. Ujungnya, menuntun Nazlim untuk tidak lagi salah. Hingga tau mana yang benar dengan perlahan.
Bunda selalu sebaik itu.
Sampai di mobil, Nazlim menaruh drafting tube dan beberapa buku miliknya di kursi belakang. Ia dengan perlahan, duduk di samping Bunda. Tanpa berani menatap malaikatnya itu.
Bunda tidak banyak mengeluarkan suara. Mengingat dirinya fokus pada jalanan. Meski beberapa kali kagok karena diselip beberapa kendaraan roda dua.
Tujuan mereka adalah sate maranggi milik Mang Aji. Meski tempatnya begitu sederhana. Namun rasanya, sangat cocok di lidah Nazlim. Meski di tengah kota, dan tempatnya terpencil. Nazlim dan bunda sering berkunjung. Kadang hanya sekedar menyapa jika tidak sedang ingin makan.
Biasanya Nazlim akan datang dengan Jenan jika siang hari. Karena Bunda selalu sibuk. Namun ntah mengapa akhir-akhir ini bunda banyak sekali waktu luangnya.
"Bunda, cuma terima jadwal-jadwal penting aja buat seterusnya. Jadi, kamu bakalan sering liat Bunda dirumah." Itu awal percakapan mereka setelah Bunda memesan makanan pada Mang Aji.
Nazlim menarik kursi plastik itu untuk ia duduki dari kolong meja. "Bunda cape?."
Bunda menggeleng. "Engga lah, bunda mau ngurusin kamu aja. Lagian udah lama Bunda turun ke dunia politik gini. Anak bunda udah gede aja, ga kerasa sama bunda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Norma - Nomin✓
FanfictionNazlim dan Jenan hanya ingin tempat-meskipun kecil tapi nyaman- di dunia ini. Tapi, seakan mereka tidak hidup. Mereka tidak diberi tempat oleh semesta. Tidak diberi pilihan untuk memilih takdir. Dunia punya norma, Nazlim dan Jenan tahu dengan betul...