Persimpangan

21 7 0
                                    


....

Terhitung ribuan kali Nazlim mencoba menghubungi dunianya. Dibawah senja orange yang begitu indah. Hatinya begitu hancur. Mengingat dirinya yang pergi dari rumah dengan pamitan. Namun, tidak ada sautan dari Bapak.

Terhitung ratusan pesan yang ia kirim pada Jenan. Mengenai kondisinya kini. Mengenai pikirannya yang begitu tenang saat memandangi tali yang menggantung di pohon depan rumah Jenan. Duduknya di atas rumput tidak terganggu sama sekali dengan suara bising di luar rumah Jenan.

Pikirannya kembali terpusat pada kenangan dengan nenek yang begitu tenang memberitahukan kemana jalan yang harus ia ambil. Matanya terpejam masih dengan air yang menumpuk di pelupuk mata, meruak ingin segera turun agar lega.

"Jen, gue ga tau dunia sekejam ini."

Tangannya ia angkat, memperlihat sayatan di lengan yang masih basah oleh darah.

Katakan Nazlim bodoh. Ia tidak merasa sakit sama sekali saat menerima luka tersebut. Ntah orang bodoh mana lagi yang membenci Nazlim. Ia tidak peduli, juga dengan luka saat ini. Mungkin jika menurut orang, Nazlim sedang berada di tahap menuju gila.

Senyumannya terbit mendapat notifikasi dari Galen yang memberitahu jika ia mengirim makanan ke kediaman Jenan untuk Nazlim. Lelaki itu masih selalu berbuat baik seperti ini padanya, meski tidak pernah ia balas semua pesan itu.

Menghilang dari sekitarnya tidak cukup buruk bagi Nazlim. Ia jadi lebih tenang, lebih mudah mengontrol emosinya kini.

"Jen, kamu udah cape ya sama kita?." Bisiknya sendiri. Mengingat hari ini Jenan berpamitan dengan muka masam tadi pagi, juga tidak ada kabar sama sekali. Padahal disini ia sangat membutuhkan lelaki itu.

Nazlim sedang membutuhkan sandaran.

....

Lalu lalang yang begitu ramai tidak menyulitkan Jenan menemukan Ayah. Dengan Om Tio di sebelahnya. Mereka sedang menunggu di depan ruang operasi. Matanya menangkap jam yang tergantung di atas pintu ruang operasi. Sudah 2 jam berlalu operasinya.

"Nazlim engga kamu bawa Jen.?"

Satu pertanyaan yang membuat Jenan seakan baru saja kembali ke dunia. "Ya ampun yahh. Nazlim aku tinggal di rumah!" Tangannya grasak grusuk mencari benda pipih yang selalu ia pegang. Dahinya ia tepuk, ingat terakhir ia memasukan benda itu ke dalam tas.

"Jenan ambil HP dulu di mobil."

Jenan meringis saat sudah memegang benda komunikasi itu. Bibitnya ia gigit keras, menunggu panggilannya di angkat oleh Nazlim.

"Sayang!."

"Eung?."

Napas lega itu Jenan hembuskan. Setidaknya suara lembut itu masih di dengarnya.

"Aku di Jakarta, yang. Kamu gapapa aku tinggal dulu beberapa hari ini?."

"Kamu cape ya sama aku?."

"Kamu ngomong apa Naz?."

"Engga kok. Kamu mau denger cerita aku ga?."

Jenan memejamkan matanya. Lirihan itu begitu menyayat hatinya, perlahan namun pasti. Jenan yakin Nazlim sedang tidak baik. "Iya sayang, kamu mau cerita apa?."

"Aku ke rumah hari ini Jen."

Dari awal kalimat saja, Jenan sudah tahu bagaimana cerita ke depannya. Dengan lembut ia bertanya sebelum Nazlim kembali melanjutkan. "Ketemu sama Bapak?"

Nazlim tertawa kecil. Namun detik selanjutnya Jenan dapat mendengar isakan kecil. Ia sudah bisa menebak jika sekarang Nazlim sedang di kamar miliknya dengan menyembunyikan wajah di bawah bantal.

Norma - Nomin✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang