07- Telat

7 3 0
                                    

HAPPY READING

•••

07.23.

Mampus!

Cowok yang sedetik lalu masih bergulung dalam selimut itu melompat dari tempat tidurnya setelah melihat layar ponselnya. Bukan karena notif dari doi atau SMS pengumuman pemenang undian 30 milyar. Namun karena jam di ponselnya telah menampilkan angka 07 dan 23. Yang artinya, IA SUDAH TELAT.

Gara-gara pesta tadi malam, ia baru tidur pukul 3 dini hari. Walaupun Kafa pulang duluan, tapi sampai rumah ia tidak bisa langsung terlelap tidur.

Tidak. Sebenarnya bukan karena pesta Tiara. Tapi karena salah satu gadis yang datang ke pesta itu.

Ck!

Feya Adinda. Bisa-bisanya gadis itu membuatnya se-ngenes ini.

Terkadang ia berfikir, Agam saja bisa mendapatkan Tiara dengan mulus tanpa hambatan. Lalu mengapa ia yang jauh lebih baik dari Agam tidak bisa mendapatkan Feya?!

Setelah mengguyur tubuhnya asal-asalan, Kafa menyemprotkan banyak parfum pada tubuh dan seragam yang telah ia kenakan. Ia menyambar ranselnya lalu bergegas keluar sembari menyisir rambutnya yang sedikit basah menggunakan jemari. Tidak ada waktu untuk menatanya.

Kini cowok itu memasang dasinya sambil menuruni tangga dengan cepat. "Mama kok nggak bangunin, sih?!" tanyanya saat melihat Dira—Mamanya sedang membereskan piring di meja makan. Wanita paruh baya itu segera menoleh, terkejut.

"Loh, kok kamu belum berangkat? Kata Kakakmu, kamu udah berangkat tadi. Jadi Mama nggak ngecek kamar kamu."

Sialan!

Kakak keduanya itu memang senang sekali membuatnya dalam masalah.

"Ish, Mama juga kenapa percaya-percaya aja sama Kak Irene? Sesat, Ma!" omel Kafa.

"Ya udah sini. Sarapan dulu."

"Nggak sempet, Ma." Kafa menyambar dua lembar roti tawar lalu berpamitan pada Dira sebelum berlari keluar rumah.

•••

"Gitu, Pak! Jadi, ini semua bukan kesalahan saya. Sumpah, saya nggak berniat males ngerjain tugas Bapak. Saya mah rajin, Pak. Kalo bapak ga percaya, tanya aja sama guru-guru yang lain!"

Yakin, Dya?

Saat ini Adya sedang berkonsultasi masalah gucinya yang beberapa hari lalu dipecahkan oleh manusia biadap itu kepada Pak Budi—guru seni budayanya. Berniat meminta tambahan waktu agar ia bisa menyelesaikan tugasnya itu. Ya masalahnya, TINGGAL SEMINGGU, WOII TENGGATNYA!

Mana bisa seorang Adya menyelesaikan kerajinannya itu dalam waktu dua minggu?! Sebenarnya bisa saja, sih. Kalau saja tubuhnya tidak mager dan mood-nya bisa diajak kompromi. Kan ada pepatah mengatakan, manusia bisa merencanakan, mood yang menentukan. Apalagi kalau buatnya sama Ayang. Uh, semangat 45 tuh pasti! Tapi sadar diri aja, sih, kan Adya ga punya Ayang.

Lagipula, bahan-bahan yang ia butuhkan sudah habis terpakai untuk empat kali percobaan gagalnya kemarin. Untuk mendapatkan tanah liatnya saja, ia harus menyusuri lembah, menaiki bukit, mengarungi sungai.

Lebay!

Tapi beneran, deh. Susah banget dapetinnya. Kaya dapetin hati doi!

Pak Budi tetap kekeuh untuk tidak memberikan waktu tambahan untuk gadis yang mengintilinya sejak ia keluar kelas hingga kini hampir sampai di ruang guru. Ia sudah sering menghadapi murid seperti ini. Yang dikasih tugas, tidak mengerjakan. Lalu saat waktunya sudah mepet, mengarang alibi dan meminta tambahan waktu. Baginya juga, waktu dua minggu yang akan datang, sudah lebih dari cukup untuk membuat bahkan sepuluh guci sekaligus. Apalagi cuma satu! Lalu kurang baik apa, coba Pak Budi yang memberikan waktu tiga bulan untuk menyelesaikan kerajinan itu.

KAFARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang