Pilihan.

26 8 0
                                    

....

....

Terhitung sudah 3 hari Nazlim menginap di kediaman Chandrika. Anak itu pulang pergi kemana pun pakai motor Jenan yang terakhir Nazlim bawa malam itu.

Tentu saja setelah beberapa kali bujukan pun, Nazlim masih dengan keras kepalanya.

Sebenarnya tidak apa. Dirumah Chandrika lebih aman daripada di rumahnya. Yang bisa kapan saja di datangi oleh Bapak.

Namun, setelah pembicaraan yang baik. Mereka kini duduk di atap gedung fakultas arsitektur.

Menatap dunia yang beranjak gelap.

Sore itu, mereka hanya terlibat pada pembicaraan yang belakangan ini Jenan utarakan. "Besok pulang ya? Aku udah bilang Bunda."

Mata Nazlim lurus menatap langit yang berwarna jingga. Begitu indah. Ia sempat berpikir kenapa dunia sangat lucu?

Di saat dia membuat Nazlim terluka. Namun ujungnya, dunia itu sendiri yang membuatnya sembuh.

Seperti halnya sekarang. Meski kehidupan kampusnya berat. Tapi selalu ada saat Nazlim senang. Contohnya, menatap jingga langit yang masih bertahan.

"Ayo ke Malta."

Jenan menoleh. Menatap pusat dunianya yang tersenyum karena jingga di depan mereka. "Nanti aku buatin rumah disana."

"Aku bisa kan ninggalin Bunda?."

"Kalau udah dapet restu ya."

"Kamu yakin bisa?." Kali ini, Nazlim ikut menoleh pada Jenan. Ia sebenarnya tidak ingin regu. Namun, ntah mengapa ia tidak yakin bisa mendapatkan restu dari kedua orangtuanya.

"Bisa, Nazlim."

Ucapan lembut nan meyakinkan itu meruntuhkan keyakinan Nazlim sebelumnya. Padahal hanya dua kata yang Jenan ucapkan.

Ia merubah posisi duduknya. Menjadi menghadap Jenan, dengan menyampingi keindahan yang kini mulai melebur dengan gelapnya malam. Tubuhnya Nazlim bawa mendekat.

"Are we gonna make it?"

"Yes, we will. Trust me."

Ia memeluk badan Nazlim perlahan. "Is this gonna hurt?."

"No, Naz. Its gonna be happy ending for us."

Dan Nazlim mempercayai perkataan Jenan petang itu.

....

....

Beberapa dari mahasiswa itu keluar setelah dosen keluar terlebih dahulu. Jenan berdiri di depan pintu. Menunggu orang yang kemarin cukup menaikkan tensi darahnya.

BUGH!!

Belum ada satu detik Galen menatap dirinya. Jenan sudah terlebih dahulu memukulnya.

Mata nyalang Jenan cukup di takutkan oleh orang-orang disekitar mereka.

"Anjing! Laki kayak lo ga pantes buat hidup." Geram Jenan di hadapan lelaki itu.

Ia sudah tidak tahan dengan Galen. Apapun yang Galen lakukan pada Nazlim tempo hari, membuat Jenan ingin marah. Karena sedari dari situ sikap Nazlim berubah. Tidak ada lagi Nazlim yang keras. Atau becanda sedikitnya dengannya.

Hanya ada Nazlim yang berbicara seadanya. Seperti terlihatnya anak itu yang marah pada Jenan.

Galen berdiri tegak. Sedikit mengusap ujung bibirnya yang sobek. Pukulan Jenan sekeras itu. "Lagian bego di pelihara." Ucapnya. Lalu berlalu begitu saja dari hadapan Jenan.

"Besok malem di arena, kalo gue menang. Lu sujud minta maaf ke Nazlim."

Langkah Galen terhenti. Ia menoleh sedikit. "Well, gue dapet apa?."

Norma - Nomin✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang