Titik di Akhir Kata

64 10 6
                                    


....

"Naz..."

Jenan bersimpuh di depan kamar Nazlim, dengan air yang turun dari mata sedari dirinya sampai. Tidak peduli dengan Bapak dan Bunda. Jenan hanya ingin berbicara dengan Nazlim. Suaranya bergetar, memandang perih dunianya yang retak. "Naz, please. Kita butuh bicara dulu, hm?."

Meski tidak sautan, Jenan tetap mengajak Nazlim berbicara. Suara tangisannya memang tidak terdengar. Namun Nazlim di dalam, di balik pintu bisa mendengar nada putus asa nan bergetar milik kekasihnya. Badannya sedari tadi menyandar pada pintu tidak bergerak sama sekali. Kepalanya ia hadapkan ke atas, memandang langit-langit rumah dengan pikirannya yang kacau.

Di dalam hati nya, tengah Nazlim tanamkan jika keputusannya benar. Berat rasanya, melihat Jenan yang begitu lembut padanya. Padahal disini dirinya yang meninggalkan. Seharusnya Jenan marah padanya. Bukan memohon seperti ini, bisa-bisa dirinya kembali ragu untuk pergi.

"Nazlim.. Naz—sayang..."

Lagi dan lagi air mata Nazlim turun sendiri mendengar suara Jenan.

"Sayang, kamu seserius ini ya?."

Deg. Hening untuk beberapa saat kedepan setelahnya.

Pertanyaan nan tarikan napas Jenan, membuat Nazlim tersentak sendiri. Ia menegakkan badannya, menunggu kalimat selanjutnya dari Jenan.

 "Padahal aku bawa kabar baik. Aku keterima di univ di malta, sama kerjaan disana juga. Berita baik bukan?." Jenan tersenyum miris, senang dengan pencapaiannya sendiri. Namun kecewa karena berita ini ternyata bukanlah berita baik. 

"Na, kamu cape ya?."

Nazlim lelah Jenan, ia tidak ingin melanjutkannya. Terkadang sesuatu yang di cintai pun tidak harus bisa di miliiki. Seperti kisah mereka. Kalimat itu yang akan terus Nazlim jadikan alasan mulai detik ini.

"Na, kamu jangan marah sama aku. Sekarang dengerin aku ya." Tarikan napas Jenan cukup menyakitkan, "Aku terima keputusan kamu sayang. Karena gimanapun, keputusan kamu aku utamain. Aku cuma mau kamu tau, kalau kamu adalah orang terbaik yang menempati hati aku selama aku hidup. Cuma kamu satu-satunya. Kamu orang yang pertama aku kenal sedari aku masih belum bisa lihat dunia. Kamu juga orang yang bikin aku bisa nemuin diri aku sendiri. Kamu orang yang bisa bikin aku tahan dengan segala tindakan buruk yang dulu ingin selalu aku lakuin. Kamu orang yang sampai kapanpun tidak pernah terganti. Kamu orang istimewa yang Tuhan ciptakan untuk aku cintai. Untuk aku jaga selama ini..."

"Untuk aku jaga sampai detik ini... Aku,---" Jenan mengulum bibirnya keras, menyentuh pintu di depannya berharap Nazlim kini mendengarkan omongannya. "Sayang... Aku ngelepas kamu dengan rasa sayang yang engga bakalan terganti sampai akhir hayat."

"Nazlim Nataprawira."

"Nama yang seumur hidup aku, engga bakalan aku ganti posisinya di hati. Sayang, jangan sungkan buat mampir yaa, nanti dirumah bakalan ramai aku bawa Tania tinggal bareng kalau kamu ga lupa."

Jenan berdiri perlahan dari posisinya. Berat. Sungguh. Dunia senang bercanda dengannya, lucu sekali, sampai Jenan ingin menertawakan dirinya sendiri. Selucu itu hidupnya. "Nazlim, Jenan pamit. Tapi engga sepenuhnya pamit. Kamu bisa pulang ke rumah kita. Aku bakalan nunggu."

Kalimat yang seumur hidup Jenan hindari, kini terucap lancar dengan luka gores yang sangat dalam menyayat hatinya. 

Setelah dirasa tidak ada suara lagi diluar pintu, Nazlim melepas bekapan tangannya sendiri. Ia hanya dapat menahan tangisannya agar tidak di dengar. Senyuman miris terbentuk. Tangannya memukul dadanya, ingin mengeluarkan rasa yang begitu menyesakkan, dirinya tidak bernapas. Jenannya pergi.

Norma - Nomin✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang