18. Dia yang sebenarnya

130 17 2
                                    

~Happy Reading~

.

.

.

Langit gelap dipenuhi dengan kemerlip bintang, bahkan bulan bersinar sangat terang. Seorang pemuda menatap gemerlap bintang itu penuh makna, bintang seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia sesekali mengecap bibir pucatnya yang terasa kering.

Laki-laki dengan balutan kaos hitam serta celana panjang itu tengah duduk bersandar di balkon yang berada dikamarnya. Helaan napas panas bercampur dengan udara yang dingin, membuat suhu disekitarnya seolah beradu. Pria itu bangkit dari posisinya, lalu berjalan mendekati pembatas. Ia menatap ke bawah dengan penuh minat.

"Kayaknya seru deh kalau gue terjun dari sini." Lagi-lagi ia menghela napas.

Ia berbalik, hendak memasuki kamarnya. Namun, langkahnya terurung karena kehadiran pria paruh baya yang berjalan mendekatinya.

Pria paruh baya itu menepuk pelan bahu pemuda di depannya. "Kamu apa kabar?"

"Saya selalu baik."

"Gimana rencana kamu? Udah ada kemajuan?" 

Azka menggeleng. Selalu saja begitu, pria itu masuk ke kamarnya hanya untuk menanyakan hal itu saja. Bahkan rasanya Azka sudah muak mendengarnya.

"Kamu tahu 'kan, apa resiko kalau kamu gak mau nurutin perintah Papa?"

Azka menggeram tertahan. Jika dia bukan ayahnya, mungkin Azka sudah membuatnya babak belur.

"Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya yakin pilihan kamu pasti yang terbaik." Dia menepuk pundak kokoh Azka berkali-kali, jangan lupakan senyuman yang membuat Azka jengkel.

"Waktu kamu udah gak lama lagi," imbuhnya.

Azka memejamkan matanya, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, bahkan hingga kuku-kukunya memutih. Mukanya memerah, menahan amarah yang hampir meledak. "Pa, dia itu gak punya salah apa-apa! Kenapa Papa nyuruh Azka buat balas dendam ke dia?!"

Pria paruh baya itu menghedikkan bahunya, ia berjalan santai melewati Azka lalu duduk di tempat dimana Azka duduk sebelumnya. "Itu kesialan dia aja, karena dia terlahir dikeluarga itu."

"Pa, tapi dia gak punya salah apa-apa." Azka masih mencoba membuat Papanya itu mengerti. Meskipun pada akhirnya ia tahu jawabannya akan tetap sama.

"Saya gak peduli." Pria itu nampak tenang. Dengan mata yang perlahan menutup.

Azka menghela napasnya gausar, laki-laki itu merebahkan tubuhnya di kasur empuk berwarna navy miliknya. Ia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Sekelebat bayangan sesosok gadis melintas dibenaknya. Tak berlangsung lama, kantuk mulai menghampiri, matanya terpejam seiring berjalannya waktu, hingga kini dirinya telah berada di alam mimpi.

Disisi lain, seorang gadis tengah menikmati udara malam di bawah sinar rembulan. Dia berada di halaman rumahnya yang nampak sepi. Dia Zoya, gadis berwajah datar itu mengamati sekelilingnya. Tatapan gadis itu terlihat kosong, seolah hanya tubuhnya yang berada disini, sedangkan jiwanya entah kemana.

Gadis dengan setelan baju tidur berwarna abu-abu polos itu meremas sebuah foto kecil yang berada di genggamannya. Pandangannya mengabur, karena matanya yang berkaca-kaca. Dia menatap foto itu dengan senyum kecil yang terbit. Air matanya tak menetes sedikit pun, air mata itu hanya menggenang di pelupuk matanya.

"Zoya kangen Mama."

Seutas kata itu keluar dari bibirnya, foto sang Ibunda yang dia genggam menunjukkan betapa rindunya gadis itu. Ingin sekali ia menangis, tetapi ia tidak ingin terlihat cengeng. Dulu, Asya sering kali menasehatinya agar tidak menangis karena hal-hal sepele. Dan wanita itu berhasil, kini Zoya tumbuh menjadi gadis yang kuat.

Zoya melirik ke dalam rumah, ia mendapati sosok Karina dan Abraham yang tengah mengobrol ria, dengan sesekali terdengar gelak tawa. Keduanya nampak seperti keluarga yang harmonis. Begitu pula keluarga Asya. Zoya merasa dirinya seperti bukan anak dari keduanya.

Zoya menyenderkan tubuhnya, dengan kepala yang mengadah ke atas. Masalah seolah mulai bermunculan di hari dimana harusnya ia tengah berbahagia. Hari ini ulang tahunnya, tetapi baginya ini hari terburuk. Zoya tidak masalah jika tak ada yang mengingat hari kelahirannya ini. Gadis itu hanya menginginkan satu hal, dan dia berharap keinginannya itu terkabul.

Zoya menutup mulutnya kala ia menguap lebar. Dia berdiri kemudian beranjak dari dusuknya. Gadis itu memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Pinggiran ranjang yang empuk membuat gadis itu memilih untuk duduk di sana sebentar. Ia meletakkan kembali foto Asya di atas nakas. Dia meneguk segelas susu coklat yang seharusnya panas, namun susu itu kini telah berubah dingin karena Zoya mendiamkannya.

Gadis itu kini merebahkan tubuhnya menghadap ke samping, dan mulai memejakan matanya.

▪▪▪▪

Udara pagi ini terasa sejuk menerpa tubuh seseorang yang tengah melakukan aktivitasnya. Gadis yang kini berumur delapan belas tahun itu menyusuri lorong sekolah yang masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang sudah datang. Dengan bantuan ojek, Zoya bisa bersekolah hari ini. Motornya yang sedang berada di bengkel membuatnya tidak bisa kemana-mana sendiri.

Dia melangkah santai, dengan permen karet yang tengah ia kunyah. Bahkan, sesekali gadis itu membuat gelembung dari permen karet pink itu. Kali ini Zoya tampil berbeda dengan rambutnya yang ia curly. Tetapi hal itu membuatnya nampak semakin cantik. Ah tidak, dirinya memang cantik setiap hari.

"Wih, sok cantik banget lo," sindir Rena yang menghalangi jalan Zoya. Gadis dengan jepitan rambut mengkilat itu bersedekap dada memandangi Zoya dari atas hingga bawah.

Zoya meliriknya sekilas, lalu memutar bola matanya malas. Sungguh, ia malas sekali meneladeni manusia semacam Rena.

"Lo mau nebar pesona ya? Dasar sok cantik," tuding Rena dengan ledekan di akhir kalimatnya. Cewek itu memainkan rambut panjangnya.

Zoya terkekeh sinis. "Kenapa? Takut kalah saing sama gue?"

"Dih, ngapain gue takut kalah saing sama cewek sok kayak lo! Ya, gak girls?" Kedua cewek di belakang Rena mengangguk, membenarkan ucapan Rena.

"Yaudah. Terus ngapain lo ikut campur urusan gue?" tanya Zoya dengan suara rendah. Ia maju selangkah mendekati Rena yang diam tak berkutik. Tangannya terulur mengusap pipi penuh bedak milik Rena.

"Urus aja muka lo itu. Bedak lo ketebelan, udah kayak dempul. Terus, blush on sama lipstik lo juga kemerahan, mau sekolah atau mau jadi cabe?" bisiknya tepat di telinga gadis itu. Zoya menyunggingkan senyumnya sebelum kembali melangkah. Ia tak ingin berdebat terlalu lama dengan gadis ini.

Sedangkan Rena, wajah gadis itu merah padam. Ia mengepalkan tangannya lalu membalik tubuhnya menghadap kedua gadis yang menjadi pengikutnya. "Kaca mana kaca!"

Salah satu dari mereka menyerahkan kaca, lalu dengan cepat Rena menerimanya. Ia menatap wajahnya di kaca kecil miliknya. "Muka gue cantik 'kan? Masih cantikan gue daripada Zoya jelek itu 'kan?" tanyanya beransur-ansur.

"Cantikan Zoya sih, Ren..."

"Tapi gapapa lo juga cantik kok!" serunya sebelum amarah Rena meledak. Jangan lupakan senyumannya yang membuat Rena mendenggus malas.






~TBC~

Ada yang masih nungguin part selanjutnya?

Mungkin ada yang tau siapa orang yang dimaksud Papanya Azka?

Jangan lupa tinggalin jejak di part ini ya.

Terimakasih sudah membaca💛

See you next chapter👋


Published: 080322

ZoyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang