16. Dia masih sama

133 15 0
                                    

~Happy Reading~

.

.

.

Pagi ini Zoya duduk di meja makan sembari melahap makanan dihadapannya dengan malas. Jika bukan karena Abraham, Zoya tidak akam mau makan bersama seperti saat ini. Zoya melirik Abraham yang kini telah selesai memakan sarapannya.

"Papa denger sekolah kamu bakalan ikut cerdas cermat? Gimana pun caranya kamu harus ikut lomba itu."

Mendengar ucapan itu membuat Zoya muak. Bahkan ia masih belum menghabiskan sarapannya, tetapi Papanya itu terus saja membahas semua hal yang Zoya tidak sukai.

"Zoya gak mau," ucap Zoya pelan.

"Turutin perintah Papa, jangan jadi anak pembangkang!"

Zoya membanting sendok yang ia pegang sedaritadi hingga menimbukan bunyi dentingan. "Zoya bukan pembantu, yang harus nurutin perintah majikannya."

"Kamu itu harus pintar, Zoya! Kamu yang bakal nerusin perusahaan milik Papa! Harusnya kamu berterimakasih, Papa berusaha ngerubah kamu yang bodoh ini jadi pintar!"

Zoya menggeleng, netranya menatap Abraham tak percaya. "Bukan gini caranya, Pa. Ini itu namanya ngekang, Papa bikin Zoya tambah gila!"

Zoya meraih tas miliknya lalu melenggang pergi begitu saja. Gadis itu pergi dengan emosi yang berada diujung tanduk.

Mendengar suara motor yang berhenti di gerbang rumahnya membuat alis Zoya menukik. Zoya menyipitkan matanya kala mengenali motor itu. Gadis berambut pirang itu menghampiri sesosok pria yang masih setia di atas motornya bahkan dengan helm fuul face yang menutupi wajahnya.

"Brian? Ngapain lo kesini?" tanya Zoya sembari membuka gerbang yang semula tertutup rapat.

Brian mengangkat kedua bahunya. "Naik, gue anter."

"Gak usah, gue naik motor sendiri. Lagian kalau gue sekarang sama lo, pulangnya nanti gue sama siapa?"

"Gue jemput."

"Yaudah, gue ambil helm dulu." Belum sempatZoya berbalik, Brian lebih dahulu menyodorkan helm yang laki-laki itu bawa. Zoya menatapnya sekejap, lalu dengan senang hati memakainya.

Brian menjalankan motornya meninggalkan pekarangan rumah mewah milik Zoya. Brian menatap wajah Zoya dari kaca spion sekejap, lalu kembali memfokuskan tatapannya pada jalanan.

"Makasih, Brian." Zoya berucap tulus. Gadis itu tersenyum tipis, sangat tipis.

"Hm, gue duluan."

Zoya mengangguk. Ia menatap Brian dengan motornya yang semakin mengecil di pandangannya. Zoya menghela napas, berbalik badan guna memasuki sekolah kebanggaannya.

Disisi lain, Azka yang melihat itu semua mengepalkan tangannya. Di benaknya, iaberpikir, siapakah lelaki itu? Dan mengapa Zoya terlihat akrab dengan pria itu.

"Woy, Ka! Bengong aja lo. Mau kesambet nenek cangkul?" ucap Davian sembari menepuk keras bahu milik Azka, hingga membuat laki-laki itu terkejut.

"Mana ada nenek cangkul!" sahut Azka.

"Ada lah! Lagian, nih orang ngapain cobak di bawah pohon? Bengong lagi, pengen kesurupan kali yak?"

"Gue tahu, lo habis di tolak. Tapi ayo lah, masa iya lo galau? Lo itu ganteng, Ka. Ya... meskipun lebih gantengan gue sih. Gue yakin banyak cewek yang mau sama lo."

"Lo ngomong sama siapa?" tanya Elvino dengan mata menyorot heran.

"Buta lo? Gue kan lagi ngomong sama Azka--" Davian menoleh ke sekitarnya. Entah dimana keberadaan laki-laki itu.

"El, Azka diculik nenek cangkul!" ucap Davian panik, cowok bertubuh tinggi itu memukul bahu Elvino yang berada di sampingnya.

"Sinting," gumam Elvino yang kemudian berlari menyusul kearah Azka.

▪▪▪▪

Bel istirahat berbunyi sangat nyaring, kini semua murid berkeliaran memenuhi satu sekolah.

Berbeda dengan murid lainnya yang tengah mengisi perut di kantin, kini Zoya tengah membawa tumpukan buku paket menuju kelasnya. Gadis itu nampak kesusahan karena jumlah buku yang banyak hingga menutupi sebagian mukanya. Zoya melangkah pelan agar tak ada buku yang terjatuh.

Namun, pada akhirnya apa yang lakukan sia-sia. Kini buku-buku yang semula tersusun rapi berubah menjadi berserakan. Zoya menggeram tertahan, gadis itu berbalik badan guna melihat orang yang tampaknya dengan sengaja mendorong dirinya.

"Ups, sorry gue gak sengaja. Makanya kalau jalan tuh jangan ditengah, ngehalangin jalan gue tau gak."

"Buta lo? Lo gak lihat gue udah jalan di pinggir? Atau mau gue congkel sekalian mata lo? Lagian gak guna juga kan." Zoya berucap tanpa ekspresi wajah sedikitpun. Gadis itu menatap Rena datar.

Zoya tak lagi menanggapi celotehan Rena, gadis itu memunguti satu persatu buku yang berada di lantai. Tak lama, ia melihat sepasang sepatu berhenti di hadapannya. Zoya mendongak, gadis itu terdiam mendapati sosok Azka yang kini tepat di depannya.

"Kalau perlu bantuan itu bilang." Azka membantu Zoya memunguti buku, tak butuh waktu lama kini buku itu telah tersusun rapi ditangannya. Azka merebut semua buku yang berada di tangan Zoya.

"Biar gue yang bawa."

"Gak usah, gue aja."

Azka melirik sekilas. Tak mengindahkan ucapan Zoya. Laki-laki itu mengambil satu buku dari tumpukan buku lainnya. "Udah, lo bawa itu aja."

Azka melewati Zoya yang masih terdiam ditempat. Gadis itu menatap punggung tegap milik Azka. Zoya merasa aneh, mengapa Azka tidak menjauh? Kebanyakan lelaki akan menjauh jika sudah ditolak, tetapi menagapa Azka tidak? Cowok itu seolah melupakan apa yang telah terjadi kemarin.

"Makasih," ucap Zoya saat Azka telah menaruh semua tumpukan buku yang berat itu di atas meja.

"Makasih doang? Gak cukup kali, berat itu."

Zoya mengerutkan alisnya. "Terus gue harus ngapain? Lagian gue gak nyuruh lo buat bantu gue."

"Tapi gue udah terlanjur bantu lo. Jadi, sebagai imbalannya lo pulang bareng gue." Azka berjalan mundur, melambaikan tangan pada Zoya. Laki-laki itu masih setia menatap lekat wajah cantik milik Zoya.

"Gue tunggu di parkiran!"

Itu suara terakhir milik Azka yang Zoya dengar. Zoya mengulum bibirnya agar tak tersenyum.




~TBC~

Gimana sama part ini?

Jangan lupa vote dan komen.

Terimakasih telah membaca💛

See you next chapter👋

Published: 280222

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang